Penghayat kepercayaan kerap mendapatkan stigma negatif dan dipandang liyan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Paling sering, mereka dianggap sebagai ateis alias tak bertuhan.
Pandangan ini tumbuh subur. Banyak orang mengasumsikan penghayat kepercayaan sebagai kelompok tak bertuhan, hanya lantaran mereka tak masuk ke dalam salah satu agama-agama besar. Seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, ataupun Buddha.
Padahal, menurut Gress Raja, salah seorang yang menjadi penghayat kepercayaan, pandangan tadi keliru. Menurutnya, kapitayan tetap selaiknya agama-agama lain: menyembah Tuhan, memiliki aturan serta tata cara ritual peribadatan.
“Dan kami, sudah diakui oleh negara. Penghayat kepercayaan sudah diakui oleh pemerintah sebagai agama yang sah,” ujar anggota pimpinan pusat Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) itu, saat berbincang dengan Kepala Suku Mojok Puthut EA di acara Putcast, Senin (30/9/2024).
Gress Raja juga menunjukkan KTP-nya, yang pada kolom agama tertulis: “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME”.
Dipaksa negara untuk “memilih” agama lain
Penghayat Kepercayaan, atau yang juga dikenal juga sebagai pemeluk “agama adat”, bisa dibilang sebagai kelompok masyarakat Indonesia yang mempraktikkan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang berasal dari nenek moyang mereka. Dengan demikian, mereka sebenarnya sudah eksis bahkan sebelum agama-agama konvensional masuk ke Nusantara.
Di Ende, NTT, tempat tinggal Gress Raja, misalnya. Terdapat 50-an kepercayaan yang dianut oleh suku-suku yang tersebar di sana. Gress Raja sendiri berasal dari Suku Lio yang menganut sistem kepercayaan Salika. Dalam kepercayaan ini, harmoni dengan alam adalah inti dari ajarannya.
Meski sudah lama eksis bahkan lebih tua dari agama-agama besar lain, orang-orang di sana kerap mendapat diskriminasi hanya karena kepercayaan yang mereka anut. Diskriminasi ini terjadi sudah sejak lama. Pada titik terekstrem, mereka bahkan dipaksa untuk memilih masuk ke salah satu agama yang diakui negara, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha.
“Banyak yang tidak mau, karena kepercayaan itu sudah mereka anut sejak lama. Bahkan sebelum agama itu datang ke Ende,” kata Gress Raja.
“Tapi pada akhirnya, mereka masuk saja. Hanya untuk mempermudah hal-hal administratif dari negara,” imbuhnya.
Dikafirkan sampai “Dikomuniskan” oleh Orde Baru
Tak cuma dipaksa untuk menganut agama-agama lain, para penghayat kepercayaan bahkan sampai dilabeli secara ugal-ugalan oleh negara–dalam hal ini Orde baru.
Misalnya, setelah meletusnya peristiwa G30S, banyak oknum pembesar agama hingga aparat negara memanfaatkan momen ini untuk “meng-agama-kan” para penghayat kepercayaan di Ende.
Seperti dikisahkan oleh Gress Raja, di kampung halamannya dulu, orang-orang yang tak mau menganut agama-agama besar tadi bakal dicap sebagai komunis. Seperti yang kita tahu, pada masa Orde Baru cap komunis sangatlah berbahaya. Orang yang dilabeli demikian, bisa kapan saja “dijemput” aparat, dipenjara, sampai dibunuh.
“Pilih salah satu agama, atau kamu dianggap PKI,” kata Gress Raja, mengingat peristiwa kelam yang pernah terjadi di kampung halamannya.
“Pakde saya sempat ngeyel, sampai akhirnya dia dipotong telinganya. Ya sudah, karena takut mati akhirnya dia rela dibaptis,” imbuhnya, yang diikuti tawa.
Selain itu, pada masa Orba juga, kolom agama di KTP para penghayat kepercayaan diisi dengan tulisan “Kafir”. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, kelompok penghayat biasanya hanya punya dua opsi terbaik dari yang terburuk. Yakni terpaksa menganut agama yang diakui negara untuk formalitas saja, kekeuh pada pendiriannya dengan konsekuensi menyeramkan.
Bagi orang-orang yang teguh menganut kepercayaannya dan tak mau masuk ke agama yang diakui negara, bakal dilabeli kafir. Celakanya lagi, label ini dilegitimasi oleh negara via KTP.
“Di tempat saya, orang-orang kan nggak tahu artinya ‘kafir’. Mereka dikasih tahu kalau kafir artinya tak punya agama. Yaudah, mereka malah senang karena merasa tak ada beban. Padahal kan kafir konotasinya waktu itu negatif.”
MLKI dan upaya penghayat kepercayaan mendapat pengakuan negara
Sejak zaman Orde Baru, di tiap kementerian sebenarnya ada subdepartemen yang mengurus persoalan penghayat kepercayaan. Sayangnya, para PNS yang berada di subdepartemen tersebut adalah orang-orang yang berasal dari agama lain, bukan penghayat kepercayaan.
“Tapi kan mereka nggak paham apa itu kepercayaan. Sudah meminta Bakor Pakem [Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat], tetap saja nggak paham karena orang-orangnya sama,” jelasnya.
Maka, muncullah himpunan-himpunan penghayat kepercayaan di berbagai daerah. Pada berikut hari, banyaknya himpunan ini melebur ke dalam satu wadah bernama MLKI, lembaga yang kini dipimpin Gress Raja. Lembaga ini berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.
MLKI juga lah yang pada 2016 memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait menuliskan “Kepercayaan Terhadap Tuhan YME”. Sebelumnya, bagi para penghayat kepercayaan, kolom agama dikosongi yang menyebabkan mereka rentan terkena diskriminasi.
“Dulu itu, tulisan strip di kolom agama, alias kosong, itu dibully karena nggak percaya pada Tuhan. Makanya kami gugat bahwa kami ini percaya Tuhan, jadi itu harus ditulis di kolom agama KTP,” ujar Gress Raja.
Sejak gugatan tersebut, kini ada jutaan penghayat kepercayaan dari 150 himpunan yang akhirnya bisa mengisi kolom agama mereka di KTP. Meski masih ada diskriminasi, setidaknya ini adalah langkah maju yang membuat penghayat kepercayaan dapat diakui dan mendapat tempat di negara.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Sekarang Aliran Kepercayaan yang Diakomodasi Negara, Besok Apa? ISIS? DI/TII?
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News