Piala Dunia, Ketakutan Romo Sindhu di Usianya yang ke-70

Romo Sindhunata

Para seniman memberikan hadiah lukisan dalam perayaan ulang tahun Sindhunata ke-70 di Taman Yakopan, Omah Petroek di Pakem, Wonorejo Hargobinangun, Sleman ramai, Minggu (15:05:2022) malam. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

Di Indonesia, setidaknya ada dua agamawan yang dikenal sebagai penulis  sepak bola, almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Sindhunata atau dan Romo Sindhu. Lebih dari 32 tahun menulis bola, Romo Sindhu selalu ketakutan ketika piala dunia datang. 

***

“Tiap piala dunia datang selalu takut apakah saya bisa [menulis]. Tapi saya coba ternyata bisa, sudah lebih dari 32 tahun menulis bola, tapi selalu bergetar kalau [piala dunia] datang, bisa ndak,” kata Romo Sindhu di depan seratusan tamu undangan yang merayakan ulang tahunnya yang ke-70, di Taman Yakopan, Omah Petroek di Pakem, Wonorejo Hargobinangun, Sleman, Minggu (15/05/2022).

Sebagai rohaniwan cum wartawan, keinginannya di usianya yang sudah 70 tahun sederhana,  Romo Sindhu masih berharap bisa tetap berkarya dan menulis. Tak melulu membuat karya sastra namun juga reportase seperti sepak bola yang sangat digandrunginya. Itu mengapa tiap piala dunia tiba, dirinya selalu bergetar menyambutnya.

“Moga-moga masih kuat [menulis], meski harus tahu diri [kesehatan] tapi jiwa wartawan tetap masih,” kata Romo Sindu yang menulis trilogi buku tentang sepak bola, Bola di Balik Bulan, Bola-Bola Nasib, dan Air Mata Bola.

Perayaan ulang tahun ke-70 rohaniwan Katolik, kelahiran 12 Mei 1952 ini dimeriahkan pameran seni rupa dan pentas kesenian.  Beberapa tokoh dan seniman terlihat di tengah rintik hujan yang sempat turun, seperti Djoko Pekik, Nasirun, Joko Pinurbo, Bambang Heras, Nchik Krisna dan Ledek Sukadi serta sejumlah pekerja media. 

Tampak staf ahli presiden RI bidang politik, Sukardi Rinakit, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti di tengah ratusan masyarakat yang tumpah ruah ikut merayakan 70 tahun pemilik nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ.

Susi Pudjiastuti, Djoko Pekik merayakan 70 tahun dan peluncuran buku karya Sindhunata di Taman Yakopan, Omah Petroek. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

Tak ada sekat, tak pandang perbedaan, semua berbaur dalam perayaan ulang tahun Sindhunata yang ditandai peluncuran enam buku. Lima buku merupakan karya Romo Sindu, yaitu Jalan Hati Yesuit, Anak-anak Ignatius, Sisi Sepasang Sayap, Anak-anak Semar, dan Anak Bajang Mengayun Bulan. Satu buku lainnya The Secret of Sindhunata merupakan karya Simon H Rae.

Sebagai penulis dan mantan wartawan, pastor atau romo Serikat Yesus ini memang ingin menandai 48 tahun kehidupannya dalam menulis dengan cara mewariskan karya-karya sastra kepada khalayak. Menjadi penulis sejak 1974, Romo Sindhu tak sekadar membuat karya novel, puisi, buku filsafat, feature jurnalistik, analisis sepak bola dan lainnya. Namun, lewat tulisannya, dia mengajarkan berbagai nilai kehidupan.

“Saya memang suka menulis dari hati, tidak hanya penulis yang menunggu waktu tapi juga wartawan yang bekerja dengan deadline. Akhirnya perjalananya [hidup] saya ya perjalanan jurnalistik,” paparnya di sela acara.

Meski sering menulis karya sastra, Romo Sindhu mengakui suka sekali terjun ke lapangan. Melihat kehidupan sesungguhnya untuk kemudian menjadi bahan dan dan inspirasi semua karyanya.

Di lapangan, dia bertemu manusia-manusia sebanyak mungkin dengan banyak latar belakang dan pengalaman. Sebut saja saat Romo Sindhu bertemu orang-orang pinggiran di lorong-lorong Jakarta. Atau bersama Pekerja Seks Komersial (PSK) selama beberapa waktu dalam kerja reportasenya.

Bahwa manusia-manusia yang segala penderitaan, kesedihan, tangis, mimpi dan perjuangan dan pengalaman yang ditemuinya membuat Romo Sindhu mampu melahirkan karya-karya jurnalistik dan sastra yang menyentuh hati setiap pembacanya sehingga bagi banyak orang, Romo Sindhu pun disebut sebagai Guru Kehidupan

“Contohnya, saat melakukan peliputan tentang kehidupan pelacur selama sebulan. Saya memperlihatkan secara detail dan melukiskan situasi kamar [pelacur] dengan handuk yang basah. Saya banyak belajar nilai-nilai [kehidupan]. Dia bercerita pada orang tuanya bekerja di toko, dan kerja sebagai pelacur demi anaknya. Ini sangat berkesan karena banyak di antara kita yang mencita-citakan kesucian tidak bisa menandingi dia [pelacur] yang menjual kesucian demi orang lain,” tandasnya.

Seniman tari, Hajar Wisnu Satoto menampilkan satu tarian dalam perayaan ulang tahun ke-70 Sindhunata. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

Buat Romo Sindhu yang tahun ini juga merayakan 50 tahunnya bersama Serikat Yesus, totalitasnya sebagai penulis dan wartawan tak lepas dari nasehat pendiri Surat Kabar Kompas, Jakob Utama. Saat dirinya masih menjadi wartawan di surat kabar nasional tersebut, Jakob berpesan totalitas sangat diperlukan untuk bisa menjadi wartawan.

Karenanya pekerjaannya sebagai wartawan dan penulis tak dimanfaatkan hanya untuk mencari nafkah. Namun lebih dari itu, Romo Sindhu juga mencoba mengekspresikan diri melalui tulisan dan karya yang dibuatnya.

Enam buku penanda 48 tahun berkarya

Enam buku yang diluncurkan Romo Sindhu yang menandai 48 tahun dirinya berkarya sangat istimewa bagi dirinya. Buku Anak Bajang Mengayun Bulan diterbitkannya sebagai kelanjutan cerita bersambung Anak Bajang Menggiring Angin yang terbit tahun 1983 di Harian Kompas. Buku baru in juga pernah dimuat di Harian Kompas sebagai cerita bersambung.

Sedangkan buku Anak-anak Semar yang terbit 2022 ini merupakan esai lanjutan dari novel Semar Mencari Raga yang dibuatnya pada 1996. Yang istimewa dari buku ini, seniman Nasirun membuat ilustrasi di cover depannya.

Dipilihnya tokoh Semar, karena buat Sindhunata, Semar adalah tokoh yang sangat kaya untuk dieksplorasi. Semar juga sebagai lambang pertahanan kebudayaan dari serangan modernitas yang tak pernah habis.

“Dengan ditambah segala macam hal, akhirnya terbit buku anak-anak semar itu. Ini semacam esai dalam bentuk novel. Saya cerita [ke Nasirun] isinya apa, lalu Mas Nasirun membuat [ilustrasi],” jelasnya.

Sedangkan buku The Secret of Sindhunata karya Simon H Rae merupakan penelitian tentang karya-karya Sindhunata. Simon yang berkebangsaan Selandia Baru diketahui pernah menulis di Majalah Arkipel di Prancis tertarik mempelajari karya-karya Sindhunata seperti Puteri Cina dan Menyusu Celeng. Buku tersebut membahas Sindhunata dalam karya yang tidak terlalu ilmiah.

Tiga buku lainnya seperti Jalan Hati Yesuit, Anak-anak Ignatius dan Sisi Sepasang Sayap merupakan tulisan Sindhunata tentang Yesuit. Ada sebanyak 15 tokoh yang ditulisnya seperti Frans Magnis Suseno dan Setyo Wibowo.

“Jadi buku-buku itu tentang tokoh yesuit,” ujarnya.

Harapan untuk Romo Sindhu

Sejumlah tokoh dalam perayaan ini mencoba menyampaikan harapannya bagi Romo Sindhu. Sukardi Rinakit atau Cak Kardi mengungkapkan, Sindhunata buatnya merupakan guru kehidupan. Romo Sindhu dalam setiap karyanya mengajarkan banyak nilai kebaikan.

Salah satu buku karya Sindhunata SJ yang diluncurkan. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

Karya sastra Sindhunata pun buat Cak Kardi sangat istimewa karena puitis dan kaya makna. Begitu pula karya-karya filsafat dan analisis sepak bola Sindhunata yang dianggapnya luar biasa.

“Romo Sindhunata adalah guru hidup untuk kita belajar menulis, belajar berbuat, belajar toleransi terhadap sesama, membangun bareng-bareng untuk hidup yang saling membantu,” jelasnya.

Susi Pudjiastuti pun berharap Romo Sindhu tetap bersemangat dan energik untuk menulis. Sebab tulisan dan puisi Romo Sindhu dianggap Susi luar biasa karena kadangkala tidak diketahui orang lain.

“Tulisan dan puisi romo kadang-kadang menceritakan hal-hal yang kita belum tahu. Tapi begitu kita baca, kita jadi merasa dan tahu. Itulah kelebihan Romo Sindhu,” paparnya.

Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra menambahkan, Sindhunata merupakan sosok panutan bagi para wartawan. Proses pendidikan dan pelatihan wartawan baru di Kompas selalu menjadikan tulisan feature human interest karya Sindhunata sebagai bahan pembelajaran mereka.

“Saat melakukan kerja jurnalistik, Sindhunata memadukan kekuatan intelegensia, kepekaan hati, dan liputan ke lapangan. Dalam dunia jurnalistik, liputan ke lapangan itu kerap disebut dengan istilah pekerjaan kaki,” imbuhnya. 

Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Haji Tembakau: Pagi Macul di Sawah, Malam Macul di Langit dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version