Segala upaya untuk biayai pendidikan anak
Rini gantian bertanya tentang kesibukan saya selain kuliah dan magang. Saat saya bercerita, Rini berkata kalau saya mengingatkannya pada anaknya yang sedang berkuliah. Ia mengaku memiliki dua anak. Anak sulungnya sedang kuliah, sementara yang bungsunya baru akan masuk MTs.
“Yang satunya juga seumuran sampean, kuliah di UNY. Jurusan Geografi,” tutur Rini dengan senyuman hangat.
Ia dengan antusias menceritakan anak mbarep-nya yang sedang berjuang menghadapi revisian skripsi di UNY sembari bekerja di toko batik daerah sekitar Malioboro, Jogja. Hal itu sang anak lakukan agar tidak terlalu membebani orang tuanya yang sudah banting tulang demi membiayainya kuliah.
“Revisiannya juga sudah akhir, Mas, paling bulan depan bisa yudisium di UNY,” pungkas Isnowo.
Sementara anak bungsu Rini baru masuk di salah satu MTs swasta di Jogja. Biaya awal masuknya terbilang tak murah. Ia mengaku harus membayar sebesar Rp5 juta.
Tentu, ia merasa nelangsa. Namun, menurutnya tak masalah jika pendidikan anak membutuhkan biaya besar. Karena pendidikan adalah hal penting untuk masa depan anak-anaknya.
Dalam sehari-hari menjual air mineral di Malioboro, Jogja, tentu Rini kerap berhadapan dengan situasi sulit. Karena bagaimanapun juga, ia hanya bisa mengandalkan pengunjung dan para pekerja yang lewat di sekitar Malioboro.
“Saya biasanya jualan paling malam itu jam 10, Mas, soalnya kalau jam segitu orang-orang udah mulai nyari kopi,” kelakarnya.
Situasi sulit di Malioboro Jogja
Situasi sulit lain yang dihadapi adalah berkali-kali ditertibkan petugas karena berjualan di kawasan Malioboro. Namun, mau bagaimana lagi. Rini dan suami masih tetap “nekat” berkeliling menjajakan air mineral. Sebab hanya dari situlah keduanya bisa mendapat pemasukan, meski secara untung sebenarnya tak terlalu besar.
“Kalau sepi, biasanya cuma habis dua dus, Mas. Satu dus isinya 24 (botol),” curhat Isnowo.
Rini dan Isnowo menjual air mineralnya seharga Rp5 ribu per botol. Saya asumsikan, jika sehari habis dua dus alias 48 botol, maka ia mendapat uang sekitar Rp240 ribu.
Sebenarnya, bisa saja keduanya menjual dengan harga lebih murah. Katakan saja Rp4 ribu per botol. Hanya saja, hal tersebut bisa membuat pedagang lain komplain. Karena memang standar harganya adalah Rp5 ribu.
“Tapi kalau saya jual ke tukang becak, juru parkir, itu nggak apa-apa murah, sama-sama mencari nafkah,” imbuh Isnowo.
Kami berbincang cukup lama, hingga tak terasa hampir satu jam. Sesaat setelah itu, seorang juru parkir memanggil pak Isnowo untuk membeli minum. Momen itu saya gunakan untuk berpamitan.
“Sehat-sehat ya, Mas,” Rini sambil menepuk pundak saya. Saya mengangguk dan tersenyum melihat Rini dan Isnowo yang masih tampak semangat mencari nafkah demi pendidikan anaknya di UNY.
Berulang-ulang saya sampaikan terima kasih ke Rini dan Isnowo. Keduanya benar-benar mengingatkan saya dengan kedua orang tua di rumah: dua manusia yang selalu mengupayakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Sembari beranjak, saya berharap dagangannya laris manis hari ini, juga hari-hari berikutnya.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Hammam Izzuddin
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News