Menjadi perawat atau perias jenazah bukan pekerjaan mudah. Seringkali, perawat bertugas sendiri di bangsal sepi ketika malam hari sampai merias orang meninggal dengan seragam partai politik yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
***
Ruang perawatan jenazah di rumah sakit adalah tempat dengan nuansa kepasrahan. Ada tangis keluarga yang belum rela dengan kepergian orang terkasih sampai wasiat yang harus terlaksana sebelum jenazah terpendam ke dalam tanah.
Saat langkah kaki saya masuk ke dalam Ruang Michael, RS Panti Rapih Jogja, muncul memori setahun lalu saat memandikan jenazah bapak di ruangan serupa. Saat itu, suasana duka yang berbalut menggelayuti saya dan seorang petugas pemulasaran jasad.
Namun, bayang-bayang sedih masa lalu segera teralihkan saat suara ramah dari Maria Magdalena Suwarti (48) menyapa saya. Ia merupakan perias jenazah yang saat itu itu bertugas di Panti Rapih.
Jumat (8/9/2023) siang ketika saya berkunjung Ruang Michael tempat merawat jenazah sedang lengang. Hari itu Warti baru merawat satu jenazah. Jasad seorang perempuan berusia 66 tahun.
“Pasien meninggal jam 08.42, saya jemput jam 9.30, lalu selesai saya rias jam 11.30,” ujarnya.
Warti, semula merupakan asisten perawat di Ruang ICU. Sudah 27 tahun ia bekerja di RS Panti Rapih. Baru pada awal 2023 ini ia pindah tugas menjadi seorang perawat sekaligus perias jenazah.
Mulanya bertugas di ruang jenazah jadi hal yang menantang buat Warti. Pada beberapa tugas pertama, ia masih butuh pendampingan. Namun, lama kelamaan ia mengaku terbiasa. Meski tugas sendiri sepanjang malam.
“Ternyata kalau sudah mengurus jenazah, saya juga larut dalam kesibukan. Nggak mikir yang aneh-aneh,” paparnya.
Dunianya banyak berubah setelah pindah penugasan. Di ruang ICU, semuanya adalah soal harapan dalam memperjuangkan kehidupan. Namun, di tempatnya saat ini, perjuangan itu telah beralih menjadi kepasrahan dan kerelaan.
Perias jenazah berbincang dengan mereka yang sudah meninggal
Kendati begitu, banyak keluarga yang belum bisa rela berpisah dengan orang tercinta. Warti pun terbiasa memandikan dan merias jenazah dengan ditemani suara tangis di sekitar. Baginya, ini bukan perkara mudah.
“Saya jadi banyak belajar. Termasuk tentang bagaimana mendampingi keluarga yang sedang berduka,” tuturnya.
Ia ikut menenangkan dan menemani keluarga yang berduka. Meski pekerjaan utamanya adalah merawat mereka yang telah tiada.
Namun, ketika situasinya benar-benar kurang bisa terkondisikan maka perias jenazah bisa meminta bantuan layanan pastoral. Terkhusus bagi pasien yang keluarganya beragama Katolik.
Selanjutnya, ruang perawatan jenazah selalu siap sedia selama 24 jam. Ruang Michael RS Panti Rapih melayani perawatan orang meninggal dari rumah sakit maupun dari luar.
Ada tiga shift dalam sehari untuk melayani orang meninggal dari semua agama. Setiap agama, tentu punya teknis pemulasaran yang berbeda-beda.
Jenazah selain muslim, tidak hanya dirias, dimandikan, lalu dibalut kain kafan. Ada prosesi periasan sebelum masuk ke peti dan berlanjut ke proses pemakaman.
Warti terbiasa memberikan bedak hingga beragam riasan lain ke jasad-jasad yang sudah tidak bisa bergerak. Selama mengerjakan hal itu, ada kepercayaan untuk mengajak jenazah berbincang.
Konon, hal itu membuat proses perawatan menjadi lebih mudah. Perias memperlakukan jasad seakan mereka masih hidup. Warti percaya bahwa mereka masih bisa mendengar apa yang ia bicarakan. Meskipun tidak bisa merespons dengan gerak maupun perkataan.
“Sambil merias kami akan bilang ‘maaf Bu, maaf Pak, tolong bantu kami biar bisa rapi dan cantik’,” jelasnya.
“Dan benar yang saya rasakan memang jadi lebih mudah,” imbuhnya.
Ia mengajak saya untuk masuk ke ruang rias. Warti menunjukkan bedak, sisir, dan peralatan lain untuk membuat mereka yang sudah mati berangkat ke pemakaman dengan penampilan terbaik.
Berhadapan dengan jenazah korban kecelakaan
Tidak jarang, Warti harus merias jenazah dengan kondisi tubuh yang tidak utuh. Jasad semacam itu biasanya korban kecelakaan.
Pada dasarnya, semua proses periasan jenazah akan ia kerjakan seorang diri. Namun, pada kondisi tertentu ia memerlukan bantuan. Misalnya pada jenazah dengan ukuran badan yang besar, ia perlu bantuan dari petugas lain untuk mengangkat dan memindahkan.
“Selain itu jenazah korban kecelakaan juga perlu bantuan dari IGD,” paparnya.
Hal itu lantaran kondisi tubuh korban masih penuh luka. Lebih parah lagi, mengucurkan darah yang sukar untuk berhenti sehingga masih perlu proses penjahitan.
Proses penjahitan jenazah memerlukan bantuan perawat dari IGD. Luka pun seringkali tidak bisa tertutupi sepenuhnya. Sehingga, Warti menyiasatinya dengan memberikan tampon dari kassa untuk menyumbat pendarahan.
Proses semacam itu, untuk memandikannya saja kadang memerlukan waktu lebih dari satu jam. Namun, Warti tidak bisa memilih jenazah mana yang akan ia rawat.
“Kerja ini bukan hanya dengan fisik dan otak. Namun, perlu pakai hati juga,” terangnya.
Belum genap satu tahun ia bekerja di bagian perias jenazah. Namun, beragam pengalaman unik sekaligus menegangkan, setidaknya dalam bayangan saya, telah Warti alami.
Ia misalnya pernah berhadapan dengan jenazah korban tersengat listrik. Kulit tubuh jasad sudah tidak utuh. Namun, karena pasien muslim, ia harus memandikannya sesuai prosedur yakni membasuh setiap bagian tubuhnya dengan tangan langsung.
“Bagi saya yang paling berat adalah korban kecelakaan yang masih anak-anak. Pernah ada anak kelas enam SD. Hati saya berat betul melihatnya,” ujarnya lirih saat kami beranjak ke area memandikan jasad.
Dalam sehari, jumlah jenazah yang Warti rawat tidak menentu. Ia mengaku rata-rata mengurus tiga sampai empat jasad. Pernah juga sampai enam mayat dalam satu shift.
Permintaan riasan seragam partai sampai jubah Yesus
Setelah proses periasan, jasad akan dikenakan pakaian terbaik. RS Panti Rapih punya beberapa jenis persediaan pakaian. Jenazah laki-laki bisa menggunakan kemeja putih maupun pakian adat Jawa lengkap dengan beskap dan blangkon. Sementara untuk perempuan juga tersedia kebaya.
Namun, seringkali orang yang meninggal sudah punya permintaan khusus sebelum tutup usia. Perawat jenazah pun tinggal melaksanakan wasiat tersebut saat waktunya telah tiba.
Suatu kali misalnya, ada pasien yang berpesan ketika meninggal nanti ingin dikubur berbalut pakaian partai. Lengkap mulai dari korsa sampai baret khas simpatisan loyal sebuah organisasi partai politik.
Beberapa waktu lalu, proses perawatan jenazah seniman legendaris Jogja, Djoko Pekik, juga dilakukan di RS Panti Rapih. Warti tidak terlibat pada proses periasannya. Namun, ia mengetahui bahwa sang seniman punya permintaan untuk menggunakan pakaian yang biasa digunakan semasa menjadi seniman.
Pernah juga ia menemukan seorang pasien dengan latarbelakang yang cukup unik. Seorang lelaki paruh baya beragama Katolik. Padahal semua keluarganya beragama Islam.
“Beliau sudah berwasiat ingin menjalani periasan di Panti Rapih. Seragam yang ingin beliau pakai itu jubah seperti gambaran Yesus saat sedang menggembala domba,” kenangnya.
Selain itu, bapak itu juga berpesan khusus agar salib di pemakaman bukan tertulis namanya. Melainkan tulisan “Abdi Kristus”.
Setelah proses periasan, jenazah yang beragama Katolik menjalani akan berpindah ke ruang khusus untuk misa. Di tempat tersebut, pelayat bisa menjenguk dan mendoakan.
Sementara untuk peti, RS Panti Rapih bekerja sama dengan pihak lain. Pernah suatu kali ada seorang perempuan paruh baya yang datang ke RS Panti Rapih untuk memesan perawatan termasuk peti untuk persiapan ketika tutup usia.
“Namun, ternyata malah seminggu kemudian anaknya yang meninggal terlebih dahulu,” ujar Warti.
Para perias jenazah perempuan
Saat ini terdapat lima perias jenazah termasuk Warti yang bergantian bertugas di Ruang Michael. Semuanya merupakan perempuan.
Maria Yosephine Prima Suprapti (49) yang menjadi supervisor ruang perawatan jenazah menjelaskan bahwa perawat perempuan lebih fleksibel dalam melakukan tugas mulia ini. Bisa mengurus jenazah lelaki dan perempuan sekaligus.
“Kalau perawatnya laki-laki kan memang kurang ideal untuk mengurus jenazah perempuan,” ujar Prima yang juga turut mendampingi kunjungan saya kala itu.
Menurutnya tugas di ruang jenazah ini merupakan tantangan yang tidak mudah. Tidak semua perawat punya keberanian sekaligus panggilan hati.
Sebelum bertugas pun, para perias jenazah mendapat pembekalan khusus supaya mampu melakukan kerja-kerjanya secara optimal. Sebab, merawat yang meninggal tidak kalah menantang ketimbang yang masih hidup.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Penjual Peti Mati Cerita Tanda-tanda di Luar Nalar Sebelum Dagangannya Laku
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News