Perdebatan Sarjana vs SMA di Dunia Kerja Harus Disudahi, Nyatanya Sarjana Memang Lebih Unggul dan Lebih Untung

Benarkah bahwa kuliah tidak penting? Benarkah sarjana itu tak menjamin kesuksesan dan tak ada gunanya di dunia kerja? Perdebatan ini tak akan usai jika hanya melihat output yang jelas dipengaruhi banyak faktor. Padahal, bisa jadi masalahnya bukan itu, tapi pada hal lainnya.

***

Konten “kuliah hanyalah pengangguran dengan gaya” bertebaran di FYP TikTok sudah sekitar seminggu ini. Konten ini muncul sebagai respons dari ucapan salah satu influencer crypto yang viral beberapa waktu lalu. Tak pelak, perdebatan tentang perlunya kuliah jadi topik paling panas di TikTok, serta merembet ke media sosial lain.

Terlepas dari perdebatan pentingnya kuliah, jumlah sarjana di Indonesia memang memprihatinkan. Data dari Katadata per Juni 2022 menyebutkan, hanya 4,39 persen penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan S1. Artinya, hanya sekitar 12 juta lebih penduduk Indonesia yang kuliah S1 dari 275 juta penduduk Indonesia. Angka tersebut terlihat amat kerdil jika dibanding lulusan SMA (57 juta) dan SMP (40 juta). Angka tamat SD, belum tamat SD, dan tidak bersekolah jauh lebih banyak.

Data tersebut jelas memprihatinkan jika kita bandingkan dengan Australia, 49,4 persen rakyatnya mengenyam pendidikan tinggi. Perdebatan ini jadi terlihat tidak perlu mengingat bahwa jumlah pengenyam pendidikan tinggi di Indonesia masih kelewat rendah.

Hanya saja, perdebatan ini tetap perlu diakhiri dengan menjawab pertanyaan ini: benarkah sarjana itu tak sehebat itu dalam dunia kerja?

Sarjana tidak berguna di dunia kerja, pandangan yang keliru

Dilansir dari Katadata, lulusan universitas menyumbang sekitar 10,32 total pekerja nasional, alias 14,44 juta orang dari 139,85 juta penduduk bekerja di Indonesia. Meski tingkat sarjana pengangguran masih tinggi, tapi angka tersebut tak bisa dibilang sebagai hal yang buruk-buruk amat, mengingat jumlah sarjana yang menganggur adalah 13,33 persen dari total sarjana pada 2022. Memang tinggi, tapi tingkat pengenyam pendidikan tinggi memang tidak sebesar itu, jadi terasa besar.

Juga, pandangan bahwa kuliah tidak penting, terlebih dalam urusan pekerjaan itu juga tidak bijak. Menurut Seto Wicaksono, HRD di salah satu perusahaan di Ibu Kota, tidak bisa dimungkiri bahwa lulusan universitas begitu dibutuhkan di dunia kerja.

“Kenapa ada yang bilang seperti itu (khususnya di dunia kerja, ya), karena hanya melihat output aja. Bisa bekerja, dapat penghasilan. Lebih jauh lagi, mereka bisa aja bekerja secara mandiri entah mengembangkan sesuatu, berwirausaha, dan semacamnya. Kalau muaranya mau yang penting bisa kerja, sah-sah aja. Tapi, buat seseorang yang memutuskan kuliah, jadi sarjana, punya gelar, dan sebangsanya, mereka memikirkan proses dan jenjang karir di dunia kerja.”

“Karena, di banyak perusahaan, sampai dengan saat ini masih mecantumkan hal tersebut untuk jenjang karir. Diperlukan gelar sarjana atau pendidikan khusus. Agar bisa secara spesifik menguasai bidang yang dimaksud/menjadi specialist.””

Tidak apa-apa memutuskan untuk tidak kuliah

Menurut Seto, tetap saja, predikat lulusan SMA tidak bisa dikatakan akhir dunia. Sebab, kemampuan bisa meningkat seiring waktu, tak hanya milik sarjana.

“Yang SMA pun, selama punya kemampuan yang dibutuhkan oleh perusahaan, sering kali dipercaya untuk menempati posisi tertentu. Sepengalamanku, secara teori, kualifikasi tersebut bisa diadaptasi.”

Jika seseorang memutuskan untuk tidak kuliah, tak menjadi sarjana, dan langsung terjun di dunia kerja, Seto pun tak masalah dengan itu. Ya karena memang tidak ada masalah. Tapi, ada catatan yang menyertai.

“Kalau contoh kasusnya seperti itu, menurutku sah-sah aja, Mas. Tapi, nanti ketika bekerja, jangan heran jika dari sisi perusahaan, nantinya lebih mempercayakan untuk memberikan suatu posisi, jabatan, wewenang, atau tanggung jawab kepada mereka yang pada akhirnya memilih kuliah (berkaitan tentang promosi jabatan/jenjang karir). Pastinya bukan tanpa alasan. Karena saat menjalani proses kuliah, mahasiswa (dan sarjana) akan melalui proses tanggung jawab, soft skill dan hard skill yang lebih terasah/matang, proses berpikir yang lebih ‘jadi’ melalui porsi diskusi, organisasi, atau tugas akhir.”

“Terkesan sepele memang, tapi, pada akhirnya akan jadi pembeda di dunia kerja, Mas.”

Baca halaman selanjutnya

Lapangan kerja amat sedikit

Yang bermasalah adalah lapangan kerjanya, bukan sarjana

Pendapat Seto di atas memang menunjukkan bahwa lulusan universitas punya advantage yang jelas dalam dunia kerja. Tapi, perlu dipahami juga bahwa itu berlaku jika kebutuhan perusahaan cocok dengan kualifikasi sarjana. Selain itu, ada satu hal yang luput diperhatikan, bahwa jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah sarjana yang mentas dari kampus.

Jumlah lapangan kerja selalu tidak sebanyak mahasiswa yang mentas. Hal tersebut bikin banyak sarjana yang nestapa karena berakhir gagal meraih pekerjaan. Terlebih, jumlah wirausahawan di Indonesia terbilang sedikit. Artinya, banyak yang tidak beralih menjadi wirausaha ketika mereka tak terserap di dunia kerja.

Hal senada juga diungkapkan Nafis, lulusan MM UGM angkatan 2021. Dia berkata bahwa rasio lulusan dan lapangan kerja benar-benar tidak seimbang.

“Sekarang bayangkan guru. Lulusan jurusan pendidikan itu ratusan ribu, 800-900 ribu per tahun, tapi lowongan kerja cuma 100 ribuan. Itu jelas gila. Gimana nggak nganggur?”

Yang S1 dianggap kurang, yang S2 dianggap kelewat jago

“Tapi ada hal yang mengerikan lainnya, selain jumlah loker, yaitu kualitas sarjananya. Masalah sekarang itu, lulusan S1 dianggap underqualified, tapi S2 kayak aku, dianggap overqualified. Hayo pie kui?”

“Pun ya tak bisa dimungkiri lagi, bahwa banyak banget kampus yang tidak siap dengan cepatnya perkembangan industri. Tidak semua kampus seperti itu memang. UI, ITB, UGM, bisa mengikuti zaman. Selain itu, aku ragu.”

Sebagai penutup, saya iseng bertanya ke Nafis, apakah dia setuju kalau kuliah dan jadi sarjana itu percuma di dunia kerja.

“Jelas tidak setuju. Faktanya berbicara lain. Masalah memang banyak, tapi dihakimi tidak bisa kerja dan percuma, ya nggak bisa.”

***

Perdebatan ini sebenarnya bisa diakhiri, bahwa bagaimanapun juga, kuliah tetap penting. Ada fungsinya, ada gunanya di dunia kerja. Dan sebenarnya, ketimbang fokus ke perdebatan ini, ada hal yang jauh lebih penting untuk diramaikan dan dibicarakan, saya pun menyinggungnya dalam tulisan ini. Yaitu, mau kamu berpendidikan atau tidak, kita semua sama-sama menghadapi masalah yang sama: lapangan kerja yang kelewat sedikit.

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Suara Hati Sarjana Kerja di Jakarta Dapat Gaji Setengah UMR, Sering Dibanding-bandingkan dengan Adik Lulusan SMA di Kampung yang Penghasilannya Lebih Besar

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version