Nekat Kerja di Bali Membuat Sadar, Biaya Hidup di Jogja Terlalu Mahal untuk Gaji yang Memprihatinkan

Ilustrasi kerja di Bali (Ega/Mojok.co)

Setelah 7 tahun kuliah di Jogja, Daus (26) memilih kerja di Bali. Pulau Dewata sejak lama sudah jadi destinasi impiannya untuk bekerja. Sejauh ini, ia merasa bahwa Bali memberikan kenyamanan lebih ketimbang Jogja.

Bagi Daus, kuliah di Jogja selama 7 tahun membuatnya sudah cukup bosan dengan kehidupan di kota ini. Namun, ia masih butuh kota dengan ritme yang tidak terlalu cepat. Jakarta bukan jadi tujuannya meski kebanyakan teman-teman fresh graduate memilih ke sana.

“Bali jelas bukan tujuan teman-temanku yang fresh graduate. Kebanyakan ke Jakarta tapi di sana seperti tua di jalan. Melelahkan kalau denger cerita dari teman-teman,” katanya.

Studi Daus terbilang agak molor. Ia baru lulus kuliah di semester 14 pertengahan 2023 silam. Selanjutnya, ia wisuda pada Oktober tahun yang sama. Mengirim berbagai lamaran kerja dan akhirnya keinginannya ke Bali terpenuhi setelah sebuah perusahaan menerima.

“Pokoknya aku di bidang teknologi. Mulai kerja dari Januari 2024 ini,” terangya.

Kerja di Bali yang mengagetkan lulusan Jogja

Sejak awal, Daus memang sudah paham bahwa Bali lebih mengakomodasi beragam latarbelakang. Jogja memang daerah pariwisata namun kunjungan wisatawan mancanegara-nya tak sebanyak Pulau Dewata.

“Jogja sebenarnya ya beragam tapi Bali lebih itu lebih berwarna lagi karena banyak pendatang dari luar negeri juga,” tuturnya.

Satu hal yang membuat heran adalah soal biaya hidup. Mulai dari biaya sewa kos yang baginya relatif tidak terlalu mahal. Ia kos di Gianyar, mencari lewat Google Maps karena tiba di sana mepet waktu mulai bekerja. Namun, ternyata ia masih bisa dapat harga yang bahkan menurutnya lebih murah dari Jogja.

“Aku dapat kos pakai ac, sudah isian, cuma Rp1,3 juta. Kalau di Jogja, dengan lokasi sesatregis ini dari berbagai titik penting, minimal Rp1,5 juta lah,” paparnya.

Selain itu, hal lain yang agak di luar ekspektasinya adalah biaya makam hingga wisata. Ia kira, Bali lebih mahal dari Jogja untuk dua urusan tersebut.

“Makan sama saja harganya dan  wisata beberapa pantai paling cuma Rp2000 masuknya. Tukang parkir banyak tapi tertib, motor ya mayoritas Rp1000 nggak kaya di Jogja,” kelakarnya.

Bali.MOJOK.CO
Ilustrasi Bali (Unsplash)

Paling-paling, hal yang mirip adalah soal transportasi publik. Sulit untuk merantau ke Bali tanpa punya kendaraan pribadi. Sehingga, Daus pun beli motor baru saat tiba di sana.

Baca halaman selanjutnya…

Hidup 2 bulan di Bali baru menyadari betapa konyolnya Jogja

Hidup 2 bulan di Bali jadi sadar hidup di Jogja begitu semrawut

Datang ke Bali seorang diri, tanpa teman dan kenalan, Daus merasa tetap nyaman dengan lingkungan barunya. Bali membuatnya merasa kerasan. Jika kontrak kerjanya berjalan lancar ia berniat untuk bisa lama mencari penghidupan di tempat yang sama.

Bahkan ia mengaku dengan tinggal di Bali bisa merasakan betapa susahnya hidup di Jogja. Baik dari segi upah kerja, biaya hidup, hingga tata kota.

“Di Bali 2 bulan saja aku jadi sadar betapa konyolnya Jogja. UMR rendah, ongkos hidup tinggi. Di sini saja aku kemarin bisa dapat gaji Rp3,8 juta. Bisa makan sate babi enak harganya cuma Rp15 ribu,” kelakarnya.

Tentunya itu hanya pandangan dari salah satu pekerja di Bali yang pernah merasakan lama kuliah di Jogja. Setiap orang punya keunikan kisahnya tersendiri mengenai suatu wilayah.

Selain Daus, saya mendengarkan pemaparan dari seorang pekerja di Bali bernama Fajar Ardiansyah. Lewat akun YouTube miliknya, Fajar bercerita bahwa Bali memberikan kesan berbeda dibanding tempat kerjanya dulu di Malang, Surabaya, hingga Jakarta.

Salah satu keunikannya memang soal pentingnya bahasa Inggris. Apalagi bagi orang seperti Fajar yang tinggalnya di Canggu, daerah penuh turis dan ekspatriat.

“Kemampuan berbahasa Inggris penting banget di Bali. Sekarang kasir minimarket saja harus bisa karena banyak customer turis. Bahkan, tukang tambal ban pun perlu bisa,” terangnya.

Tentunya, Bali punya sisi menarik dan juga sisi yang mungkin tak cocok bagi sebagian orang. Satu hal yang jelas, soal wisata Pulau Dewata tak perlu diragukan kemasyhurannya.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mahasiswa Tua Salah Sangka Wisuda Bareng Teman Seangkatan di UIN Jogja, Sini Sarjana Ternyata Dia Lulus S2

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version