Kawasan Sumbu Filosofi Jogja resmi jadi warisan budaya UNESCO. Di balik gegap gempita merayakan status baru yang telah lama ditunggu, ada kisah pilu yang membentang di sekitar kawasan berstatus istimewa itu.
***
Tidak ada yang berbeda sehari setelah Sumbu Filosofi resmi jadi warisan budaya UNESCO. Di Jalan Margo Utomo semuanya berjalan seperti biasa.
Saat berjalan dari Tugu Pal Putih ke arah selatan, mata ini memandangi para lelaki paruh baya yang menjadi tukang becak di pinggiran trotoar. Mereka lebih banyak menunggu sambil memandangi jalan ketimbang mengayuh becak.
Ada tukang parkir yang sibuk memberi aba-aba bagi kendaraan yang menepi ke deretan kantor dan pertokoan di pinggir jalan. Di bawah terik siang, para pekerja sektor informal ini menanti rezeki di kawasan Sumbu Filosofi.
Namun, sebagian besar di antara mereka tak tahu kabar gembira tentang peresmian kawasan tempat mereka mencari nafkah sebagai warisan budaya UNESCO. Budi (70), seorang tukang parkir di depan salah satu cabang bank swasta nasional hanya menatap bingung saat saya menanyakan tentang Sumbu Filosofi.
Ia tak tahu istilah untuk menyebut kawasan yang terbentang dari Panggung Krapyak di sisi selatan sampai Tugu Pal Putih di utara. Budi hanya paham bahwa kawasan itu merupakan sebuah garis imajiner yang cukup sakral bagi Keraton Yogyakarta.
“Saya malah nggak tahu itu namanya Sumbu Filosofi,” cetus lelaki yang mengaku berasal dari Gowongan, Kota Yogyakarta ini pada Selasa (19/9/2023).
Budi hanya mengeluh, sekarang mencari uang semakin susah. Ia merogoh saku bajunya lantas mengeluarkan segepok uang pecahan Rp2 ribu.
“Dari tadi pagi sampai mau jam tiga sore ini baru dapat Rp40 ribu. Buat makan saya sendiri sama orang di rumah. Semoga cukup,” ujarnya.
Kabar penggusuran yang mengkhawatirkan
Budi melenggang begitu saja saat ada mobil yang hendak keluar dari parkiran. Saya lantas berpindah ke titik lain di sebelah utara. Tak sampai 50 meter dari titik Tugu Pal Putih.
Di sana beberapa perempuan yang berjualan gudeg tampak sedang duduk berdiam sambil menunggu pelanggan. Tempat itu merupakan sentra gudeg Kebondalem, Jogoyudan, Jetis, Yogyakarta.
Sadinah (62), pemilik warung Gudeg Bu Widodo mengaku juga tidak tahu menahu soal kabar peresmian Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya UNESCO yang sedang banyak jadi topik pemberitaan hari ini. Pasalnya, semalam di Riyadh, Arab Saudi World Heritage Committe (WHC) resmi menetapkannya sebagai warisan budaya dunia.
Ada hal lain yang lebih jadi perhatian yakni rencana penggusuran. Kios kecilnya akan dibongkar dalam waktu dekat. Ia harus merelakan tempat mencari nafkah sejak tahun 1980-an itu.
“Warung sebelah itu listriknya sudah dicabut. Tempat saya tinggal menunggu hari,” katanya.
Warga Jogoyudan ini mengaku sering mendengar kabar relokasi dan penggusuran beberapa waktu belakangan. Sampai akhirnya, tiba saat lapaknya juga harus mengalami hal serupa.
Saat ini, ada tiga penjual gudeg yang tersisa di kawasan Kebondalem Jogja. Tempat tersebut sudah lama menjadi salah satu sentra gudeg. Lokasinya strategis untuk menjaring wisatawan. Namun, kini mereka semua tinggal menunggu waktu untuk pindah.
“Nggak ada ganti rugi atau semacamnya. Ya kami disuruh pindah dan nggak ada pilihan lain,” keluhnya lirih.
Baca halaman selanjutnya : Baru tahu arti Sumbu Filosofi saat ada rencana penggusuran
Baru tahu arti Sumbu Filosofi saat ada rencana penggusuran
Rencana penggusuran, secara lebih lanjut diceritakan oleh Sudiyem (60) dan Dwi (40). Ibu dan anak yang mengelola Gudeg Yu Yem yang letaknya persis di depan lapak milik Sadinah.
Sudiyem juga warga asli Jogoyudan, Jogja. Ia berjualan di tempat itu sejak tahun 80-an. Meneruskan dagangan mertuanya.
Saat ini ia mengaku hanya bisa pasrah. Pada April lalu ia mendapat kabar bahwa lapaknya akan mengalami pembongkaran. Sudah harus kosong maksimal pada Desember 2023 mendatang.
Pada awal pandemi lalu, ia baru saja mengeluarkan ongkos besar untuk membangun ulang kiosnya. Saat itu, terjadi pembangunan Gapura Kebondalem yang mengharuskan lapak pedagang masuk beberapa meter ke dalam gang.
“Habis sepi-sepinya pandemi, saya keluar uang hampir Rp20 juta buat bangun ulang warung. Sekarang malah mau kena gusuran lagi,” keluhnya.
“Semuanya mendadak. Kami dipanggil dan tahu-tahu sudah ada desainnya,” imbuhnya.
Rencananya, mereka akan pindah masuk sekitar 100 meter ke dalam gang. Namun, belum jelas nanti gambaran lokasi ini nantinya akan menjadi seperti apa.
“Katanya mau untuk parkiran wisata atau untuk taman. Masih simpang siur,” sahut Dwi tentang rencana pembangunan di Kebondalem.
Dwi menatap saya dengan tatapan nanar. Menceritakan bagaimana keluarganya mengandalkan lapak ini sebagai sumber penghidupan puluhan tahun.
Baginya, setelah pembongkaran beberapa tahun lalu omzet dagangan belum pulih sepenuhnya. Mundur beberapa meter saja berdampak banyak bagi penjualan.
“Ini sekarang pelanggan banyak yang mengiranya kami sudah nggak jualan. Agak ndelik (tersembunyi) di belakang gapura,” tutur Dwi.
Puluhan tahun tinggal dan mencari nafkah di kawasan ini, keduanya mengaku tidak tahu konsepsi Sumbu Filosofi. Sudiyem mengaku, baru tahu setelah April lalu mendapatkan sosialisasi terkait penggusuran.
“Baru tahu ya pas sosialisasi itu. Katanya Tugu Jogja mau ditata rapi sampai Panggung Krapyak karena itu bagian Sumbu Filosofi,” tuturnya.
Tanpa sertifikat tanah hanya bisa pasrah
Namun, Sudiyem mengaku hanya bisa pasrah. Kendati ia sudah menempati lapak itu selama puluhan tahun, tetap saja ia tak punya sertifikat tanah sebagai landasan klaim.
“Orang kecil yang hanya bisa pasrah sama yang kuasa dan punya tanah,” cetusnya.
Ia hanya berharap, apabila nantinya mengalami relokasi jauh ke dalam gang, ada mekanisme supaya arus wisatawan tetap bisa masuk. Setidaknya dengan plang penanda untuk mengarahkan pelancong yang melintas untuk masuk. Walaupun pedagangnya tidak berjumlah banyak.
Ia mencontohkan relokasi PKL ke Teras Malioboro Jogja yang mengalami penataan sedemikian rupa supaya pedagangnya tetap hidup. Meski begitu, Sudiyem juga mengetahui bahwa perjuangan pedagang di Teras Malioboro hingga kini juga tergolong berat.
“Ya dengar kabar juga pedagang di Teras Malioboro masih kesulitan dan mau direlokasi lagi,” tuturnya.
Sebelumnya, saya juga sempat mewawancarai sejumlah pedagang di Teras Malioboro 2 yang juga berada di kawasan Sumbu Filosofi. Seorang pedagang, Afifudin (43) sejak pindah ia mengaku mengalami penurunan omzet drastis. Terutama di fase-fase awal relokasi.
Kisah serupa di sudut lain Sumbu Filosofi Jogja
Beruntung, menurutnya beberapa bulan belakangan sirkulasi pembeli perlahan mulai mengalami peningkatan meski belum stabil. Namun, saat perlahan dagangan di lapak seluas 120 x 120 centimeter miliknya mulai berkembang, ia harus kembali bersiap untuk relokasi kedua.
“Saat ini kami ini ibaratnya baru mulai menata kembali. Pelan-pelan baru mulai hidup kembali dan bernapas,” kata Afif.
Sejauh ini Pemda DIY telah menyiapkan dua lokasi relokasi pedagang Teras Malioboro 2. Keduanya terletak di Ketandan dengan luas sekitar 3.000 meter persegi dan samping Teras Malioboro 1 seluas 2.000 meter persegi.
Pembangunan tempat relokasi rencananya bakal mulai 2024 dan maksimal mulai menempatinya pada awal 2025. Namun, Afif khawatir karena calon tempat relokasi tergolong tersembunyi. Tidak terlihat dari ruas Jalan Malioboro.
“Lokasinya semakin ndelik. Di sini saja sekarang sudah kerasa pengurangannya,” ujarnya.
Afif, sebagaimana para penjual gudeg di Kebondalem, hanya bisa pasrah. Deretan proyek yang berjalan beberapa tahun belakangan di kawasan Sumbu Filosofi Jogja membuat mereka tersingkir dari tempat mencari nafkah.
Mengenai polemik di sekitar Sumbu Filosofi Yogyakarta, Antropolog UGM, Ignasius Kendal berpendapat bahwa peresmian status warisan budaya dari UNESCO harus disusul perhatian kepada masyarakat sekitar. Sebab, Sumbu Filosofi bukan hanya tentang revitalisasi bangunan.
“Selain itu seremonial, tugasnya selanjutnya bagaimana secara holistik mampu memajukan pembangunan manusia dan budaya Jawa di sekitar. Ini PR berat dan belum pernah ada program kegiatan teknis yang bercita-cita seperti itu,” paparnya.
Sementara, sejauh ini, Kendal mengaku belum melihat ada implikasi bagi warga dari suatu acara yang bersifat seremonial seperti peneguhan status warisan budaya ini. Kendal bersama Laboraturium Antropologi (Laura) UGM berupaya rutin melakukan riset etnografi di kawasan Sumbu Filosofi.
“Kami melakukan riset etnografi sederhana setahun sekali atau dua tahun sekali, untuk kemudian diolah menjadi semacam kisah merengkuh yang marjinal dan sekaligus mengingatkan yang berkuasa,” pungkasnya.
BACA JUGA Nestapa Tukang Becak di Sumbu Filosofi Jogja, Bertahan Hidup Tanpa Penumpang Berhari-hari
Cek berita dan artikel lainnya di Google News