Pidi Baiq: Berkarya itu Seperti Melakukan Hubungan Seks

MOJOK.COBerbicang dengan Surayah Pidi Baiq tentang Dilan, karya-karyanya, dan apa yang membuat Pidi Baiq menjadi seorang Pidi Baiq yang seperti sekarang.

Bukan sebuah rahasia jika Mojok hobi sekali mengorek kehidupan seseorang untuk diceritakan kepada para pembaca Mojok supaya mereka bisa terinspirasi dan tercerahkan. Terinspirasi dan tercerahkan bagian apanya? Ya nggak tahu bagian apa, yang penting terinspirasi dan tercerahkan dulu aja pokoknya.

Setelah mendatangi sosok-sosok kenamaan seperti Gibran, Alissa Wahid, Danny Oei Wirianto, Alit Jabang Bayi, Anang Batas, Ivan Lanin, dan Kalis Mardiasih, kali ini Mojok mendatangi sosok Surayah Pidi Baiq. Seorang penulis sensasional novel Dilan cum vokalis band The Panasdalam yang bandnya nggak pengin masuk teve karena penginnya cuman masuk surga.

Biasanya, ketika bertemu siapapun, Mojok selalu mengandalkan mas Agus Mulyadi yang sudah sering menjadi moderator, pemateri level nasional, dan pewawancara pilih tanding yang selalu berhasil menghidupkan suasana dan mengendalikan keadaan. Tapi kali ini, mas Agus nggak biasanya nggak terlalu percaya diri sampai akhirnya ngajak-ngajak saya–anak bawang Mojok–yang polos dan nggak tahu apa-apa ini.

“Nial, nanti kamu aja yang wawancara ya, “ Kata mas Agus.

“Wah, jangan saya mas, seriusan” Jawab saya panik.

“Udah kamu aja, kamu kan lebih tau Pidi Baiq dibanding aku, lagian ini kan idenya kamu buat wawancara Pidi Baiq.”

Iya, wawancara ini memang ide saya. Tapi kalau saya yang jadi pewawancara, saya nggak tahu mau nanya apa. Maksud saya, sebagai pengagumnya saya hampir tahu segala hal yang menyangkut tentang dirinya. Ibaratnya, pengetahuan saya tentang Pidi Baiq ini sudah sangat kaffah sampai-sampai saya lebih tahu tentang sosok Pidi Baiq dibandingkan dengan diri saya sendiri.

Tentu saja itu normal karena sebagai pengagum sosok Surayah, semua hal yang ingin kamu ketahui tentangnya sebenarnya dengan baik hati sudah dia narasikan sendiri dalam buku-bukunya, atau sesi wawancara-wawancara lain yang pernah dia lakukan sebelumnya. Apa lagi coba yang mau ditanyakan?

Tapi melewatkan wawancara malam itu bukan sebuah pilihan, kapan lagi coba bisa bertemu Surayah Pidi Baiq di Jogja? Saya kemudian sepakat menemani mas Agus untuk wawancara. Lalu kami menemui Surayah Pidi Baiq di sebuah hotel. Bersalaman, berpelukan, kemudian surayah seperti biasa—menjadi dirinya yang ramah yang mengajak kami makan malam bersama untuk kemudian setelah kenyang dan luang, siap untuk diwawancara.

Mas Agus membuka wawancara dengan pertanyaan paling mainstream. Menanyakan tentang Dilan dan bagaimana perasaan Surayah saat tahu bahwa Dilan adalah film tersukses saat ini.

Menyoal kesuksesan Dilan, buat surayah itu hal yang biasa saja. Maksudnya, perkara apakah dia senang atau tidak, dia memang selalu senang bahkan sebelum film Dilan itu dibikin. Jadi ya biasa saja, nggak ngaruh apa-apa. Surayah memang nggak begitu peduli atas hal ini. Karena dia berkarya memang tanpa ekspektasi, semuanya murni berasal dari intuisi.

Sama seperti ketika dia menulis. Apakah dia seorang penulis? Sebenarnya bukan. Baginya, dia menulis karena nggak tahu harus ngapain, pun ketika dia membuat lagu atau membuat ilustrasi. Semuanya dijalani begitu saja, berkarya itu seperti melakukan seks katanya.

Nggak pernah saat melakukan seks dia harus dibebani dengan pikiran nanti anaknya bentuknya seperti apa, diterima orang apa nggak, yang dia lakukan hanya menikmati. Terlepas nanti karyanya dibilang buku, dia hanya mengiyakan, “oh ini teh buku,” dia menyerahkan masalah pemaknaan kepada para penikmat karyanya. Kalau suka ya bagus, kalau nggak suka juga nggak apa-apa. Toh kita nggak akan bisa bikin semua orang senang.

Mendengar jawaban itu, saya jadi ingat tentang pro kontra pemilihan Iqbal sebagai Dilan yang tentu saja nggak membuat semua orang senang. Saya sendiri sebenarnya adalah golongan yang kontra dengan pemilihan Iqbal sebagai Dilan.

Dalam imaji saya, Dilan nggak boleh ganteng, karena kalau dia ganteng seperti Iqbal, tanpa harus berusaha pun, perempuan akan tetap mendatanginya. Nggak apa-apalah kaya Agus Mulyadi, biar kalau Dilan-nya dihujat, saya nggak sedih-sedih amat. Nggak seperti saat Iqbal yang dihujat. Hhe bercanda… Saya sampaikan itu, dan surayah cuman bisa ngekek.

Surayah kemudian menjelaskan alasan pemilihan Iqbal. Baginya Iqbal itu nggak ganteng-ganteng amat, sosok Iqbal standar lah, untuk kepantasan supaya orang lain juga senang memandangnya. Coba kalau sosok dilan yang pandai, romantis, keren, nakal, tapi yang meranin monyet? Kan nggak akan ada yang mau. Kami semua ngakak mendengar hal ini.

“Pemilihan Iqbal itu ya sudah sesuai, kalau menurutmu kegantengan, berarti selera gantengmu aja yang bermasalah” kata Surayah. Mampus, kalau Iqbal standar, terus yang ganteng itu yang kayak gimana hah? Masa kayak gini aja ditanya. Ya yang kayak Nabi Yusuf-lah!

Akhirnya tiba giliran saya untuk bertanya, “Apa pertanyaan yang belum pernah ditanyakan pada Pidi Baiq?”

Dia jawab sambil ketawa “Man Robbuka” kami semua ikut ketawa—kalau kalian belum tahu, Man Robbuka adalah pertanyaan yang ditanyakan Malaikat Munkar-Nakir ketika di dalam kubur.

Selanjutnya ini menjadi wawancara yang yang sedikit ambyar yang bahkan Agus Mulyadi, ikut gelagapan menanggapi jawaban-jawaban slengean dari Surayah.

Kami akhirnya berhasil mengorek sesuatu yang jarang surayah ceritakan tentang dirinya, ketika membicarakan apa yang membuat Pidi Baiq menjadi seorang Pidi Baiq.

Dia kemudian menceritakan tentang ambisinya yang baru dia sadari mungkin sudah muncul sejak kecil, tapi terkubur sangat lama sampai dia lupa bahwa Pidi yang ada saat ini adalah wujud dari bayangan-bayangan Pidi kecil sewaktu SD.

Sebagai seorang anak yang tumbuh dengan buku-buku sastra dan majalah Tempo di rumahnya, dia bercerita bahwa dulu dia sering membuat ilustrasi di antara tulisan-tulisan serius yang mungkin akan sulit dimengerti seorang anak SD. Pidi kecil saat itu selain suka menggambar dirinya sendiri sedang bernyanyi, dia juga suka membuat puisi.

Di usia remajanya, dua hal itu terlupakan ketika dia sudah kenal jalanan, kemudian semakin terlupakan lagi ketika dia beranjak dewasa dan mulai terjebak dengan kehidupan duniawi sampai suatu hari dia menemukan dirinya lagi ingin menulis dan bernyanyi. Di sanalah kemudian dia membuat the panasdalam, menulis banyak puisi, dan membuat beberapa buku.

“Jika ditanya apakah memang aku ingin menjadi penulis dan vokalis, mungkin  saat ini aku jawab nggak, tapi mungkin sebenarnya keinginan itu, aku pernah punya, di masa kecilku dulu. Terkubur, lupa, seperti pohon yang tumbuh kehausan, dia minta disirami.”

Ah dan ada satu pesan penting yang ingin disampaikan Surayah malam itu

“Kupikir ini penting untuk orang tua membiarkan anaknya tumbuh seperti pohon liar, tidak perlu anak itu dibentuk untuk jadi seperti apa di masa depannya. Biarkan dia memiliki pilihan sendiri. Orang tua tidak perlu ikut campur. Aku jadi seperti ini karena dulu orang tua ku begitu, memberiku kebebasan untuk menjadi apapun yang kumau.”

Wawancara kami malam itu kemudian ditutup dengan pertanyaan saya mengenai berapa banyak perempuan yang surayah cintai karena banyak sekali nama perempuan dalam karya-karyanya. Dia bilang, nggak semuanya adalah kisah cintanya, ada banyak kisah cinta kawan-kawannya yang dia wakilkan dalam lagu-lagunya.

“Perasaan kawan-kawan itu penting, sama pentingnya dengan melibatkan mereka saat mendapatkan hati Suribu.” Katanya.

“Untung Suribu nggak naksir sama kawan mu, yah” kata mas Agus

“Ya, saya juga pilih kawan yang nggak mungkin dicintai nya, lah” kami semua ketawa mendengar jawaban itu.

Exit mobile version