Beban Menjadi Perempuan Aceh: Hidup dalam Ketakutan dan Dikuasai Laki-laki, Tak Ada yang Bantu saat Kena KDRT

Ilustrasi - Rekaman ketakutan perempuan Aceh atas KDRT. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Karya seni “Beudoh Dhara” dalam Pameran Nandur Srawung #11 (NS XI) memberi saya gambaran betapa mengerikannya sistem patriarki yang mencengkeram perempuan-perempuan Aceh. Sistem patriarki yang dilanggengkan hingga menimbulkan ketakutan nan trautamis. Sistem yang rentan membuat perempuan Aceh menjadi korban KDRT.

***

Selain “Echoes: Passing, Lingering, Longing, Sensing” milik Vincent Ruijters di Pameran Nandur Srawung #11 (NS XI), terdapat satu lagi karya yang membuat perasaan saya meletup-letup. Yakni “Beudoh Dhara”, karya Nisa Rizkya Andika.

Karya itu terbentuk dari penyatuan potret-potret para perempuan–anak, remaja, dewasa–dalam format warna hitam putih. Warna yang lekat dengan suasana sedih, duka, atau malapetaka. Suasana itu, semakin menyeruak ketika saya melihat wajah-wajah dalam potret itu tersensor solatip cokelat.

“Ini kumpulan potret perempuan penyintas,” jelas Irene Agrivina selaku kurator dalam agenda susur pameran hari itu, Kamis (15/8/2024).

Saya pun menanyakan kepadanya, siapa pemilik karya ini? Sebab karya itu begitu menarik perhatian saya. Barangkali karena saya juga perempuan. Ada emosi sangat kompleks yang turut saya rasakan ketika melihat potret-potret tersebut.

Beudoh Dhara, seni rupa yang menggambarkan ketakutan perempuan Aceh di bawah sistem patriarki MOJOK.CO
“Beudoh Dhara” dalam Pameran Nandur Srawung. (Alya Putri/Mojok.co)

Saya cukup beruntung karena tak lama usai menanyakan hal tersebut pada Ira (sapaan akrab Irene Agrivina), tiba-tiba sang seniman penggagas “Beudoh Dhara” ada di belakang kami.

“Kebetulan sekali, ini seniman karya potret-potret perempuan yang tadi kamu tanyakan,” kata Ira memperkenalkan sosok si seniman.

Saya tentu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Saya segera menyambung percakapan dengannya setelah berterima kasih kepada Ira.

Nama seniman penggagas “Beudoh Dhara” adalah Nisa Rizkya. Perempuan berusia 27 tahun asal Aceh.

“Ini hasil riset pribadiku. Aku lulus dari ISI Yogyakarta jurusan Film, ngomongin soal tubuh perempuan. Kemudian sejak 2022 kemarin, aku kuliah S2 di Universitas Sanatha Dharma (jurusan) Kajian Budaya,” ungkap Nisa ramah.

“Aku ngelanjutin riset S1 ke hal yang lebih besar, yaitu wacana ketakutan di tubuh perempuan Aceh,” cerita sambungnya.

Budaya patriarki di Aceh yang mencengkeram kuat

“Aku asli Aceh. Aku masih pulang ke Aceh hingga hari ini. Ibu bapakku di sana. Aku merasakan sendiri menjadi perempuan  di sana. Politik ketakutan ada dan diwariskan di Aceh,” kata Nisa.

“Aku coba lihat narasi sejarah dari keluargaku. Aku melihat bagaimana keluarga ini dilihat dalam memori sejarah yang lebih besar,” jelasnya.

Potret-potret yang terkumpul dalam “Beudoh Dhara” ternyata bukan perempuan lain, melainkan ia dan keluarganya. Itu adalah potret-potret yang sebelumnya terhimpun dalam album keluarga. Membentangkan kisah tumbuh perempuan-perempuan dalam keluarganya; Nisa, mamanya, dan adik perempuannya

Dengan kata lain, “penyintas” itu adalah Nisa sendiri, adalah keluarganya sendiri. Penyintas dari sistem patriarki Aceh yang telah begitu kuat mengakar.

Saya bisa langsung menangkap keresahan yang coba Nisa utarakan. Perihal perempuan Aceeh dan ketakutan-ketakutannya. Sebab, belakangan saya memang berkawan dengan perempuan asli Aceh. Sebut saja Sita (21). Sekali waktu ia bercerita amat panjang pada saya, soal bagaimana patriarki mengakar dan mencengkeram begitu kuat di Aceh.

 KDRT yang dibiarkan

Sita bercerita pada saya, ia jadi korban betapa kuatnya sistem patriarki di Aceh atas berbagai rentetan peristiwa. Ketika SMP, ia mengaku pernah jadi korban KDRT dari ayah tirinya. Kejadian yang kemudian membuatnya harus mengakses layanan Psikolog hingga saat ini.

Ayah kandungnya meninggal. Sementara kondisi lingkungan yang memicingkan mata terhadap perempuan pemimpin keluarga memaksa ibunya mau tak mau mesti menikah lagi.

“Perempuan nggak boleh memimpin keluarga di Aceh. Itu sangat tabu. Bahkan keluarga terancam dikucilkan dan dipersulit urusan administrasinya, seperti keluargaku dulu. Kalau mau ngurus surat apa gitu, atau hal-hal lain, perangkat desa mengharuskan kedatangan ayah atau suami,” terang Sita.

Kabar buruknya, bapak barunya amat patriarkis pula. Merasa menang sendiri dalam keluarga dan permisif terhadap tindak-tindak kekerasan (KDRT).

Sita menambahkan, laku-laku KDRT dianggap sebagai “konflik internal rumah tangga” yang membuat masyarakat tak mau campur tangan. Masyarakat percaya sepenuhnya terhadap laki-laki yang mereka anggap sebagai pemimpin keluarga yang selalu dapat diandalkan.

“Bahkan sekali waktu, tetanggaku pernah ada yang mau meninggal karena KDRT saking parahnya. Anaknya lari ke warga yang lagi ronda. Tapi nggak ada yang mau bantu, karena tadi, mereka menganggap itu urusan pribadi rumah tangga orang,” jelas Sita.

Setamat SMP, ia dilarang mengenyam bangku SMA oleh orang tua, dan langsung saja diarahkan untuk kerja. Sebab, pendidikan bukan soal penting bagi perempuan. Proyeksi masa depan perempuan disederhanakan hanya untuk menikah, mencari pria dan bergantung pada mereka.

Ketika perempuan Aceh melawan

Sita menolak putus sekolah, ia pun diam-diam mendaftarkan dirinya di suatu SMA. Singkat cerita, ia diterima. Itu sekaligus jadi pemantik bentrokan amat besar antara dirinya dengan orang tuanya.

Ia dihadapkan pada pilihan amat berat, utamanya bagi remaja usia SMP menjelang SMA: pilih keluarga atau sekolah. Dengan kata lain, bila ia ngotot masuk SMA, ia mesti keluar dari rumah, membiayai sendiri hidupnya.

Sita memilih yang kedua. Ia hengkang dari rumah semenjak itu hingga hari ini telah menginjak kuliah semester tujuh. Selama kuliah di Surabaya, ia bertahan hidup dengan mengandalkan beasiswa dan penghasilannya dari kerja-kerja serabutan. Berbagai bentuk pekerjaan pernah ia lakoni untuk bertahan; jualan jus, jadi ART,  barista, joki tugas, hingga cetak batu bata.

Ia mengaku tak memiliki rencana untuk kembali ke Aceh. Sebab ia merasa tak aman. Pun, ia sudah tak punya keluarga lagi di sana.

Rentetan peristiwa yang terjadi pada Sita dan banyak perempuan Aceh yang lain cukup memberi gambaran–setidaknya pada saya–bagaimana patriarki bercokol secara sistematis dan mengakar pada masyarakat Aceh.

Solatip cokelat dan penggambaran proteksi yang keliru

Solatip cokelat yang menyensor wajah-wajah pada “Beudoh Dhara”, hadir dari pengalaman personal Nisa.

Pada 2017, ia merantau ke Jogja untuk kuliah. Mamanya, sebagaimana ibu pada umumnya, selalu membungkus makanan atau lauk pauk untuk dikirim ke anaknya. Solatip cokelat jadi andalan mamanya dalam “mengamankan” makanan.

“Mamaku selalu wrapping kirimannya itu, entah rendang, sunti, atau bumbu-bumbu Aceh lain, dengan plester lakban yang sangat banyak. Dia pingin makanan itu tetap fresh sampai di tempatku,” cerita Nisa.

Nisa kemudian sadar, bahwa proteksi yang mamanya lakukan terhadap makanan-makanan yang dikirimnya itu, sama sebagaimana proteksi yang mamanya lakukan terhadap anak-anak perempuannya.

“Kenapa kita diwajibin pakai hijab di rumah, karena menurut mama itu bentuk proteksi. Tapi proteksi dari ketakutan sama siapa? Apa ada yang mau jahatin aku? Kalau ada orang yang jahat di luar kenapa nggak mereka yang dipenjara, tapi malah aku yang sembunyi, kan gitu,” ungkapnya kesal.

“Pun pada akhirnya, makanan itu sering sampai ke rumah dengan keadaan yang tetep aja rusak. Entah bocor, atau apa, karena selalu terguncang. Jadi proteksi itu, sebagaimanapun mamaku berusaha mengupayakan, kalau orang di luar (lingkungan) itu nggak jaga amanah barang itu sampai dengan baik ke tempatku, ya tetep aja bakalan rusak,” kata Nisa.

Ia sadar, pola ini sama dengan upaya proteksi mamanya terhadap anak perempuannya. Bahwa, bagaimanapun hebatnya bentuk proteksi itu, bila lingkungan masih dengan sadar melanggengkan sistem patriarki toxic dengan segala rupa perangkat sosialnya yang sistematis, maka tak ada upaya yang akan benar-benar berhasil. 

Upaya memutus rantai ketakutan perempuan Aceh

“Karya ini mencoba menghentikan dan memutus rantai ketakutan perempuan. Makanya judulnya wake up women. “Beudoh Dhara” dalam bahasa Aceh itu artinya bangkitlah perempuan. Mari kita maknai hidup kita sendiri,” tegas Nisa.

Sebab begitu tabunya dan begitu tak siapnya masyarakat Aceh atas obrolan mengenai isu perempuan dan patriarki, “Beudoh Dhara” belum pernah Nisa tampilkan di Aceh.

Namun, Nisa beruntung sebab keluarganya cukup terbuka untuk berdiskusi. Secara pelan-pelan semenjak kepindahannya di Jogja, ia aktif mengajak keluarganya berbicara. Saat ini, keluarganya sangat mendukung ia membicarakan isu mengenai perempuan Aceh  pada karya-karyanya.

Ini adalah langkah awal untuk memutus rantau ketakutan perempuan Aceh dan sistem patriarki yang membelenggunya berlarut-larut.

Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Kehidupan Pahit di Rusunawa Gunungsari Surabaya, 4 Kali Terusir Bertahan demi Pendidikan Anak hingga Berakhir Putus Sekolah

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version