Kurikulum Merdeka yang menggantikan Kurikulum 2013 dipandang lebih baik dari yang sebelumnya. Namun, memposisikan sebagian tenaga pendidik dan siswa sebagai orang-orang yang terjajah.
Budi seorang guru di Provinsi Aceh meminta namanya tidak ditulis lengkap. Ia adalah guru di sebuah SMAn di Aceh yang punya uneg-uneg tentang Kurikulum Merdeka yang mulai berlaku di tahun 2024 ini.
“Saya yang guru SMA di Aceh melihat kurikulum ini lebih baik dalam berbagai aspek, dibandingkand ari sebelumnya, tapi bukan berarti sebelumnya tidak baik,” katanya kepada Mojok, Minggu (25/2/2024)
Namun, dalam Kurikulum Merdeka, ada beberapa kemajuan yang tampaknya membuat kualitas guru menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Sisi negatif Kurikulum Merdeka untuk para guru
Budi menuturkan, meski ada aspek positifnya, tetap saja Kurikulum Merdeka punya aspek negatif yang justru “menjajah” guru itu sendiri.
Menurutnya kurikulum baru tidak memandang guru tersebut merupakan guru baru atau guru yang sudah tua. Semua dipukul rata.
“Guru yang muda, yang katanya akrab dengan smartphone dan teknologi terkini nyatanya tidak sedikit yang kesulitan untuk beradaptasi dengan Kirikum Merdeka. Itu karena mereka harus membuat berbagai karya menggunakan smartphone atau laptop,” kata Budi.
Jika guru muda saja keropetan, lantas bagaimana dengan guru-guru tua yang mereka tak update soal teknologi. “Yang terkadang mereka tak tahu cara menghubungkan handphone ke WiFi sekolah, tapi ketika sudah terhubung pun, jaringan malah lemot,” katanya.
Banyaknya tugas guru selain tugas utama mengajar murid
Menurut Budi, yang guru-guru permasalahkan dari Kurikulum Merdeka adalah terlalu banyak tugas guru di luar tugas utama mereka yaitu mengajar.
Mojok pernah menuliskan keluhan guru soal Kurikulum Merdeka dalam liputan Mirisnya Penerapan Kurikulum Merdeka di 2024, Siswa Sampai Mencari Guru yang “Hilang” karena Sibuk Administrasi.
Dalam liputan tersebut menjelaskan guru harus mengisi Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) e-Kinerja lewat Platform Merdeka Mengajar (PMM). Hal itu tertuang dalam SE BKN dan Mendikbudristek No 9 Tahun 2023 tentang Sistem Informasi Pengelolaan Kinerja Aparatur Sipil Negara Guru. Salah satu tujuannya yakni membuat guru lebih sering mengakses PMM sebagai platform terintegrasi untuk implementasi Kurikulum Merdeka.
Bagi sebagian guru persoalan mengisi e-Kinerja di PMM bukan persoalan besar, tapi tindak lanjutnya menuntut guru mendapat 32 poin pengembangan diri lah yang ia nilai memberatkan.
“Misalnya satu agenda diklat itu dapat 8 poin. Padahal diklat itu prosesnya panjang dan memakan waktu,” keluhnya kepada Mojok, Senin (29/1/2024).
Menurutnya, keluhan semacam ini banyak keluar dari para guru di sekitarnya. Impelementasi Kurikulum Merdeka di 2024 ini mendorong mereka untuk terus mengejar perolehan sertifikat pengembangan diri padahal tugas utamanya adalah mendidik siswa di kelas.
Guru punya peran lain selain mengajar
Hal seperti itulah yang Budi rasakan sebagai guru SMA di Aceh. Seolah-olah, 24 jam guru harus memikirkan pekerjaannya sebagai guru.
“Apakah guru tak punya keperluan atau hobi yang bisa mereka lakukan setelah cukup lelah mengajar di sekolah dan menghadapi berbagai karakter murid,” katanya.
Belum dengan guru-guru yang statusnya masih bakti atau honorer, yang gajinya masih ratusan ribu rupiah per bulan. Jika mereka tidak melakukan pekerjaan lain, maka mereka mungkin tidak bisa makan.
“Kurikulum Merdeka membuat tidak adil kepada para guru karena tidak waktu khusus untuk keluarga, atau masyarakat. Seluruh waktunya alah habis di depan laptop dan smartphone untuk urusan sekolah,” katanya.
Menurut Budi ada alasan-alasan manusiawi yang harusnya pemerintah ikut pertimbangkan dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Misalnya, apakah pantas, jika waktu yang harusnya untuk si buah hati yang masih bayi, setelah pulang ke rumah guru malah justru pusing karena harus menyelesaikan persoalan administrasi sebagai guru.
“Masih banyak hal lain yang kami keluhkan, lantas di mana letak merdeka bagi seorang guru?” katanya.
Baca halaman selanjutnya
Siswa merasa Kurikulum Merdeka itu seperti menjajah
Siswa merasa Kurikulum Merdeka itu seperti menjajah
Rahmat siswa kelas XII di sebuah SMA negeri di Jawa Barat mengirimkan uneg-unegnya ke Mojok. Ia merasa Kurikulum Merdeka yang menggantikan Kurikulum 2023 perlu ada perbaikan. Sebagai siswa ia sudah cukup pusing dan lelah karena banyaknya pelajaran yang menurutya tidak ada habisnya. Ia merasa, Kurikulum Merdeka justru seperti menjajah.
Kurikulum Merdeka menuntut siswa harus aktif. Misalnya, ia dan teman-temannya membuat kegiatan belajar atau kerja kelompok. Masalahnya, orang tuanya tipe orang tua kolot yang melarang anaknya untuk pergi dari rumah. “Untuk anak strict parents sepertiku, sangat susah untuk sekedar meminta izin pergi kerja kelompok,” kata Rahmat.
Rahmat juga menyoroti adanya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau P5 dalam Kurikulum Merdeka Belajar. Menurutnya keberadaan P5 ada enaknya dan ada nggaknya.
Untuk yang belum tahu, P5 adalah salah satu inovasi dalam kurikulum merdeka yang bertujuan untuk memberikan siswa pengalaman nyata dalam mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila melalui serangkaian aktivitas projek pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
“Enaknya P5 itu bisa jadi apapun, bisa macam-macam kita lakukan, misalnya menari ya kita bisa membuat koreaografi. Cuma nggak enaknya, menguras waktu yang sangat banyak, bahkan sampai sore,” katanya.
Rahmat mengatakan, salah satu keluhannya sebagai siswa tentang Kurikulum Merdeka yang menurutnya menjajah tersebut adalah proyek-proyek yang siswa kerjakan ini membutuhkan modal yang tidak sedikit.
“Seperti biaya panggung dan sound system, kostum, bahkan menguras banyak waktu yang terkadang menganggu waktu belajar yang sebenarnya. Belum lagi biaya konsumsi dan sebagainya,” katanya mengeluh.
Ia berharap layaknya sebuah bangunan, Kurikulum Merdeka pelu ada revisi sehingga para pelajar yang menjadikannya rumah tidak terbebani terlalu berat.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News