5 Kultur Demo di Jogja yang Bikin Kaget Mahasiswa Surabaya, Jadi Pelajaran Penting dan Berharga

Ilustrasi - Demo di Jogja kawal putusan MK sekaligus lawan dinasti politik Jokowi bikin mahasiswa UNAIR Surabaya kagum. (Eko Susanto/Mojok.co)

Demo di Jogja dalam “Jogja Memanggil” mengawal putusan MK dan perlawanan atas dinasti politik Jokowi membuat saya, mahasiswa asal UNAIR Surabaya merasa agak terkejut.

Sebagai mahasiswa UNAIR Surabaya yang terlibat dalam organisasi pergerakan kampus, saya cukup sering mengikuti aksi unjuk rasa. Baik demonstrasi atau aksi simbolik.

Meski begitu, ketika untuk pertama kalinya turun ke jalan ikut demo “Jogja Memanggil” pada Kamis (22/8/2024) lalu, saya benar-benar merasa terkejut dan terkagum-kagum. Ternyata iklim gerakan di Kota Pelajar beda dengan yang pernah saya rasakan selama tiga tahun menjadi–ya sebut saja–aktivis kampus.

#1 Massa  aksi demo di Jogja melebur jadi satu

Hal paling pertama yang menyita perhatian saya siang itu, ketika menyusul massa aksi yang tengah bergerak dari Jalan Malioboro menuju Titik Nol Kilometer, adalah penampilan para peserta aksi.

Semua hitam. Tak ada almamater warna-warni (yang menunjukkan peserta aksi dari kampus mana). Dan sejauh pengamatan saya, sangat minim saya jumpai bendera simbol organisasi kampus. Khususnya organisasi ekstra (ormek).

Mayoritas kompak membentangkan spanduk atau poster bernarasi perlawanan. Kalau ada bendera, yang banyak terlihat adalah bendera merah putih.

Saya kagum karena demo di Jogja tersebut seolah memang bukan untuk unjuk eksistensi alias gagah-gagahan antar organisasi kampus atau antar kelompok mana. Tapi fokus pada tujuan yang sama: melawan dinasti politik yang coba dibangun oleh Jokowi.

Rakyat Kecil Kawal Putusan MK Melalui Demo di Jogja, Kecewa dengan Jokowi MOJOK.CO
Rakyat kecil ikut demo di Jogja kawal putusan MK, tanda kecewa dengan dinasti politik Jokowi. (Aly Reza/Mojok.co)

Menurut Sali (21), mahasiswa UNAIR Surabaya yang pernah aktif di Kementerian Kajian Isu dan Aksi Strategis (Kastrat) di fakultasnya menerangkan, sebenarnya misalnya ada aksi demo yang mahasiswanya menggunakan almamater kebanggan, itu bukan berarti dalam rangka unjuk eksistensi.

Meski tentu ada juga yang berpikir demikan (punya kepentingan eksistensi). Namun, terutama sekali adalah untuk misi pengamanan.

“Penggunaan almamater ini buat penjagaan aja sih, dan upaya mempermudah controlling,” jelasnya, Jumat (23/8/2024) sore WIB.

Penjagaan yang ia maksud adalah pencegahan masuknya “penyusup” atau provokator yang bukan bagian dari masa aksi. Meskipun tidak dimungkiri juga kerap ada penyusup atau provokator yang pinjam almamater suatu universitas.

Nah, inilah kekaguman lain saya (selaku mahasiswa Surabaya) pada demo kawal putusan MK di Jogja. Tidak ada ketaukan semacam itu. Karena semua berusaha saling jaga.

#2 Ruang yang inklusif

Ketika tengah kumpul di Lapangan Parkir Abu Bakar Ali (ABA), beberapa saat sebelum parade massa demo di Jogja menuju Titik Nol Kilometer, hati saya tersentuh pada orasi seorang orator dari sebuah mobil komando.

Dari corong suara, terdengar seruan seorang perempuan agar memberi ruang aman bagi kelompok rentan: anak-anak, orang tua, perempuan, hingga kawan-kawan disabilitas.

Dengan mata kepala saya sendiri, siang itu saya melihat massa aksi yang berangkat dari berbagai latar belakang kelas, usia, dan gender.

Dalam kesempatan tersebut, mengikuti wartawan muda yang menjadi mentor magang saya di Mojok, saya berbincang dengan Faris (34). Ia menarik perhatian kami karena ia dengan tanpa rasa cemas menggandeng sang anak (usia TK) di tepian massa demo di Jogja yang mulai bergerak.

“Saya sudah beberapa kali ajak anak kalau ada demo di Jogja. Semuanya baik-baik saja, nggak pernah ada gimana-gimana,” ujar Faris.

“Ini juga sebagai cara saya mendidik anak saya sedari dini, kalau misalnya ada demo seperti ini, berarti ada masalah genting,” sambungnya.

Di luar urusan itu, Faris merasa harus turun ke jalan karena ia juga sudah tak tahan dengan Jokowi. Seseorang yang terlihat kalem dan lugu, tapi ternyata sangat mengerikan.

Baca halaman selanjutnya…

Cara demo yang semestinya ditiru mahasiswa Surabaya

#3 Demo di Jogja (diupayakan) berlangsung damai

Sejak awal demo “Jogja Memanggil” orator dari mobil komando memang sudah berulang kali menyerukan kalau aksi hari itu adalah “aksi damai”. Dan itu bukan sebatas slogan belaka.

Karena hingga menjelang petang, demo berlangsung dengan tanpa huru-hara atau aksi anarkis: aman, kondusif, massa aksi pulang dengan tenang.

“Wah, sepengalamanku di Surabaya, peserta demonya sering chaos dan rusuh sendiri. Padahal, antar sesama peserta aksi lho, ini, bukan dengan aparat,” keluh Rama (24), mantan mahasiswa Surabaya yang siang itu juga ikut demo di Jogja.

Paling baru, Sali, Kastrat di salah satu fakultas di UNAIR Surabaya yang terlibat aksi “Jatim Menggugat” Jumat (23/8/2024) bercerita, aksi di Kota Pahlawan tersebut juga sempat chaos. Bukan sebab bentrok dengan aparat, tetapi antar peserta aksi sendiri.

Tapi baik Rama maupun Sali tidak bisa memastikan, apakah itu memang bentrok antar peserta aksi sendiri, atau jangan-jangan ada “penyusup” yang menjadi provokator.

#4 Solidaritas yang terbangun

Dalam aksi demo “Jogja Memanggil” melawan dinasti politik Jokowi, saya jadi paham bahwa masyarakat di Jogja terutama mahasiswa telah terdidik untuk aksi lewat sejarah “pembiasaan” yang panjang. Hal ini saya dapat dari penuturan Ahmad (27), salah seorang massa aksi yang memang suka membaca buku-buku sejarah.

“Dari masa reformasi 1998 lalu, tentu, dan kembali menguat di momen “Gejayan Memanggil” 2019 kemarin. Momen ini berhasil menyatukan berbagai elemen sipil—mahasiswa, buruh, seniman, aktivis lingkungan, aktivis gender, dan kelompok-kelompok lain di Jogja dengan berbagai ideologinya—ke dalam satu barisan aliansi yang dinamakan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB),” jelasnya.

Aliansi ini yang kemudian membangun gerakan terstruktur satu komando di Jogja pada momen-momen berikutnya. Namun penyatuan itu, tak lantas membikin organisasi-organisasi di dalamnya jadi “manut” titah aliansi begitu saja.

Massa demo di Jogja membentangkan spanduk berisi kritik dan kekecewaan pada DPR yang hendal “begal” putusan MK. (Aly Reza/Mojok.co)

“Dalam penentuan gerak, aliansi tetap mengakomodasi suara dari tiap organ dalam diskusi terbuka, untuk kemudian mencari jalan yang dikehendaki oleh semua,” terang Ahmad.

Banyak sorotan tertuju pada “Gejayan Memanggil” sebab kesuksesannya sebagai suatu gerakan sosial. Artikel, jurnal, bahkan skripsi beramai-ramai membahasnya sebagai kajian mendalam.

Aliansi Rakyat Bergerak ini memungkinkan gerakan di Jogja jadi berumur panjang. Sebab, setidaknya, ia menjembatani hal-hal ini:

  1. Jaringan solidaritas yang kuat antar organisasi di dalamnya
  2. Skema aksi yang lebih tersistematis dan tak terpecah
  3. Pemetaan keamanan lebih siap dan mapan dari sebelumnya—ketika masing-masing organisasi masih bergerak terpisah.

#5 Iklim akademik Jogja sangat mendukung

Selain solidaritas aliansi, iklim akademik juga jadi pengaruh: dosen ambil peran penting dalam hal ini. Ahmad menyebut, di beberapa kelas, dosen-dosen universitas di Jogja justru mewajibkan mahasiswa untuk turun (demo). Herlambang Wiratman dosen Fakultas Hukum UGM jadi salah satunya. Banyak media sudah memberitakannya.

Di aksi demo “Jogja Memanggil”, saya melihat sendiri Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) berorasi dan membacakan puisi di mobil komando.

Tak hanya rektor, para dosen yang berjumlah lebih dari 100 orang turut turun dan melebur dengan massa aksi. Sesuatu yang sepertinya sudah jadi hal biasa di Jogja.

Rektor UII ditemui wartawan (Hammam/Mojok.co)

“Ini aksi yang ingin menyuarakan suara jernih dari Jogja. Untuk mengingatkan penguasa, penyelenggara negara yang tampaknya beberapa bulan terakhir sudah agak kelewatan,” ujar Fathul kepada awak media yang mengerumuninya usai orasi.

Dalam demo di Jogja, saya menyaksikan sendiri ketika para petinggi kampus–macam Herlambang atau Fathul–tak mau diam saja meskipun sebenarnya mereka sudah dalam “situasi nyaman”. Mereka turun bersama kami, berpanas-panasan, menyulut api perlawanan pada ia–atau mereka–yang hendak mengambil alih negara ini menjadi dinasti politik kroninya sendiri

Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Ternyata Cak Nun Benar Perihal Jokowi Firaun

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version