Udara sejuk dan langit mendung menyelimuti Kota Malang, Rabu siang (24/11). Orang-orang lalu-lalang sibuk menyiapkan pertunjukkan musik Silampukau di Bukit Delight. Sebuah cafe semi outdoor yang letaknya sesuai dengan namanya, di tempat yang tinggi di Jl. Joyo Agung, Kota Malang.
Kesibukan para kru band dan sound engineer saat sound check ini bikin saya semangat. Maklum, sudah lama tak melihat pertunjukkan musik secara langsung. Malang adalah kota terakhir yang dikunjungi oleh Silampukau dalam rangkaian tur tiga kota “Safari Antar Kota Dalam Provinsi 2021”. Sebelumnya, duo folk asal Surabaya ini bermain di Kota Gresik dan Sidoarjo.
“Bress…” suara hujan turun sekitar pukul 13. Padahal saat itu para kru sedang sibuk-sibuknya mengecek tata suara. Hujan yang turun cukup deras. Para kru dan petugas yang ada sibuk merelokasi sound system dan alat musik ke tempat yang aman dan menutupinya agar tak kena percikan air hujan. Jadwal sound check terpaksa harus mundur menunggu kondisi memungkinkan untuk dilanjutkan.
Di sela-sela waktu menunggu hujan reda, teman-teman Silampukau jamming untuk membunuh kebosanan sembari bercengkrama ngalor-ngidul. Saya kemudian berbincang dengan Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, duo penggawa Silampukau.
Tur Pendek di Tiga Kota
Sembari santai Eki mulai mengambil kotak tembakaunya. Sejumput tembakau ia taruh di atas kertas papir dan kemudian digulungnya. Bersama Kharis lalu bercerita ihwal tur “ Safari Antar Kota Dalam Provinsi”. Tur tiga kota ini merupakan rangkaian pertunjukkan offline pertama Silampukau semenjak pandemi melanda. Semuanya serba cepat dan dadakan.
“iya ini offline selama pandemi,” ucap Kharis
“Nggak ada persiapan, tinggal telepon teman-teman. Kenapa tiga kota ini (Gresik, Sidoarjo, dan Malang) karena kami punya teman-teman di sini yang bersedia menampung dan mengakomodasi,” ia menambahkan.
“Ini konsepnya benar-benar gigs aja, ya swadaya lah.”
Tur pendek ini jadi momen kangen-kangenan antara Silampukau dan penonton. Untuk pertama kalinya sejak panggung terakhir di bulan Februari 2020 mereka kini bisa berinteraksi secara langsung dengan penggemarnya.
“Seru! Kemarin waktu di Sidoarjo cuaca hujan, kita sudah nyediain jas hujan buat para penonton tapi mereka malah milih nggak pakai. Udah ditawari malah nggak mau,” ungkap Eki sembari tersenyum.
“Kalau di Gresik kami memutuskan geser ke indoor. Mereka (cafenya) punya empat cabang. Awalnya di outdoor tapi kayaknya kok hujannya badai akhirnya kami putuskan geser,” timpal Kharis.
Setelah tur pendek di tiga kota ini selesai harapannya jelas—kalau keadaan memungkinkan—mereka ingin lanjut tur kembali. Kharis mengatakan saat ini tajuknya masih “Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP)”, siapa tahu tahun depan bisa lanjut ke “Antar Kota Antar Provinsi (AKAP)”.
Di pertunjukkan tiga kota ini untuk pertama kalinya Silampukau akan memainkan dua nomor yang belum pernah dipentaskan: “Dendang Sangsi” dan “Aku dan Si Bung”. Khusus “Dendang Sangsi”, single ini baru saja dirilis Juni 2021. Nomor ini berbeda dengan lagu balada sebelumnya. Eki dan Kharis memasukkan unsur dangdut di komposisinya.
“Juni kita ngeluarin single itu (Dendang Sangsi) dan baru pertama kali ini kita bawakan,” kata Eki.
Soal rencana ke depan, setelah tur tiga kota ini berakhir mereka akan balik lagi ke studio. Harapannya bisa merilis karya-karya terbarunya. “Yang jelas setelah ini kita mau balik ke studio, coba workshop, dan record-record lagi, siapa tahu bisa rilis,” ucap Kharis menjelaskan.
“Sangat lihat situasi lah. Kami nggak bisa bikin rencana jangka panjang kalau misalkan konteksnya panggung,” pungkasnya.
Panggung Hangat Silampukau
Nurudin (25), baru pertama kali ini nonton Silampukau secara langsung. Ia datang langsung dari Blitar. Kurang lebih satu setengah jam dari Malang. Sedari dulu ia menyukai band asal Surabaya ini. “Malam Jatuh di Surabaya” ia nobatkan jadi nomor favoritnya.
“Pilihan kosa katanya bagus dan menggambarkan yang ada di dekatnya mereka. Mereka kan bercerita tentang Surabaya. Sebagai orang yang tinggal di luar Surabaya ngeliatnya bagus,” ucap Udin.
Demikian juga dengan Muhammad Faisal (24). Kesempatan untuk menonton Silampukau baru datang kali ini. Ia berasal dari Kediri, sekarang sedang bekeja di Malang. Hampir semua lagu Silampukau ia sukai. Namun, khusus “Puan Kelana” menurutnya yang paling ‘mengena’.
“’Puan Kelana’ aku suka karena relate buat aku yang lagi LDR,” ujarnya.
Keputusan Udin dan Faisal untuk menonton Silampukau kali ini bisa dibilang tepat. Pertunjukkan duo folk Surabaya dalam tur kali ini menghadirkan konsep intimasi dengan penonton. Sedari awal tiket dibatasi hanya 300 orang. Semuanya ludes terjual habis.
Hujan sudah reda sejak sore. Bakda maghrib para penonton sudah mulai berdatangan di Bukit Delight. Pertunjukkan akan dimulai pukul 19.00 WIB. Saya pun mulai mengambil posisi duduk tepat di depan stage yang tak terlalu tinggi. Pun demikian dengan Udin dan Faisal yang duduk di sebelah saya. Mereka hanya berjarak 3 meter dari band idolanya.
Tak lama kemudian suara riuh terdengar. Eki dan Kharis muncul dari belakang penonton. Malam itu Silampukau dibantu oleh Rhesa Filbert yang memainkan kontra bass dan Gede Priyanto pada drum. Lagu “Hey” langsung dimainkan tak lama setelah Eki dan Kharis menyapa penonton. Berturut-turut kemudian “Aku dan Si Bung”, “Balada Harian”, dan “Bola Raya”.
Di lagu-lagu awal para penonton masih terlihat malu-malu. Koor massal baru terdengar di lagu selanjutnya “Malam Jatuh di Surabaya” dan “Si Pelanggan”. Khusus dua lagu ini sebetulnya hampir saya dengarkan tiap hari sebelum berangkat dari Jogja menuju Malang. Dari album “Dosa, Kota, dan Kenangan” lagu favorit saya adalah dua lagu tersebut dan “Doa 1”.
“Sang Juragan”, “Lagu Rantau”, dan “Aku Duduk Menanti” kemudian dimainkan. Petikan-petikan gitar Kharis Bersatu-padu dengan genjrengan gitar milik Eki. Indah betul. Harmonis. Celetukan-celetukan khas arek Suroboyo dari Eki dan Kharis di sela-sela lagu juga berhasil bikin suasana tambah cair.
Single terbaru “Dendang Sangsi” lalu dimainkan. Suara berat Eki kali ini mengisi penuh di lagu ini. Walaupun nadanya dangdut tetapi “Dendang Sangsi” jadi satu-satunya lagu Silampukau yang mempunyai lirik yang keras.
Berikutnya berturut-turut “Bianglala”, “Sang Puan”, dan “Doa 1” dimainkan. Terakhir lagu “Sampai Jumpa” jadi penutup pertunjukkan musik Silampukau yang hangat malam itu. Sekitar 14 lagu malam itu dimainkan. Para penonton seperti masih enggan beranjak dari tempatnya setelah para personel Silampukau meninggalkan panggung. Rasanya masih kurang. Semoga momen ini bisa terulang lagi di safari-safari Silampukau berikutnya.
BACA JUGA Jualan Mie Sapi Banteng, Satria Tinggalkan Sekolah Kuliner di Singapura dan liputan menarik lainnya di Susul.