Mendung yang menggantung sedari siang akhirnya tumpah sore itu. Hujan mengguyur Supersoccer Arena Kudus (SSA), lokasi di mana MilkLife Archery Challenge (MLARC) KEJURNAS Antar Club 2025 digelar. Sebuah kompetisi panahan yang digagas Persatuan Panahan Indonesia (Perpani), Milklife, dan Djarum Foundation.
Atlet yang tengah bertanding di kategori recurve mix group U18 dan umum buru-buru menyelamatkan busur panah mereka. Memindahkannya dari lapangan ke tenda tempat berteduh yang disediakan penyelenggara. Salah satunya Lintang Ayoedya Koesworo (18) yang sedang bertanding bersama Muhammad Kukuh Imanuallah (19) mewakili klubnya, Abhipraya Archery Club Semarang.
Bagi para atlet panahan, busur memang barang berharga. Tanpanya, mereka tidak bisa bertanding. Lebih buruk lagi, mereka bak tidak punya nyawa, tidak punya hidup. Itulah yang dirasakan Lintang terhadap busur-busurnya.
“Tanpa itu aku nggak bisa manah, tanpa manah aku nggak bisa dapat uang, nggak bisa hidup,” ujar Lintang kepada Mojok setelah pertandingan, Kamis (18/12/2025).

Protektif dan sensi kalau menyangkut busur panah
Tidak heran kalau Lintang sangat protektif terhadap busurnya. Ketika pertandingan ke luar kota seperti di Kudus ini misal, dia menyimpan busur dalam hardcase untuk menghindari lecetan. Tidak lupa melilitnya dengan kain demi meredam benturan.
Dia jadi teringat suatu pengalaman pada 2023. Waktu itu hujan deras mengguyur lapangan. Dia langsung membereskan busur dan anak panahnya. Sesampainya di rumah, bukannya langsung mandi, Lintang malah mengeringkan printilan-printilan busurnya. Dijejer satu persatu supaya lebih cepat kering.
“Aku pulang jam 3 sore, tapi baru mandi selepas Isya karena ngeringin busur. Besoknya aku langsung tumbang,” kenangnya sambil tertawa.
Rasa sayang semakin besar karena dua busurnya saat ini adalah hasil jerih payahnya sendiri. Lintang menabung hadiah yang dimenangkannya dari pertandingan demi pertandingan sejak kelas 3 SD hingga kini duduk di bangku kuliah. Dia juga mendapat insentif sebagai salah satu atlet yang terpilih dalam Program Semarang Emas (PSE).
Itu mengapa Lintang dan banyak atlet panahan agak sensi ketika busurnya tersenggol atau kenapa-kenapa. Bahkan, dia sempat ngambek selama seminggu kepada temannya yang tidak sengaja melempar batu ke busurnya.
“Aku deketin dia, aku tapuk (tabok) mukanya,” kenang dia. Temannya pun langsung minta maaf.
Busur panah nomor satu, suami nomor dua
Tidak jauh berbeda, Wan Aras (24) dari Bhayangkara Archery Raja Ampat (BARA) pun demikian dengan busur panahnya. Kalau boleh meminjam istilah anak muda zaman sekarang, dia amat “kecintaan” dengan busur compound miliknya.
Ya bagaimana lagi, atlet panahan memang harus bonding dengan alatnya. Di lapangan, alat dan atlet bak satu kesatuan. Ketitisan atau ketepatan membidik target adalah hasil kerja sama antara atlet dan alatnya.
Selain bonding yang begitu kuat, membeli alat dan pernak-pernik panahan di daerah Timur Indonesia cukup sulit. Itu mengapa, Aras menjaga baik-baik busur panahnya.
Saat hujan misalnya, dia rela tidak pakai jaket dan melilitkannya ke busur supaya tidak basah. Selama pertandingan di Kudus ini, dia dan beberapa atlet di klub BARA rela busurnya naik taksi online. Sementara atletnya (pemiliknya) naik ojek online.
“Pokoknya suami nomor dua, busur nomor satu karena ini penting banget,” kelakar Aras dan teman-temannya di klub. Kebetulan, suami Aras juga seorang atlet panahan dan tergabung di BARA.
Menyematkan doa dan nama
Aras memang tidak memberi nama khusus untuk busurnya. Namun, dia mengaku selalu mendoakan yang baik-baik untuk busur dan anak panahnya. Terlebih menjelang pertandingan.
Sementara, Lintang memberi nama busur dan pernak-pernik panahannya dari mitologi Yunani. Dua busur yang dimilikinya saat ini diberi nama Zeus dan Athena.
Lintang memang penggemar mitologi Yunani. Nama Zeus dipilih karena dia adalah dewa dari segala dewa. Lintang berharap makna nama ini bisa menjadikan busurnya sebagai dewa atas busur-busur lain dan menjadikannya pemenang. Walaupun dia tetap menyadari, namanya pertandingan pasti ada menang dan kalah. Semangat yang sama juga berlaku pada Athena yang merupakan dewi perang.
Kendati menyayangi busurnya setengah mati, Lintang tidak lantas “terjebak” mengandalkan alat sepenuhnya. Sebab, di panahan, atlet tetap berperan penting dalam menyasar target. Apalagi panah recurve, setidaknya atlet berperan hingga 70 persen dalam ketitisan membidik sasaran.
“Jadi kalau alatnya mahal dan bagus, tapi atletnya malas-malasan, tetap saja percuma,” tutupnya.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Mensiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.