Bahasa slang terus berkembang di tiap generasi. Terdengar “aneh” dan bahkan cenderung nyinyir. Namun, sebenarnya bahasa slang juga punya power untuk mengkritik pemerintah.
***
Suatu hari, saya pernah main ke rumah seorang teman. Karena teman saya masih membeli minuman, akhirnya saya dijamu oleh adik teman saya yang baru masuk SMP.
Saya dan keluarga teman saya memang cukup dekat, sehingga saya merasa tidak canggung dengan sang adik. Mulanya saya bertanya, bagaimana pengalaman pertama dia masuk SMP?
Kemudian dia bercerita bahwa ada anak yang “sigma”. Di situlah saya merasa kurang gaul. Apa itu sigma? Dia menjelaskan, sigma biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang keren dan populer atau mendominasi.
Usai perbincangan itu saya mulai mencari bahasa-bahasa slang anak sekarang. Ternyata ada banyak istilah yang saya tidak mengerti. Misalnya, lit, rizz, fam, skibidi, simp, dan masih banyak lagi.
Sebagai pembeda antar generasi
Saya jadi sadar, bahasa slang ternyata muncul di setiap era. Lalu, apa latar belakangnya? Rasa penasaran membawa saya berdiskusi dengan seorang pakar.
Guru besar Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Ni Wayan Sartini menjelaskan bahasa slang muncul karena tiap generasi ingin menciptakan identitas sosial dan kelompok mereka sendiri.
“Bahasa slang sebagai cara untuk membedakan diri dari generasi yang lebih tua dan menunjukkan solidaritas di antara mereka,” kata Dosen Ilmu Linguistik itu kepada Mojok, Rabu (9/10/2024).
Pada akhirnya, muncul lah sekat di tiap generasi yang membentuk “kita” versus “mereka”. Justru dengan begitu, slang bisa bikin solid antar generasi. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka paham tren sosial dan budaya yang berlaku di zamannya.
Bahasa slang jadi senjata kritik pemerintah
Ni Wayan bilang, bahasa slang mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang berkembang di tiap generasi. Semakin dewasa, tiap generasi punya nilai-nilai dan perspektif yang berbeda sesuai dengan konteks sosial dan identitas politik mereka.
Generasi muda biasa menggunakan bahasa slang sebagai alat kritik untuk memberontak norma dan otoritas sosial. Mereka menyindir kebijakan, atau situasi sosial-politik di zamannya.
“Bahasa slang sering menjadi media bagi generasi muda yang merasa suaranya tidak didengar dalam arus utama untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka,” ucap Ni Wayan.
Slang sering dipakai oleh masyarakat pinggiran atau kelompok marjinal sebagai bentuk perlawanan. Misalnya seperti kelompok pekerja, kelompok minoritas, atau aktivis sosial yang tidak puas terhadap sistem atau kebijakan pemerintah.
Penyebarannya semakin cepat berkat adanya teknologi, khususnya media sosial. Bahasa slang itu bisa dikemas melalui meme, humor, atau konten sarkasme politik.
Sebagai contoh, mahasiswa yang demo mengkritik kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka mengangkat poster bertuliskan, “Bapak, Ibu! Minum enggak? Dugem enggak, kok RUU-nya ngawur? #Otaknyangefly.” atau “UU Cipta Kerja aja yang bapuk, pemerintah jangan”, dan lain-lain.
Kreativitas anak muda menciptakan bahasa slang
Ni Wayan menjelaskan, bahasa slang itu sifatnya informal, sehingga memungkinkan orang untuk berkomunikasi secara kreatif. Mereka tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa formal yang erat kaitannya dengan kekuasaan atau struktur yang dikritik.
Kemunculan bahasa slang berangkat dari refleksi pengalaman hidup anak muda. Ni Wayan menjelaskan, generasi muda cenderung eksperimentatif dengan bahasa. Mereka menciptakan kata-kata baru atau memberikan makna pada kata-kata lama.
“Kreativitas linguistik ini memungkinkan mereka untuk mengekspresikan ide-ide dan perasaan dengan cara yang lebih segar dan unik,” ucapnya.
Generasi muda terinspirasi dari tren budaya seperti musik, film, media sosial, dan gaya hidup. Misalnya, istilah-istilah dari dunia hip-hop, video game, atau internet sering kali menjadi bagian dari slang generasi tertentu.
“Generasi yang tumbuh dengan media sosial, misalnya, memiliki pengalaman unik dengan dunia digital, dan slang mereka seperti skibidi atau simp mencerminkan fenomena online yang terkait dengan teknologi dan interaksi virtual,” kata dia.
Selain itu, masyarakat yang lebih kritis akan menggunakan istilah yang berhubungan dengan inklusivitas, identitas gender, atau isu-isu sosial lainnya.
Perpaduan budaya dan globalisasi juga turut berpengaruh. Generasi muda, terutama di kota kosmopolitan, sering mencampur bahasa-bahasa asing untuk menciptakan slang yang unik. Di Indonesia sendiri, sering muncul bahasa slang hasil dari perbaduan bahasa Inggris dan bahasa daerah, atau istilah asing yang diadaptasi ke dalam percakapan sehari-hari.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchammad Aly Reza
BACA JUGA: Kosakata Bahasa Indonesia yang Bikin Salah Paham, dari ‘Nyinyir’ Hingga ‘Wacana’
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.