Perasaan resah dan gelisah tak mampu Dani (24) sembunyikan ketika sudah membahas soal PHK. Saat banyak orang mulai memadati jalanan, menghitung mundur dan bersiap membakar kembang api di malam pergantian tahun, buruh Jogja ini memilih berdiam di rumahnya.
“Nggak ada yang spesial, 2024 ke 2025 artinya cuma mengganti angka terakhir di tahun kalender. Tahun ganti, tapi nasib kami para pengais nafkah ini nggak kemana-mana. Anjay, itu kata-kata hari ini,” ungkapnya, Selasa (31/12/2024) malam, sambil mengepulkan asap rokok dari belakang daun jendela kamarnya.
Dari kamar sempit berukuran 2×3 meter tersebut, Dani berusaha mengingat roller coaster kehidupan yang dialaminya setahun ke belakang. Tentu, yang paling menyisakan duka, adalah PHK yang menimpanya pertengahan 2024 lalu.
“PHK itu nggak sesimpel kerjaan ilang terus kita nemu kerjaan baru. Nggak kayak begitu, sumpah,” jelas Dani, masih dengan raut muka penuh kekecewaan.
80 ribu buruh di-PHK sepanjang 2024
Dani tidak sendiri. Nyatanya, ada banyak buruh lain di Indonesia yang harus kehilangan pekerjaan mereka karena PHK sepanjang 2024.
Berdasarkan catatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, setidaknya ada 80.000 kasus pemutusan hubungan kerja sejak Januari hingga Desember tahun lalu.
Adapun menurut data dari Satudata Kemnaker, tenaga kerja yang mengalami PHK selama periode Januari hingga November 2024 mencapai 67 ribu orang. Jakarta menempati posisi pertama dengan jumlah PHK mencapai 14 ribu buruh. Disusul Jawa Tengah dengan 13 ribu kasus dan Banten dengan 10 ribu buruh yang ter-PHK.
Sementara Jogja, tempat Dani mengais rezeki, menempati urutan 6. Hingga November 2024, jumlahnya hampir menyentuh 10 ribu buruh (per Desember 2024, diperkirakan ada 14 ribu buruh Jogja yang di-PHK).
Dani sendiri mengalami PHK pada pertengahan tahun lalu oleh sebuah perusahaan tekstil. Kala itu, bersama ratusan buruh Jogja lain, Dani mengalami pemutusan hubungan kerja “atas dalih efisiensi”.
Mereka sempat tak mendapatkan haknya. Namun, karena Dani dan kawan-kawannya terus berisik menuntut apa yang mereka harusnya peroleh, beberapa bulan kemudian hak mereka didapatkan.
“Tapi bukan persoalan pesangon, ya. Lebih dari itu. Pertama, PHK itu kan upaya terakhir. Kedua, PHK itu amat mendadak tanpa pemberitahuan. Dan ketiga, cari kerja setelah PHK itu susah,” tukas buruh Jogja ini.
Buruh Jogja ini hidupi tiga adik dengan kerja serabutan
Saat masih bekerja di pabrik, Dani mendapatkan penghasilan tetap. Meskipun upahnya pas-pasan (sedikit di atas UMR Sleman: Rp2,3 juta), setidaknya hasilnya pasti.
Sementara setelah kena PHK, semua menjadi tidak jelas. Mau cari kerja lagi susah, dan ketika sudah dapat, upahnya tak masuk akal. Jangankan tembus UMR, kadang mencapai Rp2 juta pun tidak.
“Ijazahku cuma SMA, jadi memang struggle mau cari kerja. Sementara kalau mau merantau, yang jelas aku ada keinginan, sulit buat aku ninggalin adik-adikku di sini,” ungkap Dani.
Dani punya tiga adik. Satu masih balita serta dua lainnya sudah masuk SD dan SMP. Ayahnya, kata Dani, minggat saat ibunya mengandung adik terakhirnya. Sementara ibunya, di sela-sela kesibukannya mengurus adik kecilnya, membantu tetangga yang punya usaha laundry.
“Tapi (penghasilan ibu) nggak seberapa juga, ‘akadnya’ aja bantu-bantu. Cuma cukup buat makan hari itu,” katanya. “Jadi ya mau nggak mau, aku yang jadi kepala keluarga.”
Semenjak kena PHK, buruh Jogja ini belum menemukan pekerjaan tetap. Makanya, untuk menghidupi ibu dan tiga adiknya, dia bekerja serabutan. Baginya, “selama ada duitnya, bakal dilakuin”. Termasuk dia pernah part time kerja di toko sayur sampai menjadi petugas kebersihan sebuah SD selama dua bulan.
“Jadi kebon (petugas kebersihan) gajinya nggak ngotak. Jangan ngomongin UMR, sejuta aja nggak nyampai,” kesalnya malam itu, bersamaan dengan dentuman petasan dan kembang api yang bikin bising kota Jogja.
Rela jadi sobat KRL, laju Jogja-Solo
Wulan (27) juga merupakan buruh Jogja yang kena PHK sepanjang 2024 lalu. Bedanya, nasibnya boleh dibilang lebih beruntung ketimbang Dani.
Sejak mengalami pemutusan hubungan kerja massal dari salah satu start up ternama, Wulan sudah mendapatkan pekerjaan pengganti. Secara upah, tidak beda jauh. Dia pun juga cukup menikmati suasana kerja yang baru.
Namun, dia harus rela menjadi “sobat KRL” karena tempat kerja barunya berada di Solo. Tiap Senin-Sabtu pagi, Wulan sudah harus berada di Stasiun Maguwo setidaknya pukul 7.
Biasanya, ibunya akan mengantar pagi-pagi sekali dan kembali menjemputnya pada sore hari setelah Maghrib. Rutinitas itu sudah dia lakukan paling tidak 4 bulan ke belakang.
“Kalau ngekos, ortu nggak nyaranin. Kalau mau motoran, pasti capek di jalan, takut kenapa-kenapa. Makanya, pakai KRL lebih safety,” ungkapnya, Selasa (31/12/2024).
“Nikmatnya jadi sandwich generation gini ya. Demi bayarin token listrik rumah, harus rela kehilangan waktu nongkrong dan melakukan hal lain yang disuka,” ucapnya, dengan amat satir.
Bagi Ketua Umum Serikat Merdeka Sejahtera (SEMESTA) Faisal Makruf, fenomena PHK–yang angkanya amat masif ini–adalah hal yang tragis.
Kepada Mojok, dia menduga bahwa fenomena PHK tak lepas kaitannya dengan impor, daya beli masyarakat yang menurun, serta kemampuan pemerintah dalam mendapatkan dan menjaga investasi. Dia pun menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab dengan mencegah PHK sebisa mungkin.
“Jika PHK memang tidak dapat dicegah, maka dampaknya bisa dikelola dengan mengencangkan program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP),” tegasnya, saat Mojok hubungi pada Kamis (2/1/2025).
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Solusi untuk Maraknya PHK di Sleman dari Pakar Ekonomi UGM, Agar Ekonomi Tak Terpuruk atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan