“Jare nek ra ninja, ra oleh dicinta.”—NDX
Sekitar seminggu yang lalu saya pusing bukan main ketika Mojok meminta saya mengunjungi NDX A.K.A Familia, dynamic duo simbol Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul yang sukses membius 20 ribu orang di Jepara hanya dengan playback music dan dua wireless microphone itu.
Musababnya, baru April kemarin NDX terbang ke Jakarta untuk tapping Kick Andy. Meskipun pembahasan yang dibicarakan di acara tersebut cenderung basic, tetap saja saya harus memutar otak untuk menemukan konten yang tidak kalah menarik. Belum lagi wawancara-wawancara yang sudah mereka lakukan dengan media-media lain.
Setelah hampir putus asa membuat janji bertemu NDX yang progress-nya tidak begitu bagus, Senin siang, 14 Agustus kemarin, saya iseng menelepon narahubung NDX dengan ekspektasi rendah. Palingan tidak diangkat lagi.
Nasib saya ternyata lagi mujur. Seorang pria mengangkat telepon dan saya tanpa babibu langsung bertanya, kapan saya bisa bertandang.
“Sekarang aja, Mas,” kata pria di ujung telepon.
“Sekarang banget nih, Mas? Hehe.” Saya tambahkan “hehe” biar nggak kasar. Ini ajaran teman.
“Iya, Mas.”
Lima menit kemudian saya sudah berada di perjalanan menuju Imogiri sembari menggumamkan rumus wawancara yang diminta Mojok, “Serius, bercanda, serius, bercanda.”
Saya diundang bertamu ke toko resmi sekaligus tempat kumpul NDX di dekat jembatan Siluk, Kecamatan Imogiri. Dari informasi yang saya terima, segala kegiatan NDX berpusat di toko ini selama 1,5 tahun belakangan.
Begitu sampai, toko segala macam merchandise NDX ini terasa sangat nyaman. Barang dagangan berjajar rapi di ruangan 3 x 8 meter berwarna putih dengan artwork hitam yang bisa dipertanggungjawabkan di Instagram. Desain yang melekat di tiap-tiap unit kaos, snapback, kaos raglan, dan jaketnya pun cenderung simpel dan elegan. Terlihat pangsa pasar merch NDX tidak hanya untuk fans loyal yang umumnya dari kelas menengah ke bawah, tapi juga untuk maniak distro Jalan Cenderawasih, jalan di Yogya yang menjadi pusat distro. Ekspektasi awal saya tidak sampai begini karena saya beberapa kali melihat oknum memakai kaos NDX tidak resmi dengan desain yang menyulut emosi.
Saat saya sampai di lokasi, Nanda dan Fajar, dua personil NDX, pamit sebentar untuk wawancara dengan salah satu stasiun televisi nasional. Sembari menunggu, saya ditemani Bu Darmi, pemilik bangunan yang dijadikan toko NDX itu sekaligus nenek Nanda yang mengurusnya sejak usia 3 tahun. Dari obrolan santai tersebut, saya jadi tahu Nanda sudah memiliki satu rumah, satu unit Honda Civic, satu unit Toyota Rush, dan pernah membelikan rumah untuk ibunya di Jakarta. Semua dilakukan di umurnya yang baru 22 tahun sebagai lulusan SMK jurusan teknik mesin yang hobi menulis lagu hip hop dangdut.
Sekitar 45 menit kemudian Nanda dan Fajar kembali dengan Honda Civic merah yang halus banget finishing-nya. Mereka mempersilakan saya masuk ke toko untuk memulai perbincangan sembari menegur penjaga toko yang merokok di dalam toko. “Wes tak kandani bola-bali lho!” (Sudah aku bilangin bolak-balik lo!)
***
“Ketika situasi tanpa musik dan semua orang menyanyikan lagu kami, kami selalu ingin menangis.” Nanda memulai sesi sore itu dengan menjawab pertanyaan tentang bagaimana rasanya tampil di depan 20 ribu orang yang mengumandangkan setiap lirik lagu NDX.
Nanda yang saya kira ekspresif dan cerewet ternyata pendiam dan halus. Jarang kami bertatap mata. Nanda lebih sering melihat ke bawah. Sebagai pendiri, pencipta lagu, dan nyawa dari NDX, dia kurang ngartis.
“Ini udah beberapa bulan kami nggak upload karena ada alasan yang membuat kami agak jengkel.”
Selama ini Nanda selalu mengunggah lagu-lagu NDX melalui kanal Reverbnation yang bisa diunduh secara gratis oleh penggemarnya.
“Mereka (orang yang tidak bertanggung jawab) kan download lagu kami di Reverbnation secara gratis, lalu mereka masukkan lagu kami ke Spotify, JOOX ….”
“Loh itu bukan kalian to?”
“Bukan. Ono wong liyo (ada orang lain),” sambung Fajar.
“Bahkan ada aplikasi NDX di PlayStore, Mas. Isinya full MP3.”
“Smule juga ada.”
Fajar dan Nanda bersahut-sahutan soal kezaliman yang menimpa mereka.
Meskipun vakum mengunggah lagu-lagu baru di Reverbnation, NDX tetap mengunggah beberapa materi di akun YouTube mereka demi penggemar, namun tidak dalam full version.
Saya beranjak ke sejarah NDX. Kapan mereka terbentuk?
“11 September 2011. Waktu saya masih kelas 3 SMP.”
Saat itu belum ada Fajar, pun belum ada kru lainnya, hanya Nanda dan software FL Studio di komputernya.
“ND” merupakan kependekan dari “Nanda” dan “X” diambil dari kata “extreme”. Nanda ingin NDX ekstrem berbeda dari band lain. Nanda juga yang menciptakan hampir semua lagu NDX. Dia adalah Ahmad Dhani-nya Dewa 19 atau Erik Kristianto-nya Endank Soekamti.
Sebelum Fajar bergabung, Nanda pernah menciptakan satu lagu murni hip hop dengan judul “What’s Up?” yang liriknya total berbahasa Inggris. Tapi, ia merasa musiknya kurang enak didengar dan memutuskan mencampurkan dangdut serta pengaruh Didi Kempot di lagu selanjutnya.
“Kemudian saya merasa sepi. Baru saya ajak Fajar tiga bulan kemudian.”
Nanda mengajak Fajar dan kemudian “mengajari” saudara jauhnya itu soal musik dari nol. Khususnya soal bernyanyi dan nge-rap.
Di masa awal NDX, Fajar dan Nanda bekerja sebagai kuli bangunan di siang hari dan tukang parkir warnet di daerah Lempuyangan pada malam hari. Uang bekerja dua sif itu disisihkan untuk rekaman di hari Sabtu dan Minggu.
Mulanya Nanda tak punya mimpi untuk terkenal. “Kan (NDX) cuma buat mengungkapkan isi hati to, Mas, biar lega,” katanya.
“Dulu saya sempat tunangan,” ia berkata lagi, “kemudian tunangan saya menikah dengan orang lain. Saat itulah saya tulis lagu ‘Ditinggal Rabi’.”
Suasana jadi hening. Saya salah tingkah.
Untungnya ia melanjutkan, “Kemudian saya ikhlaskan, tapi saya punya satu permintaan terakhir ke mantan saya untuk mengisi vokal di lagu saya yang judulnya ‘Kelingan Mantan’.”
Tidak melihat celah bercanda, obrolan saya alihkan kepada hasil perjuangan dari rekam-merekam lagu yang kemudian mulai tersebar dan didengarkan orang banyak, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah lagu mereka tersebar, undangan mengisi acara sebagai penghibur di wilayah-wilayah tersebut tentu berdatangan.
Mereka mengiyakan.
“Pernah main di Blitar, naik kereta lalu ngojek sendiri.”
“Pernah main di Tulungagung, menginap di masjid, Mas.”
“Kemudian main di Kediri, tidur di emperan toko.”
Duh, malah makin sedih, batin saya. Rumus wawancara “serius-bercanda” yang dipesankan Mojok resmi gagal.
“Dulu 2016 sempat ikut manajemen juga dan label juga, ya katakanlah label Jakarta. Tapi, ternyata kami nggak cocok, jadi semuanya saya sendiri aja yang ngatur. Semuanya kami jadiin pengalaman. Yang penting saya sudah paham sedikit-sedikit tentang manajerial. Kami orangnya tidak suka diatur-atur …,” kata Nanda.
“Kelihatan kok, Mas. Hehe,” sambar saya sambil senyam-senyum. Saya tambahkan “hehe” lagi biar tidak kasar.
Nanda dan Fajar ikut tertawa. Saya lega.
***
Setelah berhasil membuat mereka tertawa, saya sekarang menanyakan hal yang lebih serius. Soal sengketa mereka dengan Via Vallen di persidangan terkait klaim kepemilikan lagu “Sayang”.
Lagu inilah yang melambungkan nama NDX. Tadinya merupakan gubahan duo Kiroro dari Jepang berjudul “Mirai E” yang menjadi original soundtrack dari game Final Fantasy.
Menurut cerita Nanda, Anton Obama kemudian menggubah lagu itu ke dalam bahasa Jawa. Pada 2013, Nanda mengambil bagian refrain dan bridge dari versi Jawa Anton Obama dan menambah tiga bagian rap di sela-sela refrain. “Sayang” yang sudah dilengkapi bagian rap inilah yang kemudian, menurut penuturan Nanda, diklaim Via Vallen.
Via memenangi sengketa di pengadilan tersebut.
“Ya ibaratnya, Mas, kami ikan teri, mereka ikan hiu,” ujar Nanda.
Bagaimana dengan merchandise NDX yang banyak dibajak pedagang di Malioboro?
“Nggak apa-apa, Mas. Kan memang banyak juga brand lain seperti Endank Soekamti dan Dagadu yang dijual pedagang-pedagang itu. Saya seneng itu karena (selain membantu rezeki orang) juga membantu promosi gratis.”
“Berarti brand NDX sudah selevel dengan Dagadu ya?” Ya, selevel Dagadu. Itu sudah hebat sekali. Tidak ada yang bisa menandingi Dagadu di Yogya, seperti tidak ada yang bisa menandingi Bakpia 25 atau Malioboro.
Fajar dan Nanda cuma senyam-senyum, lalu melantur ke kisah lain.
“Pernah, Mas, suatu kali kami manggung dan penonton mulai rusuh, saling lempar karena senggolan saat joget. Akhirnya polisi menggunakan gas air mata untuk meredakan kerusuhan. Tapi, gasnya akhirnya kena kita juga,” cerita Fajar.
“Terus gasnya kena polisi juga,” sambung Nanda.
Hmm.
NDX kini tengah menyiapkan rencana untuk mengubah lagu-lagunya menjadi sebuah film mini yang akan ditayangkan di YouTube. Selain itu, kolaborasi NDX pada lagu “Ambilkan Gelas” milik Shaggydog sudah berada dalam tahap mixing-mastering. Tawaran dari Korea dan Jepang juga datang karena banyaknya Familia/Ladyfam di negara tersebut.
Menyadari karya dan sepak terjangnya sudah dipandang oleh Shaggydog dan Endank Soekamti (saya tahu setelah menonton Kick Andy), saya heran mengapa NDX tidak meminta bantuan Doggy House Record ataupun Euforia Digital untuk melacak pembajak lagu-lagu mereka di Spotify dan JOOX sekaligus membuat sebuah akun resmi NDX di dua kanal tersebut.
“Ndak, Mas, rikuh (segan).”
Lah dalah. Jawa banget, batin saya. Semoga Mas Erik, Mas Heru, atau orang yang dekat dengan Shaggydog membaca tulisan ini.
Saya tertarik untuk mengerti bagaimana metode pembuatan lagu-lagu NDX.
“Kembali ke masa lalu aja,” Nanda menjawab mantap. Di saat semua orang berusaha lepas dari bayang-bayang masa lalu, pemuda ini justru melakukan sebaliknya. Oke, tapi kenapa?
“Susah jelasinnya. Jadi biasanya, pukul 5 pagi itu cuma diem merem aja di depan komputer, lalu (pikiran saya) kembali ke masa lalu aja.”
“Kimcil Kepolen” adalah cerita masa lalu Nanda yang gagal mendapatkan pacar akibat kalah saing dengan pemuda lain yang punya motor Ninja. Di lingkungannya, sebut Nanda, “adu motor” adalah jalan takdir untuk mendapatkan pasangan. Semakin keren motornya, semakin mudah mendapatkan pasangan.
Setelah lagu itu, muncul “Anti Kimcil Kimcil Club” sebagai sekuelnya, bercerita tentang “adu motor” yang kini berubah menjadi “adu mobil”.
Sebelum pamitan pulang, saya minta pesan dan kesan ala buku tahunan anak SMA dari NDX untuk semua pembaca Mojok. Pesan mereka? Masalah hati janganlah ditangisi, tapi dijogeti.
Mashook!