Sakralitas kalender Jawa makin ke sini memang makin luntur. Padahal mempelajari bahkan sampai di titik menguasainya butuh proses yang sangat panjang. Lunturnya sakralitas tersebut terbukti dengan banyaknya orang Jawa sendiri yang mulai mengabaikan perhitungan dalam kalender Jawa seperti weton.
Saya sendiri sempat mewawancara sepasang suami istri yang dengan sadar dan sengaja menentang perhitungan weton. Mereka berani menyimpulkan kesakralan weton sudah jauh tertinggal. Karena nyatanya meski menabrak pantangan weton, rumah tangga mereka tetap baik-baik saja.
Kasus semacam itu pun juga sudah banyak terjadi. Oleh karena itu, resistensi terhadap kepercayaan weton pun makin menguat di kalangan generasi muda. Kalender Jawa perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
Belajar kalender Jawa penuh tirakat
Saya bertamu ke rumah Mbah Wo (70), demikian banyak orang di Desa Manggar, Rembang, Jawa Tengah, memanggilnya. Ia menjadi satu dari dua penghitung kalender Jawa terakhir di Manggar.
Tak perlu jauh-jauh. Mbah Wo menyontohkan, para cucunya yang sudah menikah dalam kurun empat tahun terakhir tak ada yang mau menggunakan sistem weton.
Cucu-cucu Mbah Wo yang mayoritas berlatar pendidikan pesantren menolak saat hendak dihitung wetonnya dengan si calon pasangan. Mereka juga memilih hari nikah dengan tanpa mempertimbangkan hitungan hari baik dalam kalender Jawa.
Sebab, dalam keyakinan yang mereka pegang, dalam Islam semua hari adalah hari baik. Sepanjang untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
“Ya tidak apa-apa mereka yakinnya seperti itu. Saya tetap menghitung dari sisi kalender Jawa. Kalau ada apa-apanya, ya saya bantu tirakat sebagai penangkal,” ujar Mbah Wo di kediamannya, Minggu (16/6/2024) sore WIB.
Mbah Wo sendiri mengaku belajar kalender Jawa dan cara penghitungan weton dari sang bapak. Ia belajar sejak kecil.
Belajarnya pun tak gampang, karena tak cuma urusan hitung-menghitung angka. Melainkan juga bersinggungan dengan sisi mistis. Sehingga perlu tirakat yang panjang dan berat. Seperti puasa mutih dan lain-lain.
“Pantangannya pun banyak. Misalnya tak boleh makan apa. Kalau saya salah satunya tak boleh makan ikan tongkol. Itu kan (salah satu) jenis ikan paling enak,” ungkap bapak tiga anak tersebut (satu laki-laki, dua perempuan).
Menurut Mbah Wo, itu pula lah yang kemudian membuat anak-anak muda—khususnya anak dan cucunya sendiri—enggan belajar ilmu weton dan kalender Jawa. Mbah Wo sudah sempat meminta secara khusus satu anak laki-lakinya untuk belajar agar ilmu Mbah Wo tersebut tak putus. Tapi sang anak menolak. Begitu juga saat kemudian ia meminta dua cucu laki-lakinya belajar. Tak ada yang mau.
Rezeki dari kalender Jawa
“Kata bapak saya dulu, jangan ragu belajar kalender Jawa karena ngerejekeni (memberi rezeki),” tutur Mbah Wo.
Sepanjang masa hidupnya sebagai penghitung kalender Jawa, memang begitulah yang Mbah Wo rasakan. Karena ia menjadi jujukan untuk konsultasi perihal weton.
Orang-orang yang sowan ke rumahnya setidaknya akan membawakan beras atau minyak goreng atau gula atau kopi atau rokok atau jajanan sebagai bentuk terimakasih.
Seperti sore saat saya sowan ke rumah Mbah Wo itu. Obrolan kami sempat terhenti sejenak karena ada orang desa yang mau konsultasi hari. Orang tersebut hendak menyunatkan cucunya. Ia minta rekomendasi hari baik berdasarkan hitungan weton dalam kalender Jawa dari Mbah Wo.
Mbah Wo lantas mengambil kalender yang tergantung di dinding kayu rumahnya. Ia memejamkan mata sejenak, lalu mulai menggerakkan jari-jemari: mulai menghitung.
Usai ketemu hari yang dalam perhitungannya baik, si tamu lantas menyodorkan sebungkus rokok Sukun putih pada Mbah Wo.
“Sekarang yang masih sering tanya-tanya soal hitung-hitungan Jawa itu ya orang-orang tua. Kalau yang muda-muda sudah nggak ada,” tutur Mbah Wo usai si tamu berpamitan.
Rezeki tak cuma berupa pemberian. Mbah Wo juga merasa mendapat rezeki berupa status sosial. Sebab, keahliannya menghitung kalender Jawa membuatnya cukup dihormati/dituakan di Manggar.
Marabahaya mengintai generasi selanjutnya
Mbah Wo menyadari kalau usianya sudah sangat uzur. Ia tak memungkiri kalau sekarang ia sedang dalam proses menunggu kematian menjemput.
Sering kali muncul kekhawatiran, jika penghitung kalender Jawa sudah tak ada lagi di Manggar (secara khusus), ia khawatir akan ada banyak malapetaka bagi warga desa generasi selanjutnya. Sebab, dalam bertindak (urusan anak sunat, anak nikah, bangun rumah dan lain-lain) kalau tak selaras dengan hitungan weton maka akan celaka.
Dalam konteks anak cucunya, selama ini Mbah Wo mungkin bisa mengakali (menangkal) marabahaya yang mengintai dengan cara ia lah yang bertirakat. Tapi kalau ia tidak ada, lantas akan bagaimana?
“Benar semua adalah takdir Gusti Allah. Tapi ilmu Jawa ini kan juga ilmu dari Gusti Allah. Jadi jangan anggap sepele,” tutur Mbah Wo.
Kalimat penutup Mbah Wo itu lantas membuat saya teringat dengan adegan penutup dari film Inang (2022) garapan Fajar Nugros.
Bergas (Dimas Anggara) lahir sebagai anak sial karena lahir pada Rebo Wekasan (hari sial dalam kepercayaan Jawa), yakni hari Rabu terakhr di bulan Safar (Hijriyah). Oleh karena itu, setiap 10 tahun sekali orang tua Bergas harus menjalani ritual “inang” agar nyawa Bergas tetap selamat. Karena kalau tidak, dalam setiap ulang tahunnya di angka puluhan, maka ia akan tewas.
Ritual “inang” tersebut berupa menumbalkan bayi agar nyawa ditukar dengan nyawa Bergas.
Menjelang ulang tahun ke 30, Bergas mulai curiga. Karena saat ia pulang ke rumah orang tuanya, di rumah orang tuanya sudah ada seorang perempuan hamil bernama Wulan (Naysilla Mirdad).
Singkat cerita, Bergas berhasil menggagalkan ritual “inang” dengan membawa Wulan kabur, meski harus dengan berdarah-darah. Bergas menegaskan pada Wulan bahwa ia tak percaya dengan mitos kesialan Rebo Wekasan.
Awalnya semua baik-baik saja. Bergas dan Wulan berhasil kabur dengan selamat. Namun, di suatu tempat saat Bergas turun dari mobil, truk dengan kecepatan tinggi menabraknya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kengerian Rumah Hantu Trinil di Gamplong Jogja, Wisata Horor dengan Teror Mencekam Bikin Jantungan
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News