Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi memang terlihat santai, mangkanya tak pernah sepi peminat. Bisa dibilang prospek kerja lulusannya pun luas, tapi sebagai lulusan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Hana (23) mengaku menyesal.
***
Hana mendapat gelar sarjana atau S1 Ilmu Komunikasi usai menempuh pendidikan selama 4,5 tahun di Universitas Airlangga (Unair). Setelahnya, dia menyesal karena sulit mencari kerja.
Bukan karena peluang kerjanya yang kecil, justru pilihan karier yang semakin banyak membuat dia bingung. Hana berpikir, tidak ada perusahaan yang benar-benar membutuhkan lulusan Ilmu Komunikasi atau seorang ahli dibidang itu.
“Aku merasa keahlian yang aku bisa juga dikuasai sama jurusan lain secara otodidak, seperti menulis, desain, dan lain-lain,” kata Hana kepada Mojok, Senin (3/12/2024).
Berdasarkan survei yang dilakukan ZipRecruiter pada November 2022, Ilmu Komunikasi menjadi jurusan paling disesali oleh lulusannya. ZipRecruiter merupakan situs bursa kerja Amerika yang didalamnya berisi para pencari kerja dan pemberi kerja.
Jurusan Ilmu Komunikasi seperti rimba
Dalam pengaplikasiannya, Ilmu Komunikasi mempelajari berbagai bidang. Mahasiswa Ilmu Komunikasi tak hanya mempelajari cara atau etika dalam berkomunikasi, tapi juga media massa, periklanan, public relations, komunikasi politik, komunikasi keluarga, komunikasi kesehatan, psikologi komunikasi, desain komunikasi visual, dan masih banyak lagi.
Di Universitas Airlangga (Unair) sendiri, mahasiswa diwajibkan mengambil konsentrasi atau peminatan korporat dan media di pertengahan semester. Dari sana, Hana sebetulnya sudah bisa memilih pekerjaan apa yang akan dia geluti setelah lulus. Hanya saja, Hana merasa kebingungan karena kurang terpapar informasi mengenai dunia kerja.
“Beneran kurang pengetahuan tentang demand market in reality itu kaya gimana,” ucapnya.
Hana membandingkan jalan karier Ilmu Komunikasi berbeda dengan ilmu eksak. Misalnya, mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer. Jika sehari-hari dia belajar coding dan membuat software, maka output kariernya pun sudah jelas.
“Ada temanku yang kerja jadi software engineer, dan aku lihat anak IT tuh memang mencari kualifikasi S1 Ilmu Komputer, Teknik Informatika yang belajar soal coding,” ujar Hana.
Sementara, untuk bekerja di media massa misalnya, seorang jurnalis tak perlu mendapat gelar S1 Ilmu Komunikasi. Justru, banyak wartawan hebat yang bukan berasal dari Ilmu Komunikasi. Sebut saja Karni Ilyas atau Najwa Shihab yang merupakan lulusan Fakultas Hukum. Pun ketika ingin menjadi seorang content creator atau content writer. Tak harus lulus Ilmu Komunikasi.
Sulit mencari pekerjaan yang benar-benar spesifik dan linear
Jalan karier yang masih kabur membuat Hana kebingungan untuk melamar kerja. Terutama di pertengahan tahun 2024. Alih-alih, terus melamar di pekerjaan yang sejalan dengan jurusan, Hana banting setir menjadi management trainee.
“Bulan Juni-Juli kemarin kerasa banget, sulit sekali mencari kerja. Akhirnya aku lari ke management trainee yang lagi-lagi ini bisa dilamar oleh semua jurusan,” ujar Hana.
Alhasil, Hana harus berkompetisi dengan lulusan mahasiswa jurusan lain. Persaingannya pun semakin ketat, sementara lulusan Ilmu Komunikasi juga banyak. Beruntung, tak lama kemudian Hana diterima untuk mengikuti program management trainee di salah satu perusahaan retail.
Management trainee adalah program pelatihan untuk karyawan menjadi manajer di suatu perusahaan atau bisnis. Biasanya posisi itu diperuntukkan bagi fresh graduate yang umumnya belum memiliki pengalaman di dunia kerja.
“Sebenarnya pekerjaan itu kurang linear dengan jurusanku, rata-rata temanku juga beda jurusan, tapi kami sama-sama belajar dari nol,” kata dia.
Masuk Ilmu Komunikasi di kampus ternama itu nggak gampang
Sejak SMP, Hana hobi menulis. Dia mengira jurusan yang linear dengan hobinya adalah Ilmu Komunikasi meskipun ada pula jurusan lain, Sastra Indonesia misalnya.
Namun, ketertarikan Hana tak hanya berasal dari hobi menulisnya, tapi juga saat mendengarkan radio. Ketika SMA, Hana membayangkan, begitu asiknya menjadi penyiar yang mengobrol dengan pendengarnya.
“Dulu pertimbanganku antara Ilmu Komunikasi dan Hukum, cuman karena sudah lebih dulu tertarik dengan Ilmu Komunikasi tanpa sadar aku jadi bias. Menganggap Ilmu Komunikasi adalah jurusan paling cocok buatku,” ujarnya.
Oleh karena itu, meski tak lolos lewat jalur SNMPTN maupun SBMPTN di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hana tetap mencoba lewat jalur mandiri.
Sebagai informasi, Ilmu Komunikasi memiliki tingkat keketatan tertinggi. Artinya, banyak yang minat untuk masuk jurusan tersebut, tapi daya tampungnya sedikit. Di UI saja, Ilmu Komunikasi masuk dalam 11 besar tingkat keketatan tertinggi di bidang sosial humaniora lewat jalur SNMPTN, yakni sebesar 2 persen.
Karena sudah kecewa ditolak oleh dua kampus tadi, Hana memilih Universitas Airlangga (Unair). Pilihan pertamanya tetap pada Ilmu Komunikasi dan syukurnya keterima.
Kata siapa bisa nyantai?
Rupanya, menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi tak seperti yang dibayangkan Hana. Dia sempat menyesal karena jurusan tersebut tak sesuai passion-nya. Sering kali, Hana juga membandingkan diri dengan teman-temannya.
“Aku merasa nggak ada apa-apanya dibanding yang lain, saat itu aku lagi di masa struggling with insecurity. Belum tau cara berpenampilan dan itu ternyata berpengaruh ke kepercayaan diriku untuk berbicara di depan umum,” kata dia.
Selain itu, ada mata kuliah yang menurutnya sulit dan membuatnya hampir menyerah, yakni perencanaan event atau lebih dikenal dengan istilah MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) di Universitas Airlangga (Unair).
Mata kuliah itu mengharuskan Hana menggelar acara secara berkelompok. Dia sempat tidak menyangka, karena terpilih sebagai ketua sponsorship. Rasanya sedikit tertekan, karena dia tak punya pengalaman sama sekali.
Terlebih, tidak mudah menggelar acara di masa pandemi. Berbagai perusahaan pun sedang berusaha mengatasi kondisi finansial mereka, sehingga modal yang dia dapatkan saat itu terbatas untuk mengadakan acara.
Meski begitu, dari sana dia dapat belajar soal kepemimpinan dan mencari solusi untuk mengurangi risiko gagal. Setelah lulus, dia akhirnya melatih diri agar lebih berpikir positif.
Rupanya, ada banyak juga mata kuliah yang menurutnya berguna dan relevan hingga sekarang. Misalnya, public speaking, skill editing, analytical thinking, hingga analysis swot. Ilmu itu, kata Hana, sangat berguna untuk Focus Group Discussion (FGD), Leaderless Group Discussion (LGD), dan wawancara kerja.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News