Pengalaman Mereka yang Ikut Ospek Tahun 1971, 1995, 1997, dan 2014

Senior bajingan kabeh!

Pengalaman Mereka yang Ikut Ospek Tahun 1971, 1995, 1997, dan 2014 MOJOK.CO

Ilustrai Pengalaman Mereka yang Ikut Ospek Tahun 1971, 1995, 1997, dan 2014. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Dulu, penerimaan mahasiswa baru atau ospek sering menjadi kesempatan balas dendam senior kepada yunior. Lewat aktivitas plonco, kakak tingkat mengerjai adik angkatan.

Mojok berbincang dengan beberapa orang yang mengalami ospek dari beragam tahun. Mereka berasal dari IKIP Yogyakarta (UNY), UGM, dan ISI Yogyakarta.

***

“Tidak ada yang bisa saya ingat selain perploncoan,” jawab Muhidin M. Dahlan, eks mahasiswa Fakultas Teknik IKIP Yogyakarta angkatan 1997, ketika ditanya soal kegiatan ospeknya dulu. Ospek adalah sebutan generik untuk kegiatan penyambutan mahasiswa baru yang merupakan akronim dari ‘Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus’.

Gus Muh, panggilan akrabnya, tidak sendirian. Banyak lulusan kampus dari masa ke masa yang mengingat ospek–dengan ragam namanya–lewat satu kata kunci: plonco. 

Perploncoan tahun 1971 dan 1995 di UGM

Ada yang menambatkan kata “plonco” ini ke bahasa Jepang, puronko atau ‘botak’. Misalnya, dengan dasar bahwa sejak pendudukan Jepang, pelajar dan mahasiswa baru mesti digunduli.

Kemudian orang memahami plonco sebagai kegiatan yang sifatnya iseng dan menindas oleh senior kepada juniornya. Di Indonesia, fenomena ini berakar tunjang hingga masa Hindia Belanda dan terus berlangsung dengan motif yang beragam.

Awal dekade 1970-an di UGM, kegiatan orientasi mahasiswa baru sebutannya Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram). Isinya bentakan dan kejahilan senior. Ya, plonco itu. “Perploncoan dianggap wajar saat itu. Ingat, saya Mapram ketika ‘geger’ 1966 belum lagi lewat lima tahun. Di kampus mana pun, saat itu begitulah suasananya,” kenang Bustami Rahman, mahasiswa Sosiologi UGM 1971.

Laki-laki yang akrab dengan panggilan Tokcu Bus ini ingat persis, ia dan teman-temannya tidak ada yang protes selama senior melakukan plonco. “Malah suatu kebanggaan berhasil melewati Mapram,” katanya. Namun, ia menegaskan, bukan berarti ia membenarkan perploncoan.

Menurutnya, lewat plonco sebenarnya pesan yang mau senior sampaikan kebanyakan memiliki nilai luhur: untuk berani dan disiplin. Hanya, bungkusannya yang tidak elok, yakni dengan laku iseng dan merendahkan. “Akhirnya, yang tersisa hanyalah senior-senior yang mau junior manutan. Bahkan itu terbawa sampai setelah Mapram,” tukas Tokcu Bus.

Perploncoan terus berlanjut. Di kampus yang sama pada tahun 1995, Hendri disambut dengan bentakan sehari penuh sebagai mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Gigi. Memang, tidak ada kekerasan fisik. Namun, kejahilannya senior bikin ia geleng-geleng.

“Kami diminta membawa 5 bungkus mie. Salah. ‘Siapa suruh bawa isinya juga? Kami cuma minta bungkusnya thok!’” tutur Hendri meniru seniornya, sambil tertawa. Meski tertawa, dia tidak lantas membenarkan. Baginya, perploncoan hanya buang-buang energi dan kesempatan untuk mengenal kampus–sebagaimana tujuan kegiatannya–hilang.

Bendera plonco dikibarkan sebagai tanda perploncoan atau ospek mahasiswa baru yang masuk tahun 1953 di UGM dimulai. (Sumber: Majalah Kagama Oktober 1953)

Mandi lumpur di ISI Yogyakarta

Jauh setelah Reformasi yang dianggap membawa perubahan, perploncoan masih ada. Geser sedikit ke selatan, ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Hingga dekade kedua abad 21, kegiatan orientasi mahasiswa baru di sana masih akrab dengan mandi lumpur dan umpatan senior. Itulah yang Agung Bule rasakan di tahun ketika ia pindah dari Akademi Desain Visual Indonesia Yogyakarta ke ISI Yogyakarta.

“Tapi kok begini ya cara menyambutnya?” batinnya terperangah ketika melihat para calon seniman pada blingsatan mondar-mandir memelototi sebarisan juniornya selama Pekan Persiapan Akademik (PPAK). Tentu, termasuk dirinya. Yang beruntung, “hanya” kena iseng. Yang kurang ceki, kena bentak. Mereka yang apes, dapat sepaket; itulah Agung Bule saat PPAK Fakultas Seni Rupa pada 2014. 

“Saya disuruh memanjat pohon kecil. Padahal badan saya besar. Sengaja, biar jadi lelucon. Lalu saya diminta teriak ‘SENIOR BAJINGAN KABEH!’” tutur Agung.

Prediksinya: teriak atau mingkem, sama saja. Agung Bule memilih teriak dan senior-seniornya, mendengar suara yang asing (bukan kelompok mereka) dan kalimat yang menyebalkan (kalimat tadi). Seketika mengerubungi pohon dengan dahan yang condong karena Agung berada di atasnya. “Turun, atau tak tugeli wit’e [‘kutebang pohonnya’]!” bentak seorang senior.

Itu baru secuil. Belum lagi dipaksa menyantap hidangan antah berantah secara bergilir atau yang lebih brutal: melempar mercon ke saku maba. “Semua itu tidak ada dasarnya. Bahkan, ada senior yang sok-sokan mengecek tato mahasiswi. Padahal, saya yang bertato tidak pernah digeledah. Itu kan kekerasan seksual,” gugatnya.

Ketiadaan kekerasan fisik bukan alasan baginya. “Itu tetap penindasan,” tandas Agung. 

Bukannya balas dendam, malah mengakhiri plonco di ISI

Agung memang tetap cengar-cengir ketika senior memplonconya. Namun, bukan berarti dia setuju. “Apa hubungannya nyemplung ke kolam lumpur penuh kencing dengan kehidupan akademik atau berkesenian?” tanyanya yang langsung dijawab sendiri, “tidak ada sama sekali!”

Maka, ketika dua tahun kemudian dia jadi panitia PPAK, semua hal yang ia benci, ya plonco-plonco tadi, berusaha digerus. Saat itu, Agung menjadi Koordinator Keamanan. “Kawan-kawan memberi posisi itu untuk memberi ‘jatah’ balas dendam bagi saya sebab mereka ingat saya di-gojlok habis-habisan saat masih junior,” terangnya. 

Kawan-kawannya salah sangka. “Kenapa harus balas dendam ke junior yang belum punya salah ke saya?” tanyanya. Tidak sekadar bertanya, saat itu, ia beraksi. Dan aksinya terbilang ‘radikal’: mengakhiri kontrol senior di PPAK, setidaknya di fakultasnya.

Penerimaan mahasiswa baru di ISI Yogyakarta tidak lagi ada perploncoan. (YouTube BEM ISI Yogyakarta)

Itu tahun 2016. Tahun ketika Agung bukan hanya sebagai Koordinator Keamanan PPAK, melainkan juga menduduki jabatan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Seni Rupa. Sudah memang kadung mangkel dengan perploncoan, dosen-dosen pun kebetulan juga berang.

Gendang bersambut suling, jadilah tahun itu dirinya dan Ketua BEM ISI Yogyakarta menginisiasi peralihan sebagian kepengurusan PPAK kepada jajaran dosen. “Senior protes, teman-teman bingung. Saya? Jalan terus,” tegasnya. 

Bermula dari Fakultas Seni Rupa, menjalar ke fakultas lainnya. “Fakultas Seni Pertunjukan yang paling buncit mengakhiri perploncoan ini,” imbuhnya.

Tiga tahun berselang, ia mendapat kabar bahwa PPAK sepenuhnya dosen yang memegang dan mahasiswa sebagai panitia, bukan senior yang bahkan sudah lulus. 

Mengubah plonco di UGM 

Tokcu Bus, yang tidak kalah sebalnya dengan senioritas di kampus berusaha mengubahnya meski tidak seradikal Agung. Tahun 1973, sebelum pada akhirnya dia menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UGM, Tokcu Bus terlebih dahulu memimpin Mapram fakultasnya.

“Dulu, senior begitu berkuasa di Mapram. Kesewenangan itu yang saya kikis. Semua senior adalah peserta Mapram dan oleh karenanya, mesti ikut aturan dari panitia,” tegasnya. Dia tidak ingin ada senior yang curi kesempatan untuk menggoda-goda mahasiswi yang kadang menjurus kepada pelecehan. 

Dia, bersama panitia Mapram, juga memastikan kegiatannya untuk sementara waktu tidak ada kepentingan organisasi mahasiswa eksternal yang mencampuri. “Karena kepentingan tersebut, antar senior atau panitia kerap berkelahi. Sangat tidak elok dipandang para junior,” tuturnya. 

Tradisi baru di UGM

Tokcu Bus dan Agung beruntung bisa mewujudkan ide perubahannya hanya dalam hitungan tahun. Lain cerita dengan Hendri yang mesti menunggu belasan tahun untuk menuntaskan “dendam” masa orientasinya dengan menyepak perpeloncoan dari sana. Tepatnya pada 2012, Hendri ambil bagian dalam sejarah ketika UGM memulai tradisi baru kegiatan orientasi tanpa perpeloncoan sama sekali.

“Ada yang mengajak saya jadi anggota tim pengarah yang isinya dosen dan mahasiswa. Beberapa tahun setelahnya, barulah dibentuk Task Force yang sepenuhnya diisi dosen,” tutur Hendri sambil menekankan bahwa tetap 2012-lah yang menjadi titik nol komitmen UGM terhadap pembebasan mahasiswa baru dari rantai perploncoan senior. 

Sepuluh tahun sejak UGM memainkan kartu bernama “PPSMB Palapa” tersebut, dan tahun ini berganti nama jadi PPSMB Pionir, perploncoan jadi macam alien, asing.

Bahkan “sekadar bentakan” sudah bisa mengerek senior tersebut jadi barang viral. Ingat saja betapa riuhnya media sosial ketika PKKMB Universitas Negeri Surabaya diselipi bentakan senior, padahal kegiatan digelar daring. Memang, bentakan, “MANA GESPERNYA!” mereka jadi anomali di tengah kegiatan orientasi yang full-senyum.

Perploncoan justru terjadi saat mengakhiri penindasan Orde Baru

Gus Muh menyesalkan perploncoan yang terjadi di zamannya. Sangat ironis, pikirnya, perploncoan masih lestari padahal mahasiswa saat itu sedang berusaha mengakhiri penindasan Orde Baru.

“1997 itu setahun sebelum Reformasi sehingga semangat unjuk rasa sedang memuncak meski direpresi habis-habisan. Jadilah panitia dan senior kerap menyelipkan rupa-rupa protes sosial selama ospek seperti pembacaan puisi kritik di atas panggung,” ujarnya.

Setahun setelah itu, pada kegiatan orientasi di kampus-kampus Indonesia, demonstrasi bukan lagi barang haram yang mesti sembunyi-sembunyi mengedarkannya, seperti kisah Gus Muh di Fakultas Teknik IKIP Yogyakarta. Wajar, itu semua terjadi pada Agustus 1998, tiga bulan setelah sang patriarkh Orde Baru lengser keprabon.

Enam ribu mahasiswa baru UGM unjuk rasa keliling kampus sambil menyanyikan “Darah Juang” dan mengangkat poster “Sikat Bob Hasan Si Cowok Matre”. Sementara seribuan mahasiswa Universitas Sultan Agung berdemo di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah dan memekikkan protes harga sembako.

Tangkapan layar dari kliping koran Kedaulatan Rakyat yang menggambarkan mahasiswa baru UGM melakukan demo di masa reformasi. (Istimewa)

Ospek sekarang jadi hal yang ngangeni

Dan bertahun-tahun setelahnya, perploncoan jalan terus. Hendri mengungkap, pergantian nama ospek ke PPSMB di UGM pada 2009 belum mampu menghapus kekerasan di dalamnya. Sebab baru 2012 semuanya berubah.

“Dan semestinya memang begitulah ospek,” tandas Gus Muh ketika memberi tanggapan tentang kegiatan orientasi kiwari. Begitu pula Tokcu Bus yang, setelah menonton dokumentasi PPSMB UGM 2018, bereaksi seperti halnya Gus Muh. Sepertinya “Mapram” sekarang jadi hal yang ngangenin, ya, ketiknya via WhatsApp.

Tidak ada sedetik pun Gus Muh meromantisasi masa-masa ketika senior-senior mengerjainya untuk mencari suatu barang yang mengharuskannya jalan kaki dari kosnya di Gejayan ke Masjid Gedhe Kauman dan baru bisa rebahan pukul satu dini hari.

Dia mengaku tidak pernah ikut mengospek. “Bahkan sejak saya di Sekolah Tinggi Mesin yang mana ospek adalah panggung para jagoan, sangat bergengsi pokoknya,” kata Gus Muh, yang hingga sekarang terus berkomitmen terhadap sikap anti penindasan, apapun bentuknya.

Reporter: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mereka Tidak Menyesal Menulis Nama Pacar di Skripsi Meski Berakhir Putus

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version