Seniman-seniman muda unjuk karya di Artjog 2022. Menghadirkan karya-karya personal, kuat dalam tema dan isu, dan dieksekusi dengan pendekatan baru.
***
Di atas meja makan berselimut kain putih itu, sebuah rangka besar kecoklatan teronggok memenuhi seluruh bagian meja. Ekornya menjulur hingga ke bawah meja dan leher serta kepalanya mencuat ke atas. Rongga mulutnya menganga dan menampakkan gigi gerigi yang tajam. Dengan total panjang 6 meter, tulang belulang itu bak fosil hewan purba.
Namun saat dicermati kerangka itu bukanlah tulang binatang sesungguhnya. Malahan ia terasa empuk dan lembut, mirip boneka. Ia terbuat dari kain-kain limbah dan warna kecoklatan di permukaannya datang dari warna alami karat besi. Kesan ngeri pun seketika sirna.
Inilah Magical Crocodile, karya seni garapan Rizka Azizah Hayati, salah satu pemenang Young Artist Award di pameran seni ARTJOG MMXXII. Bazar seni tahunan ini digelar di Jogja National Museum (JNM), 7 Juli – 4 September 2022.
Tahun ini, Artjog mengambil tema Expanding Awareness yang mengangkat isu kesadaran dan inklusivitas. Sebanyak 61 seniman terlibat, termasuk 13 seniman muda yang ditentukan dari usia mereka yang tak lebih dari 35 tahun. Young Artist Award diberikan pada tiga seniman dari kategori itu.
Selain Rizka, penghargaan itu juga dianugerahkan pada Dzikra Afifah, 24 tahun, asal Bandung, dengan tiga seri karya keramiknya yang berjudul The Principal within the Hollow, The Bardo, dan Living Revelation Series.
Keramik karya Dzikra tak seperti umumnya kerajinan keramik. Karya-karya ini dibentuk layaknya tubuh manusia. Namun anatomi itu sekaligus mengalami deformasi—perubahan bentuk—dan mengikuti sifat-sifat tanah liat. Patung-patung manusia berukuran 20 x 70 x 20 cm itu tidak utuh, tanpa kepala, bahkan berongga.
Di luar dua karya tiga dimensi itu, Young Artist Award 2022 juga diberikan untuk karya visual bertajuk Ghost Light garapan Timoteus Anggawan Kusno, 33 tahun. Karya ini berupa dua video hitam putih yang ditayangkan berhadap-hadapan di sebuah ruang. Satu video menampilkan visualiasi teatrikal, sementara video lain mengungkap apa yang terjadi di balik layar pertunjukan tersebut.
Kurator Artjog sekaligus salah satu juri Young Artist Award 2022 Bambang ‘Toko’ Wicaksono menjelaskan, tiga seniman muda itu menampilkan sesuatu yang baru. “Mediumnya memang tidak baru, tapi di usia mereka, mereka berani bereksplorasi,” kata dia saat ditemui di sela pembukaan Artjog 2022, Kamis (7/7) lalu.
Bambang menyebut tiap karya punya kekuatan. Magical Crocodile karya Rizka misalnya, berangkat dari pengalaman langsung si artis yang diterjemahkan secara menarik dengan isu lingkungan yang kuat. “Seniman muda biasanya mengangkat isu dahulu baru mencari pengalaman,” ujarnya.
Adapun keramik-keramik Dzikra juga berbeda dari kebanyakan karya berbasis keramik lainnya. Dengan pendekatan realis, keramik itu dibentuk menyerupai tubuh yang tergolong rumit dalam proses pembuatannya. “Secara teknis itu susah, tingkat kesulitannya tinggi, tapi dia mampu,” kata Bambang.
Sementara Ghost Light karya Angga dinilai bisa meramu kompleksnya suatu proses seni pertunjukan ke dalam karya visual yang unik. “Jarang seniman menggarap behind the secene pertunjukan sekaligus mengajak penonton mencermati dan memikirkan kedua-duanya,” ujar Bambang Toko.
Siluman buaya dari Banjar
Meski aktif ikut pameran kolektif sejak 2018, Magical Crocodile adalah karya perdana Rizka Azizah Hayati di Artjog. Karya itu merupakan kenangan Rizka akan kampung halamannya sebagai keturunan Dayak Melayu di Desa Bawahan Pasar, Mataraman, Banjar, Kalimantan Selatan. “Di sana ada mitos tentang buaya gaib,” ujar Rizka kepada Mojok.
Sebagai daerah yang dikenal sebagai negeri seribu sungai, warga setempat percaya bahwa leluhur mereka moksa dan menjelma sebagai buaya. Dulu, sungai menjadi sarana transportasi hingga berkembang sebagai pusat kebudayaan.
“Buaya gaib ini menjadi penjaga sungai. Kami memanggilnya datuk,” kata perempuan berusia 26 tahun yang baru lulus dari studi seni rupa pascasarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ini.
Namun dalam perkembangannya, menurut Rizka, budaya sungai mulai ditinggalkan. Legenda manusia buaya sebagai penjaga sungai pun berganti menjadi cerita petaka saat anak-anak dikabarkan hilang di sungai.
Kenangan itu masih membekas di ingatan Rizka. Karena itu, sejak menggeluti seni, Rizka berniat mengangkat mitologi itu dalam karya seni. Selama satu tahun, ia melakukan riset untuk karya yang direncanakan sebagai karya berseri ini.
Sebagai media, Rizka menggunakan dan mengolah benda-benda bekas yang dekat dengan sejarah dan budayanya. Contohnya kelambu milik neneknya dan kain yang digunakan untuk menandai sebuah makam keramat tak jauh dari rumahnya. “Sudah izin ke tetua dan dibolehkan, lalu kain dikirim dari Banjar,” paparnya.
Teknik pewarnaan kain menggunakan besi berkarat alias rust dyeing juga bukannya tanpa alasan. Teknik itu dipilih untuk melambangkan cerita-cerita sakral dari budaya kita yang telah dilupakan. Secara keseluruhan, karya ini juga memberi pesan tentang harmoni manusia dan alam.
“Sekarang masyarakat kurang peduli lagi pada budayanya, termasuk budaya sungai di kampung saya. Padahal interaksi manusia dengan alam, bahkan dengan alam gaib, semestinya berkesinambungan,” tuturnya.
Magical Crocodile adalah karya instalasi keempatnya dan hasil menekuni rust dyeing selama dua tahun. Sebelumnya ia getol menghasilkan karya-karya lukisan, terutama dengan gaya abstrak. Bulan lalu, lukisannya turut serta di pameran Miracle Art di Jogja Gallery.
Menurut Rizka, ia tak menyangka menang di penghargaan seniman muda ini. “Masuk Artjog saja sudah senang,” kata Rizka.
Apalagi, tahun lalu, boneka ‘siluman buaya’ itu ditolak di ajang Asana Bina Seni, bagian dari Biennale Jogja, karena dinilai belum matang. “Sketsanya kurang dapat dipahami. Jadi itu yang aku kuati termasuk mengkonstruksikan imajinasiku untuk di Artjog ini,”.
Rizka pun belum menaruh perhatian khusus pada aspek komersial dari keterlibatannya di Artjog. Secara tersipu, ia mengungkap Magical Crocodile-nya belum menarik atensi kolektor—setidaknya sehari setelah ia maju menerima Young Artist Award. “Tapi Artjog ini pasti membuat aku lebih dikenal,” kata dia.
Cahaya hantu di panggung
Timoteus Anggawan Kusno pun senada. Ia menyatakan Artjog 2022 bisa membuat karyanya, Ghost Light, dinikmati khalayak luas.
“Ghost Light sebenarnya tidak dibuat untuk Artjog,” kata Angga seraya tergelak saat dihubungi Mojok, Jumat (8/7/2022) jelang tengah malam—setelah seharian sibuk di pembukaan pameran ‘Analogous’ bersama seniman Jompet Kuswidananto di Omah Budoyo Gallery Yogyakarta.
Maklum saja, tahun lalu, Ghost Light bisa dibilang gagal dipamerkan. Saat itu, Angga menyiapkan sejumlah karya instalasi untuk pameran tunggal di Galeri Cemeti Yogyakarta yang rencananya digelar 16 Juni – 24 Juli 2021.
Pameran tunggal dan karya-karya instalasi itu juga diberi judul Ghost Light. Di eksibisi ini, Angga mengolah pagar yang ambruk, monumen, lentera, dan patung-patung gagak untuk menyinggung isu represi dan pembatasan yang mencuat di masa pandemi.
Karya itu pun mengalami nasib seperti isu yang diangkat. Mengingat Covid-19 lagi ganas-ganasnya saat itu, jumlah hadirin di pembukaan pameran dibatasi. Sehari setelah itu, pemerintah memutuskan PPKM diperketat sehingga pameran itu tak berumur panjang. “Yang datang di pembukaan pun cuma 15-20 orang,” kata Angga.
Nah, sejumlah instalasi di pameran itu diboyong dalam karya video Ghost Light di Artjog ini. Menurut Angga, karya ini dibuat saat pandemi memuncak dan seni pertunjukan berhenti total. Tajuk itu diambil dari properti lampu di seni pertunjukan, yakni cahaya redup yang dinyalakan saat panggung istirahat seusai pementasan.
“Fungsinya sebenarnya untuk keselamatan kru saat gelap. Tapi ada mitos juga cahaya ini mengusir hantu-hantu panggung. Ini semacam metafora bahwa di tengah ketidakpastian ada upaya untuk selamat dan ada yang diperjuangkan,” tuturnya.
Ghost Light disusun sebagai video art yang menangkap proses kerja suatu pertunjukan. Karya itu digarap seperti layaknya suatu film. Ia menggandeng sejumlah seniman seperti Shohifur Ridho’i sebagai sutradara, juga aktor Ari Dwinanto dan Jamaluddin Latif.
“Ada yang bilang ini karya dokumenter, naratif, bahkan eksperimental. Tapi semua saya kembalikan ke yang nonton,” kata sarjana Ilmu Komunikasi UGM dan master Cultural Studies Universitas Sanata Dharma ini.
Sejak berkesenian pada 2007, Angga tertarik pada isu pelacakan residu kolonialisme dalam kehidupan sehari-hari. Dengan karya yang terentang dari berbagai medium, ia telah menjalani residensi seni di sejumlah negara.
Tahun ini, ia menggelar pameran Luka dan Bisa Kubawa Berlari di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan berlolaborasi dengan perupa Heri Dono di pameran Spectre di Singapura. Hingga tahun depan, agenda pamerannya sudah padat, meliputi agenda di Barcelona dan Beijing.
Toh Angga gembira Ghost Light dapat tampil di Artjog 2022, ajang seni yang menurut dia terjaga keberlanjutanya, apalagi tahun ini merangkul ide inklusivitas. “Karya yang kompleks dan menyenangkan ini sebelumnya enggak ketemu audience dan sekarang dapat kesempatan bertemu publik secara lebih luas,” katanya.
Angga pun tambah senang ketika Ghost Light diapresiasi hingga meraih Young Artist Award. “Ini membuatku serasa awet muda,” ujarnya.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi