Polisi Tidur Jalan Persatuan UGM dan Teriakan Para Korbannya

Polisi tidur jalan persatuan dan teriak kejut korbannya

Banyak yang resah dengan adanya polisi tidur, alat pembatas kecepatan atau markah kejut berjajar empat yang ada di Jalan Persatuan, barat Rektorat UGM. Kata para korban, polisi tidur itu tidak membantu sama sekali, yang ada justru mengganggu mobilitas kegiatan mereka.

Mojok bertanya kepada para korban hingga mereka yang justru merasa diuntungkan dengan adanya polisi tidur tersebut.

***

GLODHAAAAK!” Itulah suara yang saya dengar. Lantas disusul dengan pisuhan paling syahdu atas nama, “ASU!” Lantas ada lagi suara serupa, dari motor yang berbeda, “GLODHAAAK!” Kemudian disusul dengan kontemplatif yang terlantun amat ritmis, “Ya Allah!” pekiknya. Lantaran saat ini masih dalam kondisi bulan puasa. Bulan yang penuh dengan pengampunan, namun tidak bagi para pengguna Jalan Persatuan siang itu.

Itu adalah sehimpun umpat dan kejut dari pengguna Jalan Persatuan, Barat Rektorat UGM, yang tengah melewati halang rintang yang kesulitan rintangannya, setara dengan obstacle Benteng Takeshi. Polisi tidur yang ada di jalan tersebut, kadang bikin penggunanya terkejut, tidak jarang juga bikin motor mereka benjut.

Seharian saya mengamati polisi tidur yang acap kali menjadi pusat umpat para pengguna Jalan Persatuan. Bagi yang nggak tahu di mana tempatnya, jalan itu adalah penghubung antara Kota Jogja dengan Jalan Kaliurang di Kabupaten Sleman. Jalan yang katanya Puthut EA adalah jalan yang paling romantis di Yogyakarta. Namun setelah melewati gronjalan polisi tidur di Jalan Persatuan, apakah Mas Puthut masih menganggap jalan itu romantis, ya?

Siang terik saya ladeni dan ngelak lan ngelih saya tantang demi melihat motor-motor yang melewati markah kejut tersebut. Ada yang menghindari dengan cara menghindari sampai ke memakan bagian jalan lainnya, ada pula yang pasrah dan menghantam polisi tidur itu dengan perasaan paling tabah, walau tidak setabah hujan di bulan Juli, sih. Ada yang terkejut, ada yang sudah biasa. Ada yang misuh, ada yang kontemplatif.

Kisah mereka yang malang karena polisi tidur Jalan Persatuan

Pria yang akrab disapa Babon (24) punya beberapa pengalaman pelik dengan polisi tidur ini. “Bajingan tenan, pas lewat jalan itu dengan kecepatan penuh, aku oleng dan jatuh,” ungkapnya sebagai pembuka percakapan kami.

Babon yang merupakan mahasiswa UGM itu menambahkan, “Itu waktu aku semester satu. Masih belum paham medan terjal kuliah di UGM selain UKT-nya yang mahal dan jalanan yang diportal-portal.”

Babon dengan tertawa mengatakan setelah itu motornya masuk bengkel dan habis uang sebesar tujuh ratus ribu rupiah. “Nggak paham deh aku, Mas, apanya yang rusak. Pokoknya bagian depan itu lepas dari badan motor,” katanya dengan tertawa.

“Sialnya, ya, itu adalah motor kesayangan Pakdhe. Jancuk sekali, baru saja beberapa hari numpang, sudah ngerusakkin motornya Pakdhe.”

Kenang tentang polisi tidur bagi Babon bukan hanya itu saja. “Ketika dulu bawa mantan, malam-malam dengan kondisi hujan yang menderu syahdu, membuat saya kalap lagi. Saya pacu motor dengan kecepatan yang lumayan ngebut, melewati polisi tidur itu, dan pacar saya mencelat dari motor,” terangnya dengan wajah antara ngampet ngguyu dan penuh dengan kenang.

Mantan Babon itu jatuh ke kiri jalan dan mengalami beberapa memar. “Kondisinya sepi sekali lha wong sudah jam dua pagi. Setelah itu saya minta maaf beberapa kali, menawarkan ongkos ganti rugi untuk berobat si doi. Namun ya namanya sedang apes, hasil  akhir adalah sebuah hasil sidang yang nggak bisa diganggu-gugat bernama putus cinta,” katanya.

Polisi tidur Jalan Persatuan UGM sering tak terlihat oleh pengendara. Foto Gusti Aditya/Mojok.co
Polisi tidur Jalan Persatuan UGM sering tak terlihat oleh pengendara. Foto Gusti Aditya/Mojok.co

Lanjut Babon, rugi tujuh ratus ribu nggak ada apa-apanya ketimbang kerugian paling prinsip atas nama kehilangan perempuan yang masih ia cintai. “Bukan orang ketiga yang menyebabkan saya putus, tapi polisi tidur biadab itu,” katanya dengan sendu. “Asu, asuuuuu,” pamungkasnya yang rasanya harus saya tulis di dalam liputan ini untuk menggambarkan betapa remoook-nya hati Babon.

“Kalau saya lebih ke pengalaman yang nggak bisa saya maafkan sampai sekarang,” begitu kata Sekar (21) dengan nada paling mengancam. “Hapeku gogrok waktu lewat jalan itu. Padahal kecepatan yang saya pacu nggak banter-banter amat loh. Gogrok loh, Mas. Hape saya jatuh tanpa ada gangguan makhluk tak kasat mata. Aneh benar polisi tidur di sini,” lanjutnya.

Bagi Sekar, ia baru pertama menjumpai polisi tidur yang begitu menjebak nan tricky. “Kan ada banyak polisi tidur jejer empat begitu, tapi nggak setinggi itu gundukannya. Palingan ya hanya bikin geter-geter kecil, nggak sampai bikin hape yang ada di dashboard mencelat ke jalan,” tambahnya dengan perasaan paling dongkol.

Sekar melanjutkan, “Kalau si polisi tidur di Jalan Persatuan ini manusia, ya, pasti nggak punya temen, deh. Penuh tipu daya. Dalam pandangan mata aja kayaknya kecil, pas dilewati bisa bikin motor goyang-goyang hebat.”

“Kalau kerugian, ya jelas rugi. Hape loh ini. Saya kan mahasiswi rantau yang harus menimang-nimang uang bulanan buat makan dan berbagai keperluan mendesak. Toh hape saya waktu itu lumayan bagus,” katanya sambil memberi tahu merek hape yang rusak dengan kisaran harga barunya tiga juta rupiah.

“Rasanya seperti melayang, sih,” kata Akbar (24). “Ban motor saya pasti bocor setelah melewati polisi tidur itu. Jadi kalau nggak penting-penting amat, saya menghindari jalan ini. Rugi bensin nggak masalah ketimbang rugi waktu dan uang nunggu ban motor saya ditambal-tambal,” kata salah satu mahasiswa klaster Sosial-Humaniora tersebut.

Akbar berkata bahwa kerusakan pada ban motornya, itu nggak terjadi beberapa kali saja, namun berkali-kali. “Beneran, saya nggak melebih-lebihkan, tiap gaprak polisi tidur tersebut, bisa-bisanya ban motor saya langsung rusak. Entah bocor atau menjadi kurang angin,” tutupnya.

Polisi tidur Jalan Persatuan tidak selamanya mengganggu

Wahyu (41), salah satu penyedia jasa tambal ban di sekitar Jalan Persatuan ia justru mengapresiasi polisi tidur itu. Ia mengungkapkan bahwa dengan adanya polisi tidur itu, justru bikin kendaraan lebih teratur. “Saya di sini sejak 2007, Mas. Dulu di pertigaan yang mengarah ke Jalan Bhineka Tunggal Ika itu ada lampu lalu lintas. Ada juga yang mengarah ke Perpustakaan UGM langsung, namun sekarang sudah ditutup, kan,” terangnya.

“Nah, malam-malam di sekitar perempatan (sekarang sudah menjadi pertigaan, red) ini, biasanya dari arah Selatan kebanyakan pengguna jalan nggak sadar ada lampu lalin. Waton nrobos dan menerjang. Kecelakaan sering sekali terjadi. Entah dari umum, atau dari mahasiswa itu sendiri,” katanya.

“Karena sering ada kecelakaan di sini, maka lampu lalu lintas itu dimatikan, namun bekasnya masih ada,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah lampu lalu lintas yang tidak menunjukan tanda-tanda eksistensinya.

“Nah, untuk menanggulanginya, akses jalan Bhineka ke arah UGM ditutup dan sekarang jadi pertigaan. Lalu ditambah lah polisi tidur itu untuk membuat pengguna jalan menjadi hati-hati.”

Wahyu menyetujui bahwa banyak sekali pengguna jalan yang barangnya jatuh setelah melewati polisi tidur di Jalan Persatuan. Namun ia mengatakan bahwa kalau nggak ada polisi tidur itu, pengguna jalan bakal lebih memacu kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Ketika ditanya tentang resah ban motor yang sering bocor pasca-melewati polisi tidur di Jalan Persatuan, Wahyu berkata bahwa itu tergantung kualitas ban, bukan disebabkan karena polisi tidurnya.

Hal ini disetujui oleh Reni (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa kesehatan di UGM. “Menurutku cukup wajar karena banyak mahasiswa yang lalu-lalang di sekitar Jalan Persatuan. Apalagi mereka yang dari klaster kesehatan, yang bawa mobil dan sering parkir di GSP. Untuk menuju fakultasnya, nyebrang jalan di Jalan Persatuan itu ngeri-ngeri sedap,” tuturnya.

Ketika saya tanya memangnya banyak mahasiswa yang memarkir mobil di area GSP, Reni hanya menjawab, “Lho, kamu nggak tahu to, Mas, GSP kan tiap pagi sampai sore (sebelum pandemi, red) itu seperti showroom mobil-mobil mewah.”

Yang diresahkan Reni dan perombakan area pintu timur Klaster Sains dan Kesehatan seperti yang dituturkan Wahyu, memang menjadi perhatian pihak UGM sejak tahun 2013. Terutama penataan lau lintas, dilansir dari web resmi UGM, di area pintu timur Klaster Sains dan Kesehatan, memang sering kali terjadi kecelakaan dan mengancam mahasiswa.

Seperti apa yang dituturkan oleh Direktur Direktur Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) pada saat itu, Ir Sudarmoko, “Kita ingin mengurangi risiko terjadinya kecelakaan akibat padatnya lalu lintas di pintu timur klaster sains dan kesehatan dengan Jalan Kaliurang.”

Kembali dilansir dari web resmi UGM, penataan ini menurut Sudarmoko selain untuk menghindari kemacetan dan mengurangi risiko kecelakaan diharapkan bisa meningkatkan keamanan dan kenyamanan berkendara bagi masyarakat kampus dan masyarakat umum yang menggunakan jalan tersebut.

Banyak polisi tidur di penjuru Yogyakarta

“Kata Adhitia Sofyan, selalu ada sesuatu di Jogja itu ya bener juga,” kata Sekar.

“Ada sesuatunya itu ya polisi tidur yang mengganggu dan nggak sesuai aturan di sepanjang dan sepenjuru kota ini,” sambung Sekar yang masih dongkol ponselnya jatuh akibat polisi tidur di Jalan Persatuan.

Perihal polisi tidur, ternyata polisi tidur di Jalan Persatuan tidak sendirian. Menurut Reksa (24), polisi tidur di Jogja memang banyak yang meresahkan dan tidak tepat guna. “Apalagi di kampung-kampung, ya. Di sekitaran kos aku, jumlah polisi tidur lebih banyak ketimbang jumlah mahasiswa yang ngekos di kampung itu,” katanya.

Reksa mafhum bahwa polisi tidur itu awalnya berdampak positif, namun menurutnya, jika jumlah dan jedanya amat pendek, yang ada justru merugikan pengguna jalan. “Kebanyakan polis tidur di kampung itu berjarak amat pendek, Mas. Baru satu ban melewati polisi tidur, eh, sudah disambut lagi dengan polisi tidur lainnya,” keluhnya.

Aldo (23) memiliki pendapat lain. “Saya benci setengah mati sama polisi tidur di Jalan Batikan, di pertigaan kalau ke arah Barat, ke Jalan Tohpati, akan tembus Jalan Taman Siswa. Nah polisi tidur itu sering banget bikin kagok. Kalau ngerem, diseruduk motor yang melaju kencang di belakang, kalau njeblas ya motor saya nanti masuk bengkel,” jelasnya.

Aldo menuturkan, “Polisi tidur di Jalan Batikan sisi Barat Kali Mambu (kini bernama Kali Manunggal, red) itu terlalu tinggi. Itu bukan untuk memperlambat laju agar supaya tidak terjadi kecelakaan di pertigaan itu, namun justru kadang kala menghentikan motor dan menyebabkan saling tubruk.”

Menurutnya, hal seperti ini acapkali ditemui pada pagi hari. “Begini, pagi itu padat banget, ya. Adanya polisi tidur di jalan itu justru menyebabkan titik sendat kendaraan yang melintas.”

Ketika ditanyai tentang pengalaman buruknya, Aldo berkata bahwa tas plastik belanjaan bulanan sempat sobek gara-gara melintasi polisi tidur itu, “Mak nggajlug gitu, Mas. Keresek yang saya bawa tiba-tiba sobek dan belanjaan saya diinjak-injak motor-motor yang ada di belakang saya.”

Jika polisi tidur melanggar aturan, siapa yang harus bertanggungjawab?

Polisi tidur, dalam manfaat penerapannya, memang memiliki banyak fungsi. Bagi lingkungan kompleks, keberadaannya diharap mampu membendung kendaraan yang kebut-kebutan dan meminimalisasi kecelakaan lantaran di sekitar kompleks, banyak anak kecil. Sedang polisi tidur di jalan arteri, kegunaannya adalah sebagai alat kejut kantuk pengguna kendaraan.

Tambal ban tak jauh dari polisi tidur Jalan Persatuan UGM. Foto oleh Gusti Aditya/Mojok.co

Baik di lingkungan kompleks yang pembuatan polisi tidur biasanya dilakukan secara musyawarah atau di jalan arteri, semua harus mengikuti aturan yang sudah diberlakukan. Aturan-aturan tersebut sudah termaktub dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan.

“Yang diatur di Permenhub itu untuk kelas jalan Nasional. Untuk kelas jalan lain sesuai kewenangannya. Jika kelas jalan Provinsi maka menjadi kewenangan Pemprov. Begitu juga dengan kelas jalan Kab/Kota,” seperti yang dikatakan oleh Kepala Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Pitra Setiawan, dikutip dari Kompas.

Maka jika yang dipermasalahkan itu adalah jalan lokal, maka hal itu mengacu pada Peraturan Daerah (Perda). Sedang untuk Jogja sendiri, aturan mengenai polisi tidur sudah terhimpun dalam Peraturan Walikota Yogyakarta No. 82 Tahun 2007. Dikutip melalui Tribun dalam pasal 3 disebutkan, alat pembatas kecepatan adalah kelengkapan tambahan pada jalan yang berfungsi membuat pengemudi kendaraan bermotor mengurangi kecepatan kendaraannya.

Penempatannya dilakukan pada posisi melintang tegak lurus dengan jalur lalu lintas. Pada jalur lalu lintas dapat didahului dengan pemberian tanda dan pemasangan rambu-rambu lalu lintas. Penempatan alat pembatas kecepatan berjarak 25 meter dari persimpangan. Sedangkan pengulangan penempatan alat pembatas kecepatan minimal berjarak 100 meter. Penempatan alat pembatas kecepatan pada jalur lalu lintas harus diberi tanda berupa garis serong dari cat berwarna putih. Hal ini digunakan untuk memberikan peringatan kepada pengemudi kendaraan bermotor tentang adanya alat pembatas kecepatan di depannya.

Melalui Pasal 58, Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 82 Tahun 2018, “Pembuatan Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan dilakukan oleh badan usaha yang memenuhi persyaratan dan telah dilakukan penilaian oleh Direktur Jenderal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Jadi fungsi polisi tidur itu adalah memperlambat laju kendaraan, bukan menghentikan. Maka dalam Pasal 59 dijabarkan beberapa spesifikasi pembuatan polisi tidur. (a) Terbuat dari bahan badan jalan, karet, atau bahan lainnya yang memiliki pengaruh serupa, (b) Memiliki ukuran tinggi antara 8 sampai dengan 15 sentimeter, lebar bagian atas antara 30 sampai dengan 90 sentimeter, dengan kelandaian paling banyak 15 persen, dan (c) Memiliki kombinasi warna kuning atau putih berukuran 20 sentimeter dan warna hitam berukuran 30 sentimeter.

Harapan dari pihak yang pernah ambyar akibat polisi tidur Jalan Persatuan

“Terlalu tinggi, berjejer, dan curam,” katanya. ia sendiri tidak yakin akan ada peninjauan ulang dekat-dekat ini, namun Babon tetap berharap lekas ada perubahan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. “Tetap ada polisi tidur ya nggak masalah, tapi ya mbok jangan ekstrim banget. Aku itu mau lewat jalan dengan selamat, bukan mau ikut Ninja Warrior!” candanya.

Sekar pun serupa, katanya, “Karena adanya polisi tidur itu, banyak banget yang jadi berhenti, bukan memelankan laju motornya. Itu bahaya juga, kan? Semisal di belakang dalam kondisi ngebut, depannya berhenti total demi melewati polisi tidur yang cukup curam, wah repot.”

Sekar juga menganggap bahwa tidak semua motor dalam kondisi prima ketika melewati polisi tidur di Jalan Persatuan. “Ada motor yang halang rintang apapun bisa dilewati, tapi ada juga motor yang bisa saja protol onderdilnya kalau dipaksa lewat seperti itu dengan kecepatan sedang.”

Babon memang tak pernah berharap cintanya dengan mantannya akan kembali bersemi. Namun, Babon meminta keadilan seadil-adilnya. “Barangkali cintaku dan mantanku sudah hancur lebur tak berbentuk. Sudah karam bersama dengan konthalnya pacarku ketika aku ngebut lewat Jalan Persatuan dan dihadang oleh si bangsat bernama polisi tidur,” ungkapnya.

BACA JUGA  Cara PSK Menipu Calon Pelanggannya Menggunakan MiChat liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version