Open BO atau booking online adalah istilah yang biasa digunakan dalam prostitusi online. Mojok.co bertemu dengan penyedia jasa Open BO yang menjalankan bisnisnya di Yogyakarta dan sekitarnya.
Ketika saya mencoba menghubungi via telepon, hampir saja terjadi kesalahpahaman antara saya dan narasumber. Tepat ketika free call WhatsApp saya diangkat, sebut saja Rudi (21), langsung memberikan rate harga yang harus saya bayar. “Sembilan sampai sepuluh lembar merah paling murah, Mas. No oral seks, ya!” katanya.
Saya belum menjawab dan menjelaskan apa maksud saya menghubunginya, Rudi langsung masuk ke beberapa detil untuk pengguna jasanya yang menurutnya penting. “Tanpa kondom biasanya sembilan lembar merah atau 900 ribu kok, Mas,” katanya.
Alih-alih menjelaskan bahwa niat saya hanya bertanya mengenai beberapa hal, saya justru bertanya, “Lha kalau pakai kondom bisa lebih murah, Mas?”
Gelak tawa di antara kami pecah setelah Rudi sadar, niat saya menghubunginya bukan untuk menggunakan jasanya. Saya telah menghubungi salah satu kawan yang pernah menggunakan jasanya dan meminta izin apakah blio mau saya ajak ngobrol seputar Open BO di seputaran Yogyakarta.
Rudi menyetujuinya. Ia mau saya tanyai beberapa hal sebagai pelaku jasa Open BO laki-laki, namun syaratnya rumit sekali. Tidak boleh ambil gambar, rekam, ponsel saya harus diletakkan di meja, dan tentu saja ada nominal yang harus saya lepaskan guna memuluskan obrolan di antara kami.
Dengan berbagai negosiasi njlimet, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di salah satu kafe di bilangan Sleman Utara. Sejatinya Rudi ingin bertemu di salah satu hotel melati di pinggiran Jogja, namun saya menolak karena berbagai alasan yang tidak kalah njlimetnya. Ya, hitung-hitung gantian jual mahal lah.
Dan di Senin (05/04/2021), dengan awan mendung menjuntai dan penuh dengan angin di daerah Pakem, saya bertemu dengannya sebagai kawan, bukan pelanggan. Soal pelanggan, Rudi ini bermain di dua kaki. Dia melayani laki-laki, juga melayani pelanggan perempuan, yang menurutnya kebanyakan tante-tante kaya.
Pekerjaan penuh pertaruhan
Rudi, salah satu mahasiswa aktif di salah satu kampus ternama di Yogyakarta sudah menyelami dunia yang dianggap masyarakat sebagai dunia hitam ini kurang lebih lima tahun. “Mungkin alasan ekonomi sudah biasa, ya, tapi saya lebih ke bagaimana memperjuangkan eksistensi diri aja, sih,” katanya dengan suara yang lembut.
Rudi, yang saya dapatkan kontaknya dari seorang kawan yang pernah menggunakan jasanya ini membeberkan bahwa alasan seseorang terjebak dalam dunia ini tidaklah seru. “Bukan hal baru, Mas. Alasannya ya kalau nggak terjebak, ya masalah ekonomi. Kalau saya datang ke dunia Open BO ini nggak munafik karena dua hal itu, tapi alasan yang lebih mashoook itu karena saya adalah manusia yang berpikir.”
Bagi Rudi, berpikir di sini adalah bahwa ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Baginya, dirinya adalah otoritas mandiri sebagai sistem berpikir dan menanggung segala risikonya. Laki-laki yang menekuni studi teknik ini mengatakan, “Lingkungan menyalahkan saya nggak masalah, namun mereka nggak pernah merasakan sulitnya jadi saya barang satu detik,” katanya sembari memesan makanan.
Ketika ditanyai bagaimana ia bisa terjebak, Rudi membeberkan bahwa Open BO merupakan bisnis yang menyenangkan. “Nah, menyenangkan di sini maksudnya, ketika sudah terjerat, rasanya sulit keluar. Jujur saja, Open BO itu lebih enak secara empiri, namun amat menyiksa secara batin. Ada rasa enak yang nggak bisa saya jabarkan lebih rinci, Mas,” katanya.
Rudi mengatakan bahwa lingkungan kosnya sudah banyak yang tahu bahwa ia menyediakan layanan jasa Open BO. “Berat sudah jika orang di lingkungan terdekat memandang saya nggak lagi secara utuh, Mas. Mereka pada takut, ada juga yang minta kontak tante-tante. Saya nggak minta dihargai, sih, tapi kok ya rasanya pengin diberi ruang tenang barang sehari saja.”
Kekhawatiran Rudi akan orang tuanya di kampung tahu apa yang ia kerjakan di Yogyakarta tentu menjadi problem tersendiri. Katanya, ia meminimalisasi akses orangtuanya dengan kawan-kawannya di kampus.
“Justru dengan memberi kabar sesering mungkin, bikin orangtua saya nggak khawatir dan menghubungi kawan-kawan saya, tapi tentu aja khawatir terus menghantui. Mau bagaimana pun, mau dipandang sebagai manusia atau setan, penyedia jasa Open BO itu tetaplah buruk,” kata Rudi sambil nyeruput lemon tea yang ia pesan.
Open BO dengan agensi dan tanpa agensi
Selain permasalahan gejolak dengan perasaannya, beberapa penyedia jasa Open BO, termasuk Rudi, menyatakan kehati-hatian dengan lingkungan. Makin banyak pengguna jasanya Rudi, bukannya menambah relasi dan keuntungan, justru semakin ia menghindari. Menurut Rudi, ia tidak bisa mencari teman di bisnis ini.
“Saya bergerak secara sendiri, Mas. Saya nggak masuk agensi seperti penyedia jasa Open BO lainnya. Seperti yang Anda lakukan, dapat kontak saya dari kawan atau yang pernah menggunakan jasa saya sebelumnya,” Rudi menjabarkan bagaimana sistematika jika mau menggunakan jasanya.
Untuk meminimalisasi penipuan, Rudi menjamin kepercayaan calon pelanggannya dengan cara bertemu terlebih dahulu. “Kalau yang minta transfer dulu sebelum ketemu, itu kebanyakan nipu, Mas. Biasanya penyedia jasa Open BO sudah memilih hotel dan ketemu di sana secara langsung.”
Rudi menyatakan bahwa dirinya termasuk fleksibel. “Mau ketemu di hotel, ayo. Mau ngobrol dulu, boleh. Mau transfer sebagai DP juga hayuk. Tapi kebanyakan minta opsi pertama dan kedua, karena saya nggak punya agensi, jadi calon pelanggan saya meminimalisasi penipuan. Dan menurut saya itu nggak masalah,” katanya.
Ditemui via aplikasi anonim, Siska (24), selaku penyedia jasa Open BO yang menggunakan agensi menuturkan bahwa adanya agensi memudahkan dirinya. “Pihak kedua itu memfasilitasi semuanya, termasuk keamanan,” katanya.
Siska yang membuka jasa Open BO sekitaran Jogja – Solo ini tidak mengeluh ketika uang yang ia terima harus dibagi kepada pihak kedua atau agensi. “Ya dilogika, sih, nggak masalah. Asal aman, lancar, dan aku tinggal dateng aja ke tempat yang sudah direncanakan.”
Agensi ini merupakan promotor beberapa penyedia jasa Open BO, baik perempuan maupun laki-laki. Siska menjelaskan, “Tapi kebanyakan perempuan kalau di agensiku, Mas. Agensi yang baik, dipercaya, dan meladeni calon pengguna jasa dengan baik, punya rate tersendiri dan akan naik juga kualitasnya di antara calon pelanggan.”
Siska mengungkap bahwa adanya agensi mempermudah mobilitas dirinya mendapatkan calon pelanggan. Katanya, ia tidak perlu repot-repot meladeni yang mengirimkan dirinya pesan satu persatu. “Biasanya mereka sekadar iseng. Aku juga kadang dongkol. Bangsatnya, kebanyakan chat saya itu ya sekadar penasaran. Adanya agensi, setidaknya hal-hal minor kayak gitu nggak saya alamin lagi,” katanya.
Agensi atau tanpa agensi, tetap berbahaya
Agensi, bagi Siska, sama sekali tidak menjamin keamanan secara total. Siska mengungkapkan, adanya agensi hanya meminimalisasi. Sedang Rudi, mengatakan bahwa adanya agensi justru memperbesar kemungkinan jaringan itu dilacak oleh pihak berwajib.
Menimang agensi di kalangan penyedia jasa Open BO, ketika saya tanya kepada Siska apakah agensi ini nama lainnya muncikari atau ada istilah lainnya, ia memilih untuk tidak lagi membalas pesan saya di aplikasi anonim tersebut.
Sedang Rudi yang tak menggunakan jasa agensi, ia memiliki cara untuk bertahan mencari pelanggan. Katanya, ia memiliki beberapa langganan meskipun ia tak pernah menganggap langganannya itu kawan.
“Ha edan po, Mas, jika berkawan dengan pengguna jasa saya. Kebanyakan itu memang cowok, sih, ada yang normal ada juga yang melenceng. Kebanyakan juga mahasiswa yang uangnya saja masih minta orang tua, tapi beberapa ada ibu-ibu yang tajir melintir yang bisalah tiap dua bulan book saya,” katanya dengan penuh senyum terkembang.
Rudi memiliki teori tersendiri, katanya, “Ini menurutku pribadi, ya, kebanyakan mereka yang ditangkap dan digropyok, biasanya jaringannya sudah kebaca. Kalau tanpa agensi seperti saya, ya pergerakannya secara akar rumput. Logikanya, pihak berwajib kan nggak seselo itu mengusut satu kasus doang.”
Dalam memprediksi aman atau tidaknya ia membuka jasa, Rudi juga memiliki pandangan tersendiri, untuk penangkapan secara besar-besaran oleh pihak berwajib, ia memperkirakan pasti terjadi di daerah dekat ibukota terlebih dahulu. Setelah daerah Jabodetabek, biasanya menyebar ke daerah-daerah lainnya dan nggak butuh waktu lama untuk sampai ke Yogyakarta.
“Contohnya kasus artis itu, kan awalnya di Jakarta, terus melebar sampai sini. Sebagai orang yang mirip-mirip buka jasa sama seperti artis yang ditangkap itu, saya milih hiatus terlebih dahulu. Palingan hanya sebulan dua bulan, semua bakal longgar lagi. Pasti ada satu pemantik di area dekat ibukota dan akan membuka pola tersendiri di daerah-daerah lainnya,” katanya sambil tertawa.
Apa yang dikatakan oleh Rudi, mirip seperti kejadian yang baru saja terjadi di sebuah hotel di Tangerang, Banten. Polisi mengendus praktik prostitusi anak ini bermuara dari aplikasi bernama MiChat. Akibat adanya kejadian, pemerintah baru bertindak dan mencoba menyelesaikan.
Langkah Menkominfo dianggap hanya merugikan penyedia jasa Open BO amatir
Melalui siaran pers resmi, Menkominfo Johnny G Plate menargetkan untuk memblokir seluruh akses prostitusi daring di Indonesia, salah satunya adalah MiChat.
Ditemui via pesan WhatsApp, Riska (21) salah satu penyedia jasa Open BO yang memakai aplikasi MiChat tidak tahu menahu tentang adanya target dari Menkominfo tersebut. Kata Riska, langkah itu hanya mencabut kebusukan di permukaannya saja.
“Kurang kerjaan. Kalau berani ya usut sampai akar-akarnya. Kalau yang diblokir MiChat-nya, yang rugi hanya mereka yang Open BO yang bergerak secara mandiri. Bukan para bos-bos besarnya,” kata Riska yang ketika ditanya siapa bos besarnya itu, ia memilih bungkam.
Rudi pun mengatakan setuju, baginya Kominfo hanya menyasar penyedia jasa Open BO amatir. “Alat deteksi dari Kominfo palingan juga hanya bisa menyelidiki konten di media terbuka. Misal Twitter atau Facebook. Sedang yang menggunakan bantuan media sosial itu secara terang-terangan, indikasinya hanya ada dua; amatir atau penipu,” lugasnya.
Apa yang Rudi katakan, sama seperti apa yang dijabarkan oleh Pratama Persadha, Pengamat dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC). Dikutip dari Vice Indonesia, ia menyebut mesin pendeteksi konten negatif (disebut AIS) yang dijalankan tim Cyber Drone 9 Kominfo hanya mampu mencari konten negatif di platform media terbuka sehingga mereka kesulitan mengakses konten negatif di platform tertutup seperti WhatsApp, Telegram, maupun MiChat.
Rudi menambahkan, “Katakanlah MiChat diblokir, ya pasti bakalan banyak penyedia jasa Open BO yang mengalami kerugian, tapi nggak dengan jaringan yang sudah kuat. Lha wong mereka punya pelanggan tetap. Mereka punya pangsa pasar juga. MiChat diblokir, jaringan ini hanya geli.”
Berkali-kali Rudi bilang kepada saya, bahwa apa yang kami obrolkan boleh diketik seutuhnya, namun identitas dirinya jangan sekalipun diungkap. “Saya bisa mati kapan saja, Mas,” katanya. “Lagi pula saya tahu mana yang harus diceritakan, mana yang nggak.”
Sedikit menggoda saya, Rudi bertanya apakah saya mau mendengar beberapa hal yang sejatinya tidak boleh disebarluaskan. Dengan anggukan paling ritmis yang pernah saya layangkan, Rudi mengatakan,
“Penyedia jasa Open BO juga sudah difasilitasi oleh jaringan kuat ini, agensi-agensi yang punya nama besar. Pertanyaannya, apakah bisa pihak-pihak berwajib menarik jaringan kuat ini? Jaringan yang bisa saja mencatut tokoh-tokoh besar di kota ini,” tutup Rudi sambil melihat mata saya dengan tajam.
BACA JUGA Remang-remang Toko Obat Kuat di Yogya liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
[Sassy_Social_Share]