Pengalaman Saya Curhat ke Nomor Layanan Berhenti Merokok

 Pengalaman Saya Curhat ke Nomor Layanan Berhenti Merokok. MOJOK.CO

Ilustrasi  Pengalaman Saya Curhat ke Nomor Layanan Berhenti Merokok. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Mojok menghubungi kontak layanan berhenti merokok yang tercantum di bungkus rokok. Mencoba mencari tahu layanan seperti apa yang mereka sediakan hingga seberapa efektif untuk mengentikan kebiasaan mengepulkan asap dari kehidupan sehari-hari.

***

Sejak menjadi perokok aktif sekitar tujuh tahun lalu, belum pernah sekali pun saya berhasil berhenti rokok total untuk waktu yang lama. Saya berhenti hanya ketika sakit.

Keinginan untuk tidak merokok sempat terbersit berulang kali di dalam benak. Biasanya ketika sedang tidak punya uang atau kondisi badan sedang tidak enak, tapi keinginan merokok terus menerus datang.

Kecanduan, nyaris pada hal apa pun memang tak mengenakkan. Ada ketidaknyamanan ketika kita terputus dengan barang tersebut. Termasuk pada batang-batang berisi tembakau yang saya konsumsi setiap hari.

Saran untuk berhenti merokok datang dari banyak orang. Ada yang serius dengan nada kesal namun ada yang sambil bercanda. Biasanya yang mengingatkan adalah ibu dan cewek yang sedang menjalin hubungan dengan saya.

Mereka maklum dengan kebiasaan saya. Tapi sepertinya kadang prihatin kalau saya lagi kencang-kencangnya mengepulkan asap ketika stres melanda.

“Aku pengin berhenti. Tapi nunggu niat terkumpul,” jawab saya biasanya.

Beberapa waktu lalu misalnya, sambil memungut bungkus rokok yang saya geletakkan di meja, cewek yang sedang dekat dengan saya berujar seraya menunjuk kontak layanan berhenti merokok, “Pernah nelfon ini nggak? Cobain siapa tahu layanannya bagus.”

Setahun belakangan ini saya lebih sering merokok dari tembakau lintingan. Membeli rokok bungkusan hanya selingan. Saat sedang kehabisan di jalan atau sedang ingin variasi saja. Malam itu saat kami berdua jalan, kebetulan saya sedang kehabisan stok tembakau.

Rasa penasaran saya selama bertahun-tahun tiba-tiba muncul kembali saat pernyataan terlontar dari mulutnya. Kontak itu memang bukan hal asing bagi para perokok di Indonesia. Tapi, barangkali, hanya segelintir yang pernah mencoba menghubunginya.

Sampai akhirnya, siang bolong saat sedang kerja di kantor saya mencoba menghubungi kontak tersebut. Bermodalkan keinginan mengurangi intensitas merokok yang masih setengah-setengah dan rasa penasaran. Hitung-hitung juga jadi bahan tulisan.

Konsultasi tanpa obat dan terapi

Sambil menyesap tembakau lintingan, saya hubungi nomor 08001776565 yang tertera di bungkus rokok milik teman. Panggilan tersambung, nada tunggu terdengar, dan seorang wanita menyapa.

“Halo selamat siang dari layanan berhenti merokok. Dengan siapa saya berbincara,?” katanya.

Setelah menjawab, ia langsung menyodorkan pertanyaan lain seperti asal hingga mengetahui layanan ini dari mana.

“Tahu dari bungkus rokok apa bapak?”

Saya memberikan jawaban satu per satu secara serius. Setelah tahap pengenalan awal, petugas lantas menjelaskan konsultasi awal akan berlangsung sekitar 20 menit. Ia memastikan apakah saya memiliki waktu luang selama itu. Ia juga memastikan nomor pribadi saya sesuai dengan yang digunakan untuk menelepon.

“Saya siap dan luang!”

Jika serius ingin berhenti merokok, ia berujar bahwa akan ada tujuh sesi konsultasi berkala secara daring dalam kurun waktu satu tahun. Semuanya gratis, tanpa biaya pulsa dan layanan.

Petugas juga menambahkan pertanyaan, sebelum mengelaborasi lebih lanjut penjelasan tentang layanan. Ia mencecar saya tentang alasan dan motivasi untuk berhenti merokok. Menurutnya, berhenti merokok itu berat dan perlu landasan motivasi yang kuat.

“Kalau skala 1 sampai 10, keinginan untuk berhenti merokok di angka berapa?”

“lima koma lima!” jawab saya. Untuk sepersekian detik ia diam. Saya pun merasa jawaban yang terlontar kurang meyakinkan.

“Eh ralat Mba. Enam saja,” sergah saya.

“Baik. Kalau keyakinannya di angka berapa?”

“Tujuh,” jawab saya. Saya lalu menjelaskan bahwa kecanduan, hakikatnya tidak baik untuk kehidupan. Dan saya ingin mengurangi ketergantungan semacam itu.

Ia lalu menanyakan apakah ada perokok lain di rumah selain saya. Tentu tidak, lantaran saya tinggal di sebuah kamar kos. Tapi kalau di rumah, kakek dan nenek yang tinggal seatap merupakan perokok berat.

Ilustrasi, menghilangkan kebiasaan merokok sulit karena banyak faktor. (Mojok.co)

Banyak pertanyaan detail yang sepertinya bagian dari protokol termasuk merek rokok yang biasa saya konsumsi pun ia tanyakan.

Tiga cara berhenti merokok

Setelah menimbang-nimbang keseriusan saya untuk berhenti merokok, yang memang terdengar sedikit meragukan, ia akhirnya menjelaskan mekanisme untuk berhenti dari kebiasaan yang menurutnya buruk bagi diri saya ini.

Pertama dengan cara berhenti total dan seketika. Tidak ada kompromi untuk cara ini. Mulai besok saya harus tidak menikmati barang itu walaupun hanya satu hisapan.

Kedua dengan cara penundaan. Petugas bertanya, “Biasanya bapak mulai merokok sejak jam berapa? Berapa lama setelah bangun tidur?”

Kalau saya, biasanya sekitar 30 menit sampai satu jam setelah beranjak dari kasur, batang pertama telah menyala. Tentu setelah minum air putih dan membuat segelas kopi atau teh hangat.

Jadi metode ini dilakukan dengan menunda bertahap jadwal menyalakan sebatang pertama. Misalnya, saya biasanya mulai merokok jam tujuh pagi, keesokan harinya jadi jam sembilan, lalu sebelas, dan seterusnya sampai hendak tidur di malam hari dan tidak merokok sama sekali.

Cara ketiga yakni dengan mengurangi jumlah batang yang dikonsumsi per hari. Saya biasanya merokok 16 batang sehari. Maka mulai besok saya harus memangkasnya menjadi 14 batang. Sampai tidak ada batang yang saya nyalakan sama sekali dalam satu hari.

“Jadi, bapak mau coba metode yang mana?”

Berhenti total tentu sulit. Pertama karena niat saya yang belum terlalu kuat dan juga lingkungan saya yang masih banyak perokok sehingga rasa ingin merokok masih kerap muncul saat melihat kenikmatan mereka.

Langkah ketiga juga coba pernah saya lakukan. Tapi tidak pernah berhasil. Dua cara ini juga bukan hal baru lagi, sebab biasanya disarankan oleh orang-orang awam di sekitar saya.

Jadi, saya putuskan pakai cara kedua. Mengundur jadwal mulai merokok saya. Sebab sepertinya itu yang paling rasional untuk perokok berat seperti diri ini. Sebenarnya menurut petugas, cara paling efektif berhenti ya langsung total tanpa kompromi.

Ia lantas memberi instruksi agar saya langsung mencoba metode ini keesokan hari. Lantas sepekan kemudian, akan ada sesi konsultasi lanjutan untuk pertama kalinya. Setelah itu dua pekan, satu bulan, “nah setelahnya nanti dijelaskan pada konsultasi minggu depan ya Pak.”

Masa putus nikotin

Petugas lalu mengingatkan bahwa masa-masa awal berhenti merokok akan terasa berat. Katanya, akan ada efek pusing, rasa ingin makan secara lebih, hingga kurang fokus.

“Tapi masa itu paling hanya seminggu dua minggu pertama berhenti. Asal langsung berhenti total,” katanya.

Masa itu merupakan fase tubuh membiasakan diri tanpa nikotin dari rokok yang biasanya selalu masuk setiap hari. Saya memang merasa tidak nyaman dan kurang fokus bekerja ketika tidak menyanding sebatang rokok.

“Jadi pikiran untuk merokok dialihkan dulu. Kalau sedang senggang, cari aktivitas ya Pak.”

“Oke Mba, kebetulan saya jarang senggangnya.”

“Bapak pekerjaannya apa kalau boleh tahu?”

“Pokoknya sering menatap layar laptop, Mba.”

Hening sejenak. Ia lalu menanyakan apakah ada pertanyaan lain yang ingin saya ajukan.

“Setiap hari orang yang mau berhenti merokok banyak, Mba?”

“Iya banyak bapak. Alasannya beragam mulai dari faktor kesehatan sampai ekonomi,” katanya.

Sudah lebih dari dua puluh menit berbincang, akhirnya petugas izin untuk mematikan sambungan. Sebenarnya, hemat saya metode ini bukan hal baru di kalangan orang yang ingin berhenti merokok.

Layanan berhenti merokok mengharuskan orang yang mau berkonsultasi berkomitmen selama satu tahun. (Istimewa)

Konsultasi terbatas

Saya mencoba untuk menanyakan beberapa hal di luar metode berhenti, misalnya tentang berapa banyak orang yang menghubungi layanan konsultasi setiap harinya. Pertanyaan semacam itu tidak petugas terima.

Beberapa waktu sebelumnya, seorang teman, sebut saja Sigit (30) pernah mencoba menelepon layanan berhenti merokok juga. Ia memang sedikit nyeleneh dan menyampaikan sejumlah rasa penasarannya.

Ia bercerita kalau sehari menghabiskan lebih dari dua puluh batang rokok. Padahal ia sering berpuasa. Artinya, rokok tersebut ia konsumsi dari petang hingga dini hari.

Berdasarkan pemaparan kebiasaan itu, petugas menyimpulkan bahwa Sigit sebenarnya bisa mengontrol dirinya. Ia menyarankan agar Sigit lebih menguatkan niatnya saja.

“Jadi bapak ini tidak mengalami efek tertentu saat tidak merokok. Menurut saya bapak bisa berhenti tinggal niatnya saja. Motivasinya saja,” kata petugas.

Sigit bercerita bahwa keluarganya banyak yang perokok dan berlatarbelakang petani tembakau. Ia bertanya, “ini baiknya saya juga mengingatkan keluarga saya untuk tidak menanam tembakau nggak ya Mba?”

Mendengar pertanyaan itu, petugas menjawab. “Maaf bapak itu bukan ranah kami. Kami hanya fokus di layanan berhenti merokok saja,” ucap sang petugas penuh kesabaran.

Layanan berhenti merokok atau Quit Line Berhenti Merokok merupakan program Kementerian Kesehatan yang sudah berjalan sejak 2016. Melansir laman resmi Kemenkes, keberadaan layanan ini bertujuan membantu mereka yang ingin berhenti merokok tetapi memiliki keterbatasan akses dan waktu.

Melalui komunikasi via telepon, klien yang ingin berhenti merokok dapat diberikan konseling dan bimbingan, serta rujukan jika sekiranya membutuhkan tindak lanjut. Layanan ini bisa diakses pada Senin-Sabtu pukul 08.00 sd 16.00 WIB.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Pengalaman Saya Memesan Jasa Open BO

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version