Menjadi pengasuh panti asuhan atau yang kini dikenal sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) butuh kesabaran ekstra. Apalagi ketika anak-anak di dalamnya berasal dari berbagai pulau di Indonesia, usia yang berbeda, dan karakter yang beragam. Itu yang terjadi di Anak Seribu Pulau.
***
Suasana Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Anak Seribu Pulau begitu ceria di sore yang mendung itu. Sebagian anak-anak laki-laki tengah bermain bola plastik di pelataran. Sebagiannya lagi tengah bermain sunda manda atau engklek di lorong panti asuhan.
Tiba-tiba seorang remaja perempuan datang ke Kak Ona. Wajah anak itu sendu, seperti habis menangis. Ia merajuk kalau dirinya diisengi oleh kawan lain. Dengan sabar, Kak Ona yang punya nama lengkap Silvi Vian Lesnussa (30) mendengarkan. Mereka lantas ngobrol tentang solusi dari masalah tersebut.
Kak Ona mengatakan, biasanya di LKSA Anak Seribu Pulau, dia yang berperan sebagai sosok yang tegas. Sedang, pengasuh lain yang Mojok ajak ngobrol, Desri Julianti Lase (25) atau akrab dipanggil Kak Desri berperan sebagai pengasuh yang lembut.
“Saya biasanya tegas, tapi memang menyesuaikan dengan karakter anak-anak di sini,” kata Kak Ona tersenyum. Sore itu, Minggu 2 November 2025 saya datang kembali ke LKSA yang beralamatkan di Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
“Anak di sini ada sekitar 34 anak, mereka berasal dari 7 daerah di Indonesia, itu mengapa namanya Anak Seribu Pulau,” jelas Kak Desri menambahkan. Mereka berasal dari beberapa pulau dan daerah di Indonesia seperti Papua, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Nias, Nusa Tenggara Timur (NTT).

LKSA Anak Seribu Pulau sendiri merupakan bagian dari Yayasan Menara Kesejahteraan Bangsa yang menaungi berbagai unit kegiatan sosial di Solo dan sekitarnya. Mulai panti jompo, lembaga pendidikan dan LKSA.
Dari panti jompo yang capek tenaga, ke panti asuhan yang harus cerewet
Kak Ona, mulai menjadi pengasuh di LKSA Anak Seribu Pulau mulai tahun 2023. Sebelumnya selama sekitar 4 tahun, ia menjadi pengasuh panti jompo di Solo. Saat di panti jompo ia mungkin dengan sabar mendengarkan cerita-cerita dari orang-orang lanjut usia. Di panti jompo, ia juga harus punya banyak tenaga karena sering kali harus mengangkat lansia. Sementara di panti asuhan, selain harus mendengar dia juga banyak berteriak.
“Kalau di Panti Jompo capeknya di tenaga, harus angkat-angkat. Kalau di sini capeknya di suara, harus cerewet, kadang teriak dan ngejar anak-anak,” kata Kak Ona tertawa.
Bukan hanya latar belakang daerah saja yang berbeda, tapi juga usia anak-anak. LKSA Anak Seribu Pulau anak yang tinggal dari rentang usia 5 tahun hingga 18 tahun. “Itu tantangan kami, bukan hanya dari berbagai daerah tapi pasti karakter anak itu berbeda-beda, apalagi dari sisi usia,” kata Kak Ona.
Anak Seribu Pulau yang datang dari beragam latar belakang
Menurut Kak Desri yang mulai menjadi staf pengasuh di tahun 2021, tantangan mereka bukan soal fisik, tapi batin. Anak-anak di LKSA datang dengan berbagai latar belakang: ada yang yatim, piatu, dan keduanya. Ada korban kekerasan, perceraian. Ada yang dititipkan karena ekonomi keluarga. Semua dengan karakter dan luka masing-masing.
“Karakter setiap anak berbeda-beda. Ada yang cukup dengan suara lembut, mereka akan paham, tapi ada juga yang harus dengan tegas baru bisa,” kata Kak Desri.
Tidak semua anak-anak tersebut tinggal di LKSA sejak usia kecil, sebagian sudah datang di usia remaja dengan kebiasaan dan karakter yang sudah terbentuk di luar panti. “Sebagai pengasuh itu jadi tantangan tersendiri bagi kami,” ujarnya.
Kak Ona mengatakan, aktivitas anak-anak di LKSA dimulai pukul 04.00 saat anak-anak bangun pagi dilanjutkan dengan merapikan tempat tidur dan bersih diri. Selanjutnya doa bersama, sarapan dan berangkat sekolah. Sepulang sekolah anak-anak akan melakukan apel sore, bersih-bersih lingkungan dan kegiatan pengembangan diri maupun belajar.
“Kegiatan pengembangan diri ada taekwondo, badminton, dan panjat tebing. Setiap anak minimal ikut satu,” kata Kak Ona. Di sela-sela itu, anak-anak biasanya bermain di lingkungan panti.
“Namanya anak-anak biasa mereka itu kadang jail sama temannya, kemudian bertengkar, nanti bermain bersama lagi, begitu terus. Kami tekankan ke mereka kalau mereka itu saudara, harus saling mengasihi” kata Kak Ona.
Tangisan yang membuat ingin mundur dari Anak Seribu Pulau
Hal yang lebih menantang adalah menghadapi karakter anak asuh yang datang ke panti ketika sudah beranjak remaja. Karakter mereka sudah terbentuk dari luar. Kak Ona bercerita, di bulan pertama mulai bekerja dia sempat hampir menyerah.
“Saya menangis saat itu karena mereka mengeluarkan kata-kata yang nggak pantas pada pengasuh. Saya saat itu sudah mengajukan pengunduran diri,” kata Kak Ona.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Kak Desri. Hanya gara-gara mengingatkan, ia ditantang oleh anak asuh yang badannya lebih besar darinya.
“Saya mengingatkan untuk mengerjakan tugasnya. Mungkin karena saat itu emosinya sedang tidak stabil, dia malah melampiaskan ke saya. Saat itu saya ada rasa, udah nggak sanggup lagi, aku mau keluar saja dari sini. Sampai nangis-nangis saya saat itu,” kata Kak Desri.
Lalu apa yang membuat mereka masih bertahan?
“Kalau saya saat itu merenung, jika saya keluar nanti kasihan anak-anaknya, siapa yang akan menggantikan, saya juga sudah sayang sama mereka,” kata Desri.
Begitu pula dengan Kak Ona. Ia awalnya sudah akan angkat kaki, sampai kemudian diingatkan oleh pimpinan panti jika dirinya hanya butuh penyesuain karena baru bekerja.
“Pak Daniel mengingatkan bahwa pekerjaan saya itu pelayanan kasih, butuh proses. Kemudian saya merenung dan mulai mengenali anak-anak satu persatu. Mulai berdamai dengan diri, saya juga meminta maaf ke anak-anak, ya bertahan sampai sekarang,” kata Kak Ona.
Ketika saya bertanya, apa tantangan terberat menjadi pengasuh di LKSA Anak Seribu Pulau, mereka menjawab bahwa setiap hari ada tantangan baru yang mereka harus hadapi. Mengasuh 34 anak yang terdiri 12 anak perempuan dan 22 anak laki-laki dengan beragam latar belakang bukan hal yang mudah.
Maka, delapan pengasuh yang ada memiliki peran masing-masing. Untuk anak-anak bandel, biasanya akan jadi urusan Kak Ona. “Kalau kata anak-anak, mereka bilang saya galak, tapi ya itu tadi tergantung anaknya. Kadang harus dicereweti dulu atau dengan kata-kata yang tegas,” kata Kak Ona kembali tertawa.
Pengasuh LKSA Anak Seribu Pulau yang belajar lagi tentang pengasuhan yang baik
Namun, apa yang mereka lakukan sangat terukur. Menghadapi anak-anak dengan berbagai latar belakang dan kondisi psikologis yang berbeda membuat mereka harus paham cara menanganinya.
Untungnya, ada dampingan dari Bakti Sosial Djarum Foundation berupa pelatihan kompetensi sebagai pengasuh. Bukan asal-asalan. Mereka dapat materi tentang peran pengasuh, keterampilan pengasuhan yang efektif, dan kemampuan berkomunikasi yang baik kepada sesama pengasuh maupun dengan anak asuh.
“Kami diajari bagaimana melakukan komunikasi yang efektif kepada anak-anak, termasuk di dalamnya mengatur nada bicara dan memahami perilaku anak tanpa menghakimi,” kata Kak Ona.
Pelatihan ini sangat penting bagi mereka, karena anak-anak yang mereka tangani merupakan Gen Z dan Gen Alpha yang punya cara tersendiri dalam berkomunikasi.
“Kami paham bahwa kami di sini itu hadir untuk jadi keluarga mereka,” kata Kak Ona.
Materi pelatihan yang diberikan Djarum Foundation itu sangat membantu mereka untuk bisa menentukan langkah apa yang harus diambil ketika terjadi masalah. Ketika pengasuh kesulitan untuk memecahkan masalah, psikolog yang ditunjuk Djarum Foundation akan membantu memberi saran.
“Sebenarnya kenakalan remaja pada umumnya, cuma kan tetap saja kami merasa bersalah. Sudah kami jaga dengan baik, tetap saja kecolongan, di situ kita kayak merasa gagal merawat anak-anak. Kami biasanya konsultasi dengan yayasan maupun dengan psikolog yang ditunjuk oleh Djarum,” katanya.
Dari situ pengasuh LKSA kemudian dapat saran dan wawasan untuk bukan sekadar melihat kenakalan yang dilakukan oleh penghuni saja, tapi bisa menggali, apa yang menyebabkan anak melakukan itu.
Bukan hanya mereka yang mendapat materi, anak-anak tersebut juga dibekali pelatihan untuk menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri.
Mereka mendapat pelatihan Resik, Ringkas, Rapi, Rawat, Rajin (5R) yang bertujuan agar anak-anak belajar pentingnya hidup bersih, teratur, dan bertanggung jawab. Juga menumbuhkan rasa disiplin dan kebanggaan dalam menjaga hal-hal kecil di sekitar mereka.
Pendekatan empatik dan kontekstual jadi kunci
Menurut, psikolog pendamping dari Bakti Sosial Djarum Foundation (BSDF) Daniswara A. Wijaya MPsi (30), LKSA Anak Seribu Pulau, ini memang agar berbeda dengan LKSA yang menjadi dampingan BSDF. “Anak-anak di sini punya latar belakang Kristiani, dan sebagian besar berasal dari kawasan Indonesia timur. Budaya dan kebiasaan mereka berbeda dari daerah lain, termasuk dalam hal berkomunikasi dan cara menunjukkan kasih sayang,” katanya kepada Mojok.
Menurut Danis, dari asesmen awal, tim psikolog memang menemukan beberapa hal yang menentukan cara komunikasi yang pas yang akan dilakukan pengasuh kepada anak asuh. Salah satunya anak-anak dari Indonesia timur berangkat dari lingkungan yang keras. Sementara pendekatan yang BSDF lakukan adalah parenting, pengasuhan empatik dan komunikasi yang hangat.
“Kak Ona, salah satu pengasuh kan berasal dari Indonesia timur, jadi tahu sekali karakter anak-anak dari sana. Sehingga pendekatannya memang tidak bisa hanya lembut saja, tapi ada tegas dan disiplin,” ujarnya.
Dalam tahap awal pendampingan, tim psikolog melakukan asesmen individual terhadap anak-anak, untuk memahami kondisi emosional, kemampuan belajar, serta latar belakang keluarga. Dari hasil itu, pelatihan untuk pengasuh kemudian diarahkan agar mereka tidak hanya tegas dan disiplin, tetapi juga mampu mendengarkan secara aktif, memahami perasaan anak, dan menyesuaikan gaya komunikasi mereka.
“Pendekatan yang dilakukan memang ke kontekstual, sesuai dengan kondisi LKSA tersebut. Materi training untuk pengasuh kami sesuaikan dengan kondisi LKSA,” ujar Danis. Biasanya, setelah pelatihan, tim psikolog akan melakukan kunjungan langsung ke lokasi LKSA untuk melakukan monitoring. Sekaligus mendengar kendala penerapan program yang sudah direncanakan.
Menurut Danis, seperti yang dilakukan di LKSA lain, di LKSA Anak Seribu Pulau para pengasuh diperkenalkan dengan konseling karier. Mereka diajarkan cara membantu anak mengenali potensi diri, berpikir kritis, dan merencanakan masa depan, termasuk jika ingin melanjutkan pendidikan atau mengambil beasiswa. “Kami ingin para pengasuh bisa menjadi kakak pembimbing yang memahami minat dan kemampuan anak-anaknya,” jelas Daniswara.
Pendekatan ini terbukti membantu pengasuh memahami bahwa disiplin tidak selalu harus keras. Nilai kasih sayang bisa hadir lewat mendengarkan dan memberi perhatian ke anak asuh. “Di banyak tempat di Indonesia Timur, masih ada pandangan bahwa ‘ada kasih di ujung rotan’. Tapi lewat pelatihan ini, kami berusaha menunjukkan bahwa kasih juga bisa ditunjukkan lewat empati dan komunikasi yang membangun,” tutup Daniswara.
Kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang membuat para pengasuh bertahan di LKSA Anak Seribu Pulau
Baik Kak Ona dan Kak Desri sama-sama menyadari bahwa ada saat-saat dimana mereka sedih dengan tingkah laku anak-anak dengan segala kebandelannya, tapi juga mereka banyak merasakan kebahagiaan.
“Saat mereka nempel ke kita, manja-manja ke kita, itu udah bikin senang,” kata Kak Ona. Apalagi ketika anak-anak tersebut menganggap mereka seperti orang tua mereka.
“Misalnya, tiba-tiba pas kita lagi duduk ada anak yang mijit, terus di tanya, ‘apa kakak lagi sakit’, atau ditanyain kabar oleh mereka, itu hal-hal kecil, tapi buat kita itu bahagia,” imbuh Kak Desri.
Para pengasuh juga akan senang ketika tahu anak-anak tersebut prestasinya meningkat di sekolah. Bagi mereka itu adalah kebahagiaan tersendiri. “Ya, kayak kebangaan kami sebagai pengasuh karena berhasil mendidik anak itu,” kata Kak Desri yang diiyakan Kak Ona.
Anak Seribu Pulau yang ingin jadi profesor
Saya lantas menyapa Rionius Emani (10), yang berasal dari Papua Barat. Ia tinggal di LKSA Anak Seribu Pulau mulai tahun 2021, atau sejak usianya 6 tahun. Meski masih kelas IV, ia punya prestasi olah raga Taekwondo di tingkat provinsi Jawa Tengah.
Namun, bukannya ingin jadi atlet, Rio malah ingin jadi dokter. “Saya ingin jadi profesor di bidang kedokteran,” katanya malu-malu. Bagi siswa SDN 05 Ngringo, Karanganyar ini, Kak Ona dan Kak Desri jadi pengganti orang tua.
Kalau dia merasa kesulitan, tak malu ia bertanya. Begitu juga dengan teman-teman sesama penghuni panti lainnya yang sering membantu kalau kesulitan dalam belajar. “Kalau nilai saya, bagus-bagus,” kata Rio singkat. Ia lantas minta izin untuk kembali bermain bola dengan teman-temannya.
Semangat belajar tinggi juga dipunyai Vanesa Chen (13). Meski baru masuk di LKSA Anak Seribu Pulau di pertengahan tahun 2025, ia sudah merasa kerasan. “Sampai di sini langsung diajak ngobrol sama teman-teman, sudah langsung dekat,” kata anak yatim piatu asal Pekanbaru ini.
Ia juga terbantu dengan peran pengasuh yang jadi semacam orang tua pengganti bagi dirinya. Kesulitan atau persoalan yang dihadapi di panti, ia sampaikan ke pengasuh sehingga dapat solusi.
Ia awalnya justru kesusahan saat mulai sekolah, terutama pelajaran bahasa Jawa. “Teman-teman di sekolah juga baik-baik, mereka bantu saya agar paham,” kata siswi kelas 8 SMPN 1 Jaten.
Vanesa, punya target pribadi. Ia ingin berprestasi secara akademik agar dapat beasiswa. Harapannya beasiswa akan ia raih, termasuk saat masuk kuliah nanti. “Setelah itu ingin pulang, menemani kakek di Pekanbaru,” kata Vanesa.
Harapan para pengasuh untuk anak-anak panti yang nantinya hidup mandiri
Di LKSA Anak Seribu Pulau, anak-anak tinggal hingga lulus SMA/SMK. Selanjutnya mereka akan ditanya, apakah akan bekerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Jika ingin kuliah, yayasan akan memfasilitasi. Sedang anak-anak yang memutuskan mandiri atau bekerja, pihak LKSA memperbolehkan anak-anak tersebut masih tinggal di lingkungan panti sampai mendapat pekerjaan.
“Selepas dari panti, kami ingin nilai-nilai dan kebiasaan baik yang sudah diajarkan selama tinggal di panti tetap dibawa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal kecil seperti bangun pagi, merapikan tempat tidur, serta menjaga kerapian dan kedisiplinan diharapkan menjadi bagian dari karakter mereka,” kata Kak Desri
Kak Ona menambahkan, anak-anak sebaiknya tidak hanya mengingat hal-hal tegas dari para pengasuh, tetapi mengambil sisi positif dari didikan itu, bahwa semua ketegasan dilakukan demi kebaikan mereka. Disiplin dan kebiasaan baik di panti diharapkan bisa membentuk pribadi tangguh dan berkarakter, sehingga saat mereka keluar nanti, nilai-nilai itu menjadi pegangan untuk hidup mandiri dan sukses.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola’ah dan Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan