Menturo (atau tertulis Mentoro), sebuah desa di Kecamatan Sumobito, Jombang, jelas tidak masuk dalam daftar daerah incaran untuk slow living atau pensiun. Namanya terlalu asing dan jauh.
Namun, ada beberapa orang yang mendambakan bisa menghabiskan sisa hidupnya di Menturo, Sumobito, Jombang. Sebab di sana mereka menemukan kedamaian batin karena Menturo seolah memang jauh dari ingar-bingar keruwetan zaman.
Menturo Sumobito, desa di Jombang tempat kelahiran Cak Nun
Identitas yang paling mencolok dari Menturo adalah sebagai sebuah desa kelahiran Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Rasa-rasanya saya tak perlu panjang lebar menjelaskan siapa Cak Nun itu.
Cak Nun lahir di sana pada 27 Mei 1953. Meski selanjutnya dia bergiat di Jogja, tapi tiap sebulan sekali dia nyaris selalu meluangkan waktu untuk pulang ke kampung halamannya tersebut.
Apalagi setelah Cak Nun menginisiasi bergiatnya Majelis Masyarakat Maiyah Padhangmbulan sejak 1993 di Menturo. Forum egaliter berisi salawat, sinau bareng khas Maiyah, dan panggung untuk bentuk-bentuk kebudayaan dan spiritual lainnya.
Forum tersebut rutin berlangsung sebulan sekali di malam purnama.
Dan memang itulah alasan utama Satrio (25) mendambakan bisa hidup di Menturo, Sumobito, Jombang (secara administratif tertulis Mentoro. Tapi Cak Nun dan warga lokal lebih sering menyebutnya Menturo).
Menemukan kedamaian hati di Menturo Sumobito sebagai desa terkecil di Jombang
Satrio asal Lamongan, Jawa Timur. Sebenarnya sudah sejak SMA dia mengenal Maiyah dan Cak Nun. Sebab, Cak Nun beberapa kali memang pernah membuat forum sinau bareng di sana.
Persinggungan Satrio dengan Maiyah menjadi lebih intens ketika kuliah di Surabaya. Sebab, di Surabaya ada forum serupa bernama BangbangWetan yang juga rutin berlangsung sebulan sekali. Biasanya sehari atau beberapa hari dari berlangsungnya Padhangmbulan di Menturo, Sumobito, Jombang.
“Kalau pertama kali ke Menturo itu pada 2018. Setelahnya terbilang sering. Kadang dua bulan sekali, kadang tiga bulan sekali. Rasanya lebih afdal saja Maiyah-an di tempat Maiyah berasal,” ujarnya saat kemi berbincang pertengahan Desember 2024 lalu di Surabaya.
Jarak Menturo dari pusat Kota Jombang sekitar 15 kilometer. Lokasinya memang terasa jauh dari peradaban. Jalan masuk ke titik lokasi Padhangmbulan harus melewati area persawahan yang cukup panjang. Desa ini pun terhitung sebagai satu dari lima desa terkecil di Jombang.
“Aku sampai di sana sering kali sore. Suasananya bener-bener seperti desa zaman dulu. Asri, warganya guyub,” ungkap Satrio.
Lebih dari itu, nuansa keagamaan di Menturo, Sumobito, masih sangat kental. Jika mendengar bacaan Alquran di sana, rasa-rasanya dilempar kembali ke masa kecil dulu.
“Anak-anak juga terlihat masih suka ngaji berduyun-duyun ke langgar. Itu pemandangan hidup yang aku dambakan,” kata Satrio.
Hal-hal tradisional yang terus dirawat
Hidup seadanya. Yang penting bisa salat jemaah dan ngaji di langgar, lalu sebulan sekali Maiyah-an, itu sudah cukup. Kira-kira begitulah dambaan Satrio untuk hidup di Menturo, Sumobito, Jombang.
Alasan yang nyaris sama dengan yang Fadlul (27) utarakan.
Fadlul asal Sidoarjo kota. Perkenalannya dengan Maiyah dan Cak Nun pun mirip dengan Satrio.
“Menturo itu seolah jauh dari ingar-bengar zaman. Soalnya, di sana hal-hal tradisional masih bergeliat. Kearifan-keraifan yang indah sekali,” kata Fadlul.
Misalnya, kesenian hadrah yang tetabuhan dan gaya salawatnya masih seperti zaman dulu. Bahkan kelompok teater anak pun ada di sini dan kerap dipentaskan dalam beberapa kesempatan forum Padhangmbulan.
“Seperti dalam buku Mbah Nun Indonesia Bagian dari Desa Saya, Menturo itu nggak alergi dengan kemajuan dan modernitas zaman. Tapi juga tidak sama sekali meninggalkan hal-hal tradisional,” ucap Fadlul.
Sejak kecil hingga sekarang, Fadlul setidaknya harus hidup dalam dekapan laju modernitas dua kota: Sidoarjo dan Surabaya. Yang, kata Fadlul, makin ke sini makin terasa sumpek saja.
Fadlul ingin mencari kedamaian batin. Menjalani hidup tapi tanpa meninggalkan nikmatnya menjalani aktivitas spiritual. Sejauh ini, hatinya masih hanya tertuju pada Menturo.
Menjauh dari kemajuan semu
Fadlul lantas mengirimi saya link tulisan Toto Rahardjo yang tayang di website Caknun.com pada 11 Mei 2013. Judulnya Menyambut Buku Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Sejauh saya mengikuti Maiyah dan Cak Nun, saya ternyata belum pernah membaca tulisan Pak Toto (begitu saya memanggil Toto Rahardjo) ini.
“Tulisan ini adalah gambaran implikasi kronis dari kemajuan zaman. Tulisan itu pula yang membuat hati saya terdorong kuat sekali untuk menepi ke Menturo,” begitu pengantar Fadlul saat mengirim link tulisan Pak Toto kepada saya.
Saya hanya penggalkan beberapa baris terakhir saja dari tulisan tersebut:
“Umur kita lebih muda dibandingkan usia modernisasi-pembangunan yang akhirnya bernama globalisasi. Tetapi toh masih terekam dan tidaklah lupa janji-janji yang pernah digembar-gemborkan dan disombongkan sejak awal tentang “kemajuan” tak pernah hilang sampai sekarang, yang semakin samar justru gambaran seperti apa tentang “kemajuan” itu?
Sementara banjir kemajuan yang datang belakangan justru semakin susah dipahami; korupsi semakin merajalela, menghamburkan uang banyak-banyak untuk pemilihan umum yang hasilnya juga tidak dirasakan oleh masyarakat.
Kemajuan telah melahirkan banyak akhli pertanian, namun tidak korelatif dengan meningkatnya kesejahteraan petani, malah semakin banyak produksi pangan yang diimport. Kemajuan teknologi kedokteran telah sampai di puncak tertinggi, tetapi masih banyak penderita TBC, malaria, ISPA dan penyakit menular lainnya yang sejak dahulu kala menjadi ukuran keberhasilan suatu negara.
Apakah kemajuan berarti sama dengan masyarakat harus memiliki uang banyak apabila ingin dilayani kesehatannya? Hutan telah dibabad habis, perut bumi dikeruk isinya, namun masyarakat disekitarnya hidupnya justru lebih sengsara dari sebelumnya—apakah kemajuan identik dengan kerusakan dan kesengsaraan?
“Kemajuan” oleh kaum modernis pada kurun waktu puluhan tahun yang lalu dibanggakan, justru kini kita menyaksikan album foto “kerusakan” kemanusiaan yang luar biasa, dehumanisasi yang akut serta keruntuhan nilai-nilai ketuhanan. Boleh dikata ini adalah kembalinya jaman jahiliyah, subur menjamur jamaah penyembah “berhala” materialisme sambil bernyanyi mengagungkan nama-Mu.”
Bertani dan jualan martabak
“Lantas, jika suatu saat terwujud bisa tinggal dan hidup di Menturo, apa yang akan kamu kerjakan?” Itu adalah pertanyaan yang sama-sama saya lemparkan pada Satrio dan Fadlul, dua jemaah Maiyah yang begitu militan itu.
Satrio kini masih bekerja di Surabaya, sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Sementara Fadlul bekerja di sebuah agensi photo wedding di Sidoarjo.
Secara umum, warga Menturo, Sumobito, Jombang, bekerja di dua sektor: petani dan pedagang martabak. Bahkan desa ini berjuluk Kampung Martabak dan memiliki Festival Martabak yang berlangsung tiap Agustus.
“Aku belum tahu nanti bagaimana. Yang jelas nabung dulu. Entah nanti bikin usaha, atau malah jadi petani atau peternak sekalian. Jadi guru di sana pun nggak masalah,” jawab Satrio.
“Mungkin bisa cari kerja di Jombang-Jombang aja. Atau kalau punya modal, ya merintis agensi sendiri,” sementara begitulah jawaban Fadlul.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Alun-alun Jombang, Cuma Lapangan Biasa Tak Punya Ciri Khas tapi Bisa Saingi Simpang Lima Gumul Kediri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan