Mlangi, dari Tanah Perdikan hingga Kampung Santri

Seorang anak lahir di pesantren yang berada di wilayah Gedangan, Jawa Timur. Ia diberi nama Sandiyo Nur Iman. Kelak ia menjadi penyebar agama Islam keturunan Raja Mataram Islam yang mendirikan Masjid Pathok Negara di Mlangi, Yogyakarta.

***

Nama Sandiyo Nur Iman adalah nama permintaan ayahandanya. Sang ayah merupakan raja besar di Mataram Islam dengan gelar Amangkurat IV. Menginjak dewasa anaknya menjadi penyebar agama Islam sebagaimana harapannya dulu.

Pengembaraan Sandiyo Nur Iman dimulai ketika ia memutuskan menjadi penyebar agama Islam. Berbagai tempat ia kunjungi. Hingga akhirnya sebuah bisikan gaib datang dan memerintahkannya mencari sebuah tanah berbau wangi. Di saat bersamaan, saudara tirinya naik takhta menjadi raja pertama di Yogyakarta dan berniat mencari dirinya. Sebab, sang raja merasa Sandiyo lah yang cocok duduk di kursi takhta.

Utusan kerajaan kemudian datang menemui Sandiyo Nur Iman. Sosok bergelar BPH (Bendoro Pangeran Hangabehi) tersebut bergeming. Ia tetap berada di jalannya sendiri sebagai penyebar agama Islam.

Sang pencerita kisah ini adalah keturunan sosok bernama Sandiyo Nur Iman atau Kyai Nur Iman. Sayid Ahmad (43) namanya. Orang-orang di sekitarnya sering memanggil dengan dua sebutan: Habib Ahmad atau Ndoro Ahmad.

Kisah sang anak raja

Menemukan pemandangan gadis-gadis berkerudung dan anak laki-laki berpeci adalah sesuatu yang mudah ditemukan di perkampungan tepi ringroad barat Yogyakarta. Jika malam tiba, seringkali terdengar suara orang sedang tadarus dan melantunkan shalawat.

Kampung itu bernama Mlangi. Terletak di Kalurahan Nogotirto, Kapanewon Gamping, Sleman. Di salah satu sudut kampung, terdapat sebuah masjid kuno dari abad ke-18, Masjid Jami Pathok Negara Mlangi. Ini adalah salah satu dari 4 masjid Pathok Negara milik Kasultanan Yogyakarta dan menjadi pathok negara sisi barat. Letaknya berada di bawah jalan alias ledokan kalau kata orang Jawa.

Serambi masjid ini tampak bergaya limasan dengan dominasi warna coklat dengan ornamen kayu. Untuk menuju ke area dalam, ada 3 pintu kayu di tengah, kiri, dan kanan. Bagian depan dan samping dikelilingi kolam sehingga jamaah harus melewati genangan air setinggi mata kaki. Dari atas, akan tampak jika masjid ini dikelilingi 2 komplek makam dan di sampingnya ada sebuah bangunan kayu dengan atap seng.

Tampak depan masjid Jami Pathok Negara Mlangi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Di bagian belakang, ada sebuah komplek makam dengan pendopo kayu di bagian tengah. Jika ingin masuk ke sana, peziarah harus melewati sebuah gapura kecil. Di tengah pendopo itu, terdapat sebuah ruangan tertutup gebyok kayu dengan ukiran di sekelilingnya. Itulah makam sang pendiri masjid, Kyai Nur Iman.

Berbagai sumber mengatakan bahwa masjid ini dibangun sekitar tahun 1755 Masehi. Hampir bersamaan dengan perjanjian Giyanti. Sosok penting di balik pembangunan masjid ini adalah BPH Sandiyo Nur Iman, anak dari Amangkurat IV sekaligus saudara beda ibu Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwono I. Dari garis keturunan ibu, ia mewarisi darah Untung Suropati. Beberapa versi menuliskannya namanya sebagai Sandeyo.

Semua bermula kala Sandiyo diminta kembali ke keraton dan menjadi raja. Namun, ia menolak. Belakangan, ia hanya diminta untuk mendoakan saudaranya dengan duduk di kursi kebesaran. “Konon Mbah Nur Iman hanya duduk selama 3 detik di singgasana,” terang Sayid. “Beliau keturunan pesantren, bahkan sejak di kandungan sudah di pesantren,” lanjutnya.

Keberadaan masjid pathok negara adalah permintaan dari Sandiyo tatkala ia diberi tanah perdikan di Mlangi. “Sebelum di sini, Simbah Kyai Nur Iman sempat tinggal di Kulonprogo dan Seyegan. Beliau memutuskan tinggal di sini dan mengajar, mulang(mengajar) di tanah yang wangi, jadilah kata mulangi, lalu jadi Mlangi,” kata Sayid menjelaskan asal mula nama daerah ini.

Berawal dari jabatan

Masyarakat boleh saja menyebut masjid kuno di 4 sudut Yogyakarta sebagai masjid Pathok Negara. Namun, Kepala Program studi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga, Riswinarno (52), mengatakan jika penyebutan ini adalah sesuatu yang sebenarnya salah. “Pathok negara itu mulanya bukanlah nama masjid melainkan nama jabatan,” terangnya.

Orang yang punya jabatan ini, mempunyai tugas untuk membantu penghulu utama di Masjid Kauman lalu diletakkan di 4 penjuru kerajaan. Untuk melengkapi fungsi ini, si pejabat pathok negara juga diberi tanah perdikan masing-masing. Hal ini bisa diketahui dari cara penyebutan para abdi dalem masjid dengan penggunaan istilah ‘pathok negara pertama’.

Merunut akar keberadaan masjid pathok negara, Riswinarno mengatakan ini sebagai sebuah inovasi di masa awal berdirinya Keraton Yogyakarta. Keberadaan masjid ini tidak ada di keraton lain bahkan di Keraton Surakarta sekalipun.

Sementara itu, Keberadaan masjid Pathok Negara di Mlangi dan Kyai Nur Iman tidak bisa dilepaskan dengan kultur kampung santri. Menurut penuturan Sayid, hingga kini ada 13 pondok pesantren di Mlangi dan semua pengelolanya masih mempunyai garis keturunan dengan Kyai Nur Iman.

Sayid Ahmad (kanan), juru kunci makam Kyai Nur Iman Mlangi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Ia juga mengisahkan bahwa Mlangi merupakan daerah pondok pesantren tertua di wilayah Yogyakarta. “Semua pondok di Yogyakarta masih ada hubungannya dengan kyai Nur Iman. Entah itu Tegalrejo maupun Krapyak,” ucapnya.

Tidak seperti masjid pathok negara lainnya, di Masjid Pathok Negara Mlangi hanya ada satu orang dengan status sebagai abdi dalem pasareyan yaitu Sayid Ahmad. Tahun ini, abdi dalem kemasjidan sedang dibentuk dan sedang menunggu pengesahan pihak keraton.

Masjid Pathok Negara Mlangi pun telah mengalami jalan panjang sejak pertama kali didirikan. Terakhir, di tahun 2015 masjid ini direnovasi besar-besaran demi mengembalikannya ke bentuk semula. Sebelum bentuknya yang sekarang, masjid ini pernah dibuat bertingkat dua. Namun, bangunan asli peninggalan zaman dahulu masih bisa ditemukan di makam bagian utara masjid.

Bangunan itu tampak punya kerangka kayu dengan warnanya yang sudah pudar. Seng di bagian atapnya pun sudah berlubang di beberapa bagiannya. Di komplek ini, dimakamkan beberapa tokoh penting dalam sejarah Yogyakarta seperti Danureja I (patih pertama Yogyakarta), Kyai Juru Mertani, dan salah satu anak dari Pangeran Diponegoro. “Saat ini saya dan ahli waris lain sedang mengajukan rencana renovasi,” terangnya.

Makam Kyai Sandiyo Nur Iman tampak dikelilingi dinding kayu. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Sementara di bagian belakang masjid terdapat komplek makam lain. Makam utama berada di sebuah pendopo kayu dan terdapat sebuah kotak semacam gebyok joglo. Di dalam kotak itulah terdapat makam Kyai Nur Iman. Di hari-hari tertentu, makam ini sering didatangi peziarah dari berbagai tempat.

Keberadaan Mlangi dan Kyai Nur Iman, sepenuturan Sayid, kelak juga menurunkan ulama-ulama lain di tanah Jawa bahkan hingga ke seberang pulau. Di dalam bagan silsilah, sang kyai mempunyai 17 anak. Ada nama R.M. Mursodo yang keturunannya kelak membangun Masjid Pathok Negara Plosokuning. Ada pula nama K.H. Khasan Basri, pathok negara pertama di Babadan Kauman.

Dari sekian banyak nama tadi, Sayid menyebutkannya satu per satu sembari menyebutkan keturunan-keturunan di bawahnya. Namun, ada satu nama yang menarik perhatian yaitu R.M. Nawawi. “Menurut cerita, Mbah Nawawi itu dulunya nakal dan diusir sama Mbah Nur Iman. Beliau lalu pergi naik gethek sampai di daerah Malaysia sekarang,” demikian ia mengisahkan.

Sejak masa dahulu, status juru kunci makam Kyai Nur Iman pun dipegang oleh keturunannya lewat anak bernama R.M. Mukhamad Salim. Sayid Ahmad adalah keturunan ketujuh Kyai Nur Iman. Jika mengecek di bagan silsilah, dari pihak ibu ia mewarisi darah Hamengkubuwono III.

Keberadaan makam Kyai Nur Iman di Mlangi juga Sayid hubungkan dengan upaya menyembunyikan garis keturunan raja di sosok kyai itu di masa lalu. Hingga kini, sang juru kunci menerangkan bahwa makam ini memang agak tersembunyi dari tujuan para peziarah kebanyakan.

“Biasanya dari Krapyak atau Tegalrejo langsung ke Gunungpring, sudah malas mau putar balik. Begitupun sebaliknya. Ya karena memang Mbah Nur Iman ini agak disembunyikan,” Pungkasnya.

Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Masjid Agung Surakarta, Puluhan Tahun Laksanakan Salat Tarawih 11 dan 23 Rakaat Bersamaan dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version