Ahmad ‘Asob’ Sobirin: Tumbuh di Ngruki, Terpeluk dalam Halaman Buku, dan Terperangkap di Festival (Kesunyian) Musik

Saya ini sepertinya ditakdirkan jadi karyawan seumur hidup. Sialnya, bosnya hanya satu, the only one, Anas Syahrul Alimi.

Ahmad Sobirin (Ega Fanshuri/Mojok.co)

Di Kota Yogya, semuanya kemudian berubah. Di Yogya, ia mengikuti gejolak takdirnya sebagai manusia buku paripurna dalam pengertian yang sesungguhnya dan hidup dari satu festival musik satu ke festival musik berikutnya di bawah naungan kepak Rajawali.

Padahal, jika ia ingat lagi, saat masih Madrasah Tsanawiyah, pondok pesantrennya mengharamkan musik. Tak ada tempat musik untuk hidup. Lho, kok?

Nama panggilannya Asob. Pastilah, itu akronim dari nama lengkapnya, Ahmad Sobirin.

Ia datang dari sebuah kota di mana salah satu gembong Madiun Affair mengakhiri pelariannya yang melelahkan. Ya, Amir Sjarifuddin, bekas Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, pelariannya berakhir di kota kelahiran Asob.

Trek Amir adalah Purwodadi-Jogja-Solo. Sementara, perjalanan dirinya Purwodadi-Solo-Jogja.

Santri Ngruki

Di Solo, ia tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin di Ngruki. Lewat propaganda intelijen, awam nama lebih mengenal dengan sebutan Pesantren Ngruki dengan “Imam Besar”-nya adalah musuh besar negara, yakni Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.

Kenangannya dengan Ngruki barangkali berbeda dengan hasil agitprop intelijen yang melulu menempatkan Ngruki dalam zirah gelap dan kelam.

“Jika saya tahu bahwa Ngruki adalah ponpes yang bisa meluluskan siswanya ke perguruan tinggi negeri nyaris 80 persen, barangkali saya gak hijrah ke MAN 1 Yogya,” ujar ayah dari Gaza ini.

Seturutnya, siswa angkatannya di Ngruki memang lebih banyak diterima di perguruan tinggi milik RI, milik “pemerintah thogut”. Bahkan, banyak yang lulus ujian masuk sekolah yang mencetak para pegawai perpajakan alias ngendon di Kementerian Keuangan, Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN).

ahmad sobirin rajawali mojok.co
Ahmad “Asob” Sobirin, kedua dari kiri, saat di Ponpes Ngruki (IG @asob_ahmed)

Di Ngruki, disiplin belajar begitu ditekankan. Belajar ilmu agama, belajar ilmu pengetahuan umum. Semua digiatkan dengan sangat keras. Ngruki, sepengalamannya, tidak sehitam tudingan yang disematkan, yakni kumpulan manusia teror yang siap membakar Republik seisinya.

Bahwa, Ba’asyir adalah bagian dari sebuah impian lama berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang saat biografi ringkas ini ditulis sedang naik pasang kembali via Zaytun, tak bisa dibantah.

Namun, takdir Asob berkata lain. Ia Ngruki yang lain. Di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Yogyakarta, ia melanjutkan belajar agama. Mengulangi lagi apa yang diperolehnya di Ngruki. Di IAIN Sunan Kalijaga, lagi-lagi ia mengulangi lagi apa yang ia dapatkan di Ngruki plus MAN 1 Yogya.

Hingga, ia berkesimpulan bahwa Ngruki itu adalah wajah “Muhammadiyah” sayap nonko, nonkooperatif, sebagaimana penggambaran jenis pergerakan di masa Sukarno-Hatta saat muda belia.

Demi hidup, kabeh dilakoni

Dari sisi akademis, Asob sejatinya kenyang dengan pelajaran agama. Tiga tahun di Ngruki, tiga tahun di MAN 1. Maka, di IAIN Sunan Kalijaga, ia jarang sekali masuk. Katanya, malas. Katanya, bosan. Walau demikian, indeks prestasi Asob tiga koma lima.

“Di Sapen, saya punya kos. Tapi, jarang saya tempati. Saya lebih banyak tinggal di basecamp bergabung dengan teman-teman MAN 1,” kisahnya.

Basecamp yang dimaksud Asob adalah rumah kontrakan lima atau tujuh kamar di gang kecil depan gerbang MAN 1 yang berada di perempatan Mirota Kampus UGM. Secara administratif, masuk dalam wilayah Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman.

Hepi, Ulil, Ulin, Bagus, Abeng, Eko, dan sekian banyak siswa MAN singgah dan hidup di basecamp Terban itu.

Termasuk, Anas Syahrul Alimi, sahabat kental Asob.

“Saya sekelas dengan Anas saat kelas dua. Masya Allah, nakalnya polll. Nakal saya itu cuma mbolos,” tuturnya.

Dalam bahasa Asob, dengan Anas, kabeh dilakoni.

Saya ini sepertinya ditakdirkan jadi karyawan seumur hidup. Sialnya, bosnya hanya satu, the only one, Anas Syahrul Alimi. Karena bosnya adalah sahabatnya, ijazah IAIN tiada guna sama sekali. Jika tak diingatkan istrinya, Yanti, ia lupa mengambil ijazah sarjana agamanya.

Dari buku hingga ke musik, ia selalu di sisi sahabatnya. Bukan owner, melainkan karyawan.

Demi hidup, kabeh dilakoni.

Misalnya, saat masih kuliah di IAIN, Asob nyambi menjadi penjaga parkir di Fotokopi Angkasa yang tak jauh dari MAN 1.

Ketika sahabatnya Anas Syahrul Alimi bersama Bandi dan Pipit membuka usaha kecil dan menengah sekali, rental komputer, Asob menjadi karyawan pertama yang menjaga rental itu. Ia bergantian dengan Jack yang ditarik Anas dari kampusnya, IKIP Yogya.

Jadilah, di Kukila–demikian nama rental empat komputer sebelum era pentium itu dinamakan–selain menjadi penjaga, Asob menyelesaikan skripsi IAIN-nya.

Setahun ia berjibaku dengan skripsi Mahar Pernikahan dalam Tinjauan Mazhab Syafi’i dan Hanafi agar bisa lulus dari Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga.

Demi hidup, bersama Anas, kabeh-kabeh dilakoni.

Di balik layar dunia penerbitan

Menjaga rental Kukila, mengerjakan skripsi, dan menjadi penggotong tabung gas besar warna biru di warung kelontong Mbak Ari adalah rutinitasnya.

Tentu saja, tak ada saham sahabatnya Anas Syahrul Alimi di warung Mbak Ari itu. Ia jadi kuli panggul Mbak Ari lantaran warung itu tepat di sisi Kukila.

Dari Kukila ini, Anas Syahrul Alimi, bestie MAN Satu-nya ini berkongsi denga Adhe Ma’ruf dan Wawan Arif membuat badan penerbitan buku dengan nama Jendela.

Lagi-lagi, Asob jadi karyawan pertama dengan jobdesk sebagai layouter. Dengan penguasaan komputer dari Kukila, ia mudah saja beradaptasi. Sebagai manusia pembelajar dari Ngruki, layout adalah soal gampang. Apalagi, Anas Syahrul Alimi punya teman di LPM Ekspresi IKIP Yogya bernama M. Bakkar Wibowo.

Ahmad “Asob” Sobirin (IG @asob_ahmed)

Nasab ilmu desain buku Asob berasal dari Bakkar Wibowo. Jadilah buku pertama Jendela berjudul Shaping Globalisation: Jawaban Kaum Sosial Demokrat atas Neoliberalisme terbit dengan pemburu naskah dan editor 1 adalah Anas Syahrul Alimi, editor 2 Adhe Ma’ruf, layouter isi Ahmad Sobirin (dibimbing Bakkar Wibowo), dan sampul M. Bakkar Wibowo. Itu kombinasi perkawanan di halaman empat kolofon buku.

Penerbit Jendela dari ngontrak di Pogung (Kaliurang/UGM), lalu ke Kutu Wates (belakang TVRI Jalan Magelang), hingga di Gang Buntu Gejayan, Asob tetap konsisten di garis belakang. Ia memegang produksi. Dari desainer hingga cetak, semuanya melalui tangannya.

Maka, tak ada keraguan di dalamnya, Asob sangat menguasai hulu hilir produksi buku. Ya, komputer, ya, mesin, ya, kertas.

“Di Jendela, bersama Haryono, saya bisa mengoperasikan mesin cetak hasil dana hibah Ford Foundation,” katanya sambil tersungging.

Sebagai karyawan, Asob bisa lebih banyak bereksperimen di dapur produksi. Hingga, matang sematang-matangnya ia. Tak ada buku terbitan Jendela yang tidak melewati dirinya.

Hingga, Anas Syahrul Alimi mendirikan penerbitan baru bernama Pustaka Sufi, Asob tetap ada dan harus ada di sana. Lagi-lagi sebagai karyawan yang memegang rantai panjang produksi buku-buku agama dan how to. Berapa tahun Anas Syahrul Alimi, segitu tahun juga Asob terpeluk dan ter-uhuk di helai halaman buku.

Kecuali pada satu masa yang ringkas, saat perubahan Anas dari buku ke musik, Asob dalam posisi menunggu.

Dalam posisi menunggu itu, ia membuat percetakan bernama Topprint. Mula-mula di Maguwo, kemudian pindah ke Surokarsan, Taman Siswa.

Dari buku ke musik

Ia ingat, jauh sebelum punya perusahaan cetak sendiri, M. Fajar A.F. kerap mengorder cetak ke Topprint. “Saya mengenal baik Mas Eko, Mas Puthut, Mas Fajar karena buku-buku dari penerbitan mereka saya cetak,” imbuhnya.

Dari pengalaman cetak itu, dengan mesin Toko seken seharga 25 jutaan yang dipunyai, Asob tahu betul di mana letak waswas seorang pencetak. Yakni, konsistensi tebal tipis tinta yang melekat di atas kertas. Maklum, masih memakai paper plate. Ketakrataan cetak adalah ujian keandalan seorang “masinis” Toko.

Dan, Asob adalah masinis mesin cetak itu. Selain Toko, ia juga bisa jadi pemegang mesin potong kertas. Semua keandalan itu tak ada sekolahnya. Semuanya karena ia ditakdirkan punya bestie bernama Anas Syahrul Alimi, sahabatnya sejak kelas dua Madrasah Aliyah Negeri Satu Yogyakarta.

Hingga, bendera Rajawali dikibarkan Anas Syahrul Alimi sebagai seorang promotor musik. Lagi-lagi, Asob di sana.

Ahmad “Asob” Sobirin (IG @asob_ahmed)

Di Ngruki yang kental “Wahabi’ dan “Salafi”-nya, ia sangat tahu, musik itu haram jadah.

Tapi, pada akhirnya, ia berjumpa dengan Anas Syahrul Alimi yang lanskap keagamaannya berangkat dari tasawuf, ya, mau gimana lagi.

Di Ngruki haram, di Raja Wali, musik adalah nasab dari mana kehidupan finansial Asob mengalir.

Apa boleh buat, ia kadung sudah sepertalian dengan Anas dengan satu idiom, ya, kabeh-kabeh dilakoni.

Bahkan, di musik sekalipun, sebagaimana Anas, Asob tak lupa buku. Selain menggelar festival perkawinan buku dan musik, MocoSik, Asob juga menjajal satu lagi yang ia tak lakukan di dunia perbukuan, yakni jadi penulis.

Di tengah kesibukannya sebagai direktur program musik televisi berlangganan i-konser di bawah bendera Rajawali dan Telkom, ia menulis. Ia ingin menjajal menjadi penulis cerita.

Festival Kesunyian

Asob terpesona dengan novelis Liane Moriarty. Terutama, buku Liane yang berjudul Big Little Lies. Buku itu ada di rak toko buku yang dibikin Asob di depan rumahnya di Tamanan, Imogiri Barat, Bantul: Zamane Buku.

“Bagus banget buku itu. Aku menemukan hal-hal sehari-hari dibahas dengan cara menarik. Soal rumah tangga. Lingkungannya, teman-temanya. Penulisnya sangat paham psikologi manusia. Asyik. Menerangkan mertua. Kek, kalimat ibuku kuat dan tegas, dia gak takut dan ragu-ragu dengan laba-laba, tempat parkir yang sempit, dan dilema moral,” cerita Asob dengan bersemangat.

Dari Liane, Asob pun berkesperimen menjelajahi dunia buku yang belum pernah ia sentuh selama bergiat di dunia perbukuan dari 1999 hingga 2006, yakni menulis.

Jadilah novel gemuk Festival Kesunyian yang menggambarkan kesempurnaan pengerjaan produksi buku ini, dari ide, ditulis jadi novel, tata letak isi, desain sampul, hingga dicetak, dan didistribusikan.

Jika diringkas, novel bertopik dunia festival musik itu kira-kira begini:

Penulis: Asob
Editor: Asob
Pemeriksa Aksara: Asob
Layouter: Asob
Desainer Sampul: Asob
Diterbitkan: Asob
Dicetak: Asob
Didistribusikan: Asob
Dijual di toko milik: Asob

Kabeh-kabeh Asob. Sempurna. Indie mana yang lebih indie dari Asob jika indie diasosiasikan dengan “DIY”.

Ngruki memang radikal dalam belajar dan beramal. Semangat Ngruki itu dipanggul Asob di dunia buku yang sangat ia cintai. Tapi, itu semua karena ia berkawan dengan bestie yang sekaligus bosnya satu-satunya dalam dunia karyawan, Anas Syahrul Alimi.

Di Ngruki, ia mengenal imam bernama Abu Bakar Ba’asyir. Selepas itu, ia seperti ditakdirkan jadi karyawan abadi dari sahabatnya sendiri, Anas Syahrul Alimi. Dari Imam Besar Ba’asyir ia mengenal dunia salafi en wahabi, dari Imam Anas ia mengenal apa arti persahabatan dari “mazhab sufiyah”.

Ya, itulah warna hidup. Kabeh-kabeh dilakoni agar jembar pikiran dan welas asih hati. Dengan ikhlas, dengan radikal. Termasuk menjadi seorang indie.

Perkenalkan, Ahmad Sobirin a.k.a Asob adalah intelectual dader dari festival Cherrypop: Swasembada Musik yang dihelat dengan melibatkan situsweb ini, Mojok. Itu.

Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Menelusuri Perjalanan Gigs Mandiri sampai Festival Musik di Jogja

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version