“Kurikulum Merdeka di satu sisi ada baiknya, namun lebih banyak memberatkan karena waktu habis mengerjakan PMM untuk mengejar sertifikat. Kami yang sudah berumur 55 tahun merasa capek. Kami bukan robot, kami perlu istirahat untuk beraktivitas di esok hari bersama peserta didik,” keluh seorang guru di kolom komentar.
“e-Kinerja sangat memberatkan guru terutama yang sudah senior dan kurang menguasai IT. Mohon Mas Menteri meninjau kembali. Banyak yang berada di pelosok di mana sinyal internet tidak memadahi,” keluh akun lain @mundaroh6418.
Realitas guru di pelosok yang kesulitan internet
Praktiknya, bukan hanya guru lanjut usia yang terkendala melainkan guru-guru di daerah pelosok dengan internet terbatas. Saat ini realitanya pemerataan jaringan internet di Indonesia belum menjangkau seluruh wilayah. Terkhusus daerah terluar dan terpencil Indonesia.
Kisah pilu karena keterbatasan akses internat pernah dialami para guru SMP N Henga, Talibura, Sikka, NTT. Para guru di sana gagal seleksi salah satu program Kurikulum Merdeka yakni Guru Penggerak karena kesulitan internet.
Kepala Sekolah SMPN Henga, Silvina Sinta adalah salah satu yang mengalami kendala tersebut. Terpaksa, ia harus menunda setahun untuk ikut Guru Penggerak pada batch selanjutnya.
“Waktu itu ada kesempatan untuk daftar mengikuti seleksi calon guru penggerak tetapi saya gagal tidak ikut karena terkendala jaringan internet. Jujur sampai saat ini saya kecewa karena tidak ada jaringan saya terpaksa tunda lagi tahun depan,” keluhnya melansir Tribun Flores.
Kondisi itu, tentu tidak hanya dialami para guru di NTT. Masih banyak guru lanjut usia, hingga mereka yang bertugas di daerah dengan keterbatasan internet yang harus gagal menjalankan meraih capaian Kurikulum Merdeka secara optimal.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News