Larangan memakai hijab di tempat kerja adalah bukti bahwa diskriminasi masih kerap dialami pekerja perempuan. Ironisnya lagi, fenomena ini terjadi di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
Gita, bukan nama sebenarnya, tak pernah menyangka kalau menjalankan perintah agama ternyata dilarang di negeri sendiri.
Pekerja asal Jakarta ini harus kehilangan mata pencahariannya karena dia ngotot tak mau melepas hijab.
“Aneh memang, di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia, menjalankan apa yang kami percaya sebagai syariat malah dilarang,” ucap kita saat Mojok temui Senin (20/1/2025) malam.
Lebih mengejutkan lagi, ketika pindah ke negara yang lebih sekuler, Australia, ia tak pernah mendapat larangan. Di negara yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen itu, kebebasan malah lebih terasa.
“Harus menjadi refleksi, mengapa hal demikian masih terjadi. Katanya Pancasila, menghargai perbedaan. Tapi nyatanya, pakai jilbab saja tidak boleh,” sambungnya.
Semua perempuan muslim dilarang pakai hijab
Awal 2024 lalu, Gita diterima kerja di salah satu perusahaan bonafide di Jakarta. Meskipun perusahaan swasta, tapi ada beberapa kementerian yang bekerja sama secara langsung dengan tempat kerjanya itu.
Pada mulanya, Gita mengaku cukup senang. Alasannya, pekerjaan itu linier dengan jurusan kuliahnya. Secara gaji juga besar; di atas UMR Jakarta. Bahkan beberapa seniornya yang sudah bekerja setahun mendapat upah dua digit.
Gita mengaku tak ada persyaratan khusus di kontrak kerjanya, termasuk larangan memakai hijab. Namun, HRD perusahaan itu bilang kalau “dirinya disarankan untuk bekerja tanpa hijab”.
“Karena bilangnya cuma rekomendasi, aku mikirnya tidak wajib. Jadi, hari pertama kerja tetap pakai hijab,” jelasnya.
Benar saja, di hari pertama bekerja, Gita menyaksikan para pekerja perempuan lain tak ada yang berhijab. Ia tak mempermasalahkan hal tersebut, sebab baginya mau pakai hijab atau tidak adalah pilihan personal.
“Tapi ada satu orang, pekerja lain, yang ngomong ke aku. ‘Kamu nggak dikasih tahu ya kalau nggak boleh pakai hijab?,” ucapnya, mengulang apa yang didengarnya. Gita pun seketika bingung, sebab dalam kontrak tak ada satu pun klausul yang merujuk ke larangan tersebut.
Ancaman diberhentikan tanpa surat peringatan
“Ini sudah komitmen perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif,” kata salah satu petinggi di kantor tersebut.
“Bukankah inklusif artinya membuka kesempatan bagi siapa saja. Artinya pakai hijab atau tidak, tak boleh ada perbedaan dong, Pak?,” jawab Gita.
“Tapi perusahaan memang sejak awal melarang.”
“Bagian mana yang melarang? Di kontrak pun tidak ada.”
Itu merupakan ilustrasi perdebatan yang dijelaskan Gita pada hari pertama ia masuk kerja. Gita hanya belum menemukan alasan masuk akal mengapa ia dilarang pakai hijab.
Kalau dalihnya adalah inklusivitas, jelas pelarangan memakai hijab adalah hal yang kontraproduktif. Atau, kalau dibilang ada dasar hukumnya, Gita tak menemukannya dalam kontrak.
Namun, betapa pun Gita membantah, argumennya selalu dipatahkan. Yang, kata dia, orang kantor selalu bersembunyi di balik kata “ini sudah aturan” meski tak pernah mampu menunjukkan dasar hukumnya.
“Bahkan, mereka mengancam bisa memberhentikan aku saat itu juga. Tanpa SP, tanpa pesangon, tanpa rasa hormat, karena dianggap menyalahi visi perusahaan.”
Orang tua meyakinkannya untuk mengikuti kata hati
Gita menceritakan semua yang dialaminya di kantor kepada ayah dan ibunya. Jujur, secara batin ia tersiksa. Tapi tak mau menunjukkan wajah kekecewaan ke orang tuanya.
“Aku nggak mau orang tua kecewa. Sebab, ini adalah pekerjaan yang aku dambakan, begitu juga mereka [orang tua],” jelas Gita.
Makanya, dalam obrolan bersama ayah dan ibunya, Gita menyebut kalau larangan pakai hijab itu sekadar “opsi” bukan “harus”.
Untungnya, orang tua Gita menyerahkan semua kepada dirinya sendiri. Ia dianggap sudah cukup dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya.
“Orang tua melihatnya, mau aku berhijab atau tidak, itu pilihanku. Mereka nggak mau intervensi.”
Pilihan Gita pun sudah jelas bahwa ini adalah prinsip. Ia juga berpikir tak bekerja di perusahaan tersebut bukan akhir dari dunia. Makanya, ia memutuskan untuk tetap memakai hijab di tempat kerja.
“Nah, di hari kedua kerja, aku sudah siap dengan semua konsekuensi,” kata Gita.
“Dan benar aja, kantor nyuruh aku buat bikin surat pengunduran diri. Biar cepat, aku iyakan saja. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga, baru dua hari kerja sudah resign,” tawanya.
Tak boleh ada larangan memakai hijab di tempat kerja
Melansir laman Hukumonline, sebenarnya sebuah perusahaan tak boleh melarang para pekerja perempuannya untuk memakai hijab. Larangan berhijab bagi pekerja perempuan dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama.
Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan mengaturnya secara jelas.
Pasal 5:
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Gita sendiri sadar betul bahwa perlakuan yang dialaminya merupakan bentuk diskriminasi di lingkungan kerja. Ia juga paham bahwa dirinya berhak untuk membawa perkara ini ke pengadilan.
Namun, ia mengaku memilih diam saja.
“Aku nggak mau repot habisin tenaga untuk ini,” jelasnya.
Tak menemukan diskriminasi serupa di Australia
Sejak kejadian tersebut, Gita mengaku lebih pilih-pilih dalam mencari pekerjaan. Ia sadar, kantor yang dianggap ideal, ternyata menyimpan sisi gelapnya.
“Aku amaze aja ini terjadi di Indonesia,” ungkapnya.
Sejak pertengahan 2024 lalu Gita bekerja untuk perusahaan dengan bidang serupa di Australia. Berdasarkan apa yang Gita ketahui, negara ini amat sekuler meski agama mayoritas masyarakatnya adalah Kristen.
Jujur, Gita sempat khawatir untuk menerima tawaran kerja di sana. Pertama, dia bakal bekerja di negeri yang sekuler; berkaca dari kasus Perancis, yang mana ada pelarangan hijab, bikin perempuan ini makin waswas. Kedua, ia bakal hidup sebagai minoritas; ada kekhawatiran akan mengalami diskriminasi yang parah.
“Ternyata, setelah 6 bulan bekerja, semua baik-baik saja. Mau aku berhijab atau tidak itu nggak masalah. Bahkan ada banyak perempuan Indonesia yang kerja di sini, semua pakai hijab.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Aturan Paskibraka Lepas Hijab Adalah Blunder Paling Bodoh. Paskibraka Tidak Merdeka di Tengah Peringatan Kemerdekaan Itu Sendiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.