Oseng Mercon Bu Narti sudah jadi salah satu ikon kuliner di Jogja. Tetelan daging sapi yang diolah super pedas ini cocok untuk penikmat masakan ‘panas’. Kemringet tapi bikin nagih. Tak heran kini masuk daftar sajian di Istana Presiden Yogyakarta.
***
Sebagai warga selatan Jogja, saban lewat di Jalan Bibis, Padokan, Tirtonirmolo, di barat pabrik gula Madukismo, Bantul, saya selalu penasaran melihat spanduk kecil di pinggir jalan itu. Spanduk hijau kecil di samping gang kecil itu menyebut menu kuliner yang sudah identik dengan Jogja, oseng-oseng mercon.
‘Oseng-oseng Mercon Bu Narti Pelopor Nomor 1 Indonesia’, begitu bunyinya. Lho, bukankah oseng-oseng mercon selama ini terkenal berada di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan? Di sana bertebaran warung-warung masakan yang pedasnya menghajar lidah itu. Termasuk warung oseng mercon Bu Narti yang menyatakan pionir di masakan ini.
Oseng-oseng mercon Bu Narti ini telah begitu populer dan menjadi tujuan para wisatawan saban mencari kuliner khas Jogja ini. Warung dengan warna mencolok hijau di sisi selatan jalan ini buka mulai sore hari. Di kawasan ini juga terdapat sekitar delapan warung oseng-oseng mercon lain yang juga buka di malam hari.
Namun, menjelang sore, Kamis (13/10) lalu, saat warung oseng mercon lain belum buka, saya menemukan satu warung kecil yang menjajakan menu itu. Lokasinya pun tak jauh dari sejarah awal menu oseng mercon bermula yakni di Kampung Purwodiningratan.
Bermula di Purwodiningratan
Warung ini bahkan berdiri persis menempel gapura gang kampung itu. Tempatnya berupa lapak kecil, sekitar 3×2 meter, dengan struktur kekinian dari seng warna kuning. Namanya, Oseng-oseng Mercon Bu Narmi.
Ya, dari namanya saja, kita sudah bisa menduga ada hubungan antara Narti dan Narmi. Narmi, 57 tahun, adalah adik dari Narti yang meninggal sekitar tiga tahun silam.
Di sore yang mendung itu, Bu Narmi sudah tampak kelelahan saat meladeni saya. Satu-dua pembeli juga ditolak lantaran masakannya sudah habis. Maklum saja, Bu Narmi yang kini mukim di Berbah, Sleman, buka warung sejak jam 09.00 WIB.
Hohah! Beberapa suap saja, suasana ngantuk dan klentrak-klentruk saya seketika pupus begitu menyantap seporsi oseng mercon. Potongan kecil daging dan cabai menyatu dalam kentalnya lemak daging yang leleh dengan minyak. Pandangan saya langsung terang benderang diserang pedas yang menjalar dari lidah ke kepala, lalu seluruh badan.
Saya singgung, kenapa tak dibikin seperti menu-menu pedas kekinian yang punya level. Semakin tinggi levelnya, semakin pedas rasanya. “Wah ndak, sini sudah pakem. Kalau kepedesen, kasih kecap. Tapi pedasnya di sini masih kelihatan rasanya. Ndak cuma pedas tok,” tutur Narmi.
Seporsi oseng mercon itu dibanderol Rp15 ribu. Di warung kecil itu, juga tersedia menu lain seperti nasi rames dan soto mercon. “Kalau di sini harganya ndak nguras kantong. Menunya untuk rakyat kecil,” ujar Narmi setengah promosi.
Pembeli warung ini memang tak tampak sebagai wisatawan yang datang dari luar Jogja. Mereka adalah warga sekitar atau langganan dari kampung sebelah. “Sekarang masak tergantung stok dagingnya. Paling sehari 5-7 kilogram,” kata dia.
Narmi masih mempertahankan cara masak tradisional. Oseng mercon dimasak dengan kayu bakar. Untuk resep, kata dia, simpel saja. Dalam setiap satu kilogram daging, ia mengosengnya dengan satu ons cabai. Bagian koyor dan sandung lamur daging menjadi kunci karena membuat oseng jadi basah-basah kental penuh minyak. Ada pula tambahan jahe dan gula jawa.
“Kalau bisa bikin oseng-oseng tempe, berarti bisa bikin oseng-oseng mercon. Siapa saja yang tanya, saya kasih tahu,” kata dia.
Narmi tahu menu itu karena sejak awal ikut memasak oseng-oseng mercon saat membantu jualan sang ibu, Bu Kardi. Nama ini sebenarnya nama sang suami, Sukardi, sementara nama asli perempuan itu adalah Sukarjinah.
Olahan Daging Sisa
Kedua pasangan ini tinggal di kampung Purwodiningratan. Pak Kardi sempat menjadi tukang becak. Mereka harus menghidupi tujuh anak. Narti adalah anak nomor tiga, Narmi anak nomor lima.
Untuk membantu sang suami, sekitar tahun 1960-an, Bu Kardi mulai berjualan. Menunya nasi rames, soto, gulai, dan berbagai jajanan. Lokasi jualannya persis di mulut gang Purwodiningratan dan di bawah pohon waru.
Kala itu, tak jauh dari lesehan Bu Kardi, terdapat warung-warung lain, seperti warung bakso dan tahu takwa. Dalam beberapa kesempatan, warung bakso ini punya bahan-bahan sisa, terutama tetelan dan koyor. “Pegawainya lalu menjual ke ibu saya,” kata Narmi.
Karena bukan daging utama dan bahan sisa, harganya jadi miring. Bu Kardi pun membelinya dan memanfaatkan daging-daging itu untuk memperkaya menu jualannya. Mula-mula ia membuat gulai, tapi lama-lama Bu Kardi ingin membuat variasi.
Daging itu dioseng dengan banyak cabai supaya ada sensasi di lidah. Saking pedasnya, pelanggan menyebutnya rupa-rupa: oseng bledhek, oseng halilintar, hingga oseng mercon yang kemudian terkenal hingga kini. “Gethok tular saja namanya,” kata dia.
Warung itu kemudian dilanjutkan kedua anak Bu Kardi. Narmi berjualan sejak pagi hingga sore, Narti di sore sampai malam hari. Keduanya eksis hingga kini. Namun, oseng-oseng mercon Narmi sempat dikira berhenti berjualan.
Gara-garanya saat Pemkot Jogja melakukan penertiban di sepanjang Jalan KH Ahmad Dahlan bersamaan dengan penataan PKL di Malioboro beberapa waktu lalu. “Tutup 5-6 bulan. Salahnya saya ndak bikin pengumuman. Jadi dikira sudah enggak jualan,” kata dia.
Saat penataan itu, PKL-PKL di Jalan KH Ahmad Dahlan itu harus pindah masuk ke gang-gang kampung dan menempati lapak-lapak baru. Sayangnya, tempat jualan itu terlalu jauh dari jalan raya dan sehingga para pedagang enggan menempati karena khawatir bakal sepi.
Saat Mojok mampir ke sana, hanya warung Bu Narmi yang buka. Itu pun bukan di deretan lapak baru yang disediakan, melainkan persis di gapura gang. “Ini setelah izin ke kelurahan dan diizinkan,” ujarnya.
Panen Pesanan Online
Adapun oseng mercon Bu Narti diteruskan oleh tiga anaknya. Dua putrinya mengelola warung Jl KH Ahmad Dahlan yang selalu ramai itu, sedangkan seorang putranya, Budi Setyawan, bersama sang istri, Riana Wijayanti, mengurus pesanan daring dari Padokan, Bantul, di kampung asal Riana.
Keduanya sama-sama memajang spanduk warna hijau pelopor oseng mercon di Indonesia. Spanduk inilah yang saya lihat tak jauh dari Madukismo, jauh dari sentra oseng mercon yang ngumpul di Kota Jogja.
Di lokasi yang dibuka sejak 1997 ini, pembeli sebenarnya bisa makan di tempat. Terdapat gazebo, meja-meja kayu, dan lukisan yang menyapa pengunjung. Namun pesanan kebanyakan datang secara daring. Malam itu, saat saya mampir, ojek online bergantian datang tak putus-putus mengambil pesanan.
Nana dan suaminya sempat membuka franchise oseng mercon Bu Narti di sejumlah tempat. Namun beberapa usaha itu tidak dapat bertahan. Sebabnya franchise usaha itu dibuka di momen yang tidak tepat. “Pas dibuka, pas awal pandemi,” kata Nana, sapaan Riana.
Namun penjualan terbesar di tempat ini datang dari oseng mercon kaleng dan sekitar 20 menu variannya. Dikemas kaleng, masakan ini bisa tahan hingga satu tahun. Jika satu porsi makan di tempat dan pesanan ojol dibanderol sekitar Rp25 ribu, kemasan kaleng dijual Rp55 ribu – Rp65 ribu.
“Rata-rata terjual 5000 kaleng sebulan. Kalau lagi ramai-ramainya bisa 7000 kaleng. Alhamdulillah kalau ini pandemi enggak ngefek,” tutur Nana.
Untuk produksi ini, Nana harus menyiapkan hampir 300 kg tiap minggu untuk dagingnya, termasuk tetelan dan koyor, dari Boyolali. Adapun cabainya harus cabai rawit merah dari Muntilan. Nana menyebut olahan antara daging dan cabai adalah 1:1.
Masuk Istana Negara
Suatu kali, Nana mendapat pesanan oseng mercon dari tetangganya. Nana mengira itu hanya pesanan biasa. Namun, selang beberapa hari, sang tetangga mengirim ucapan selamat. “Selamat apa? ’Sudah masuk’, katanya,” ujar Nana.
Nana pun kaget saat diberitahu bahwa menu oseng mercon olahannya masuk ke Gedung Agung, Istana Presiden RI di Yogyakarta. Tetangga Nana itu memang bekerja di Gedung Agung. Tapi, tatkala memesan itu, ia tak memberi tahu bahwa oseng mercon Bu Narti diikutkan seleksi masakan Istana.
“Jadi sudah dites segala macam, dari rasa sampai keamanannya seperti kandungan pestisidanya,” papar Nana.
Sejak itu, selama sekitar dua tahun ini, oseng mercon Bu Narti jadi langganan pesanan Istana Gedung Agung, terutama ketika Presiden Joko Widodo bertandang ke Jogja. Seperti saat Jokowi merayakan Idulfitri atau kala takziah mendiang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.
Menu itu menjadi keluarga Jokowi, tamu, dan petugas istana. “Mas Gibran (putra sulung Jokowi) juga pernah pesan untuk oleh-oleh ke Solo,” kata Nana.
Jumlah pesanan berkisar 20 porsi dan datang biasanya H-3. Untuk menguatkan ceritanya, Nana menunjukkan foto saat kotak-kota berisi oseng mercon dibawa masuk ke Gedung Agung dan saat dihidangkan di piring berlogo Istana Negara.
Untuk pesanan dari Istana ini, Nana tak menaikkan harga menunya, tetap di Rp25 ribu per porsi. Malah secara tak sengaja nota pembelian dan daftar harga itu pernah katut di tas kresek pesanan yang diterima Ibu Negara Iriana Jokowi. “Saya khawatir kalau dilihat nanti jangan-jangan harganya beda,” kata Nana seraya tertawa.
Terakhir, saat Jokowi datang ke Jogja, Sabtu-Minggu 15-16 Oktober lalu, oseng mercon Bu Narti juga dipesan. Jokowi menyambangi Malioboro pada Sabtu malam, kemudian pada hari Minggunya ke Hotel Royal Ambarrukmo. Selain menemui teman-teman kuliahnya untuk meluruskan isu soal ijazah, Jokowi juga disebut-sebut mengecek lokasi pernikahan putra bungsunya, Kaesang Pangarep dan Erina Gundono.
“Pokoknya setiap Pak Jokowi ke Jogja ada pesanan. Kalau terkait acaranya Mas Kaesang itu rahasia,” kata Nana seraya tertawa.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi