Universitas Gadjah Mada, sebagai kampus tertua, kadang tak hanya menyimpan legasi saja. Mulai dari peringkat, prestasi, dan gudang mahasiswa yang memiliki daya sekaligus upaya di kehidupan masyarakat. Mitos hantu di UGM adalah cerita lain yang sama melegendanya dari kampus kerakyatan ini.
Mojok.co mencoba mengajak sekaligus memetakkan beberapa mahasiswa yang pernah mengalami kejadian menyeramkan di Kampus Biru ini. Mulai dari yang mengerikan, hingga kejadian-kejadian di luar nalar, UGM turut serta menyimpan mitos di dalamnya.
***
Saya nekat masuk UGM pada tengah malam. Motor saya titipkan di kos kawan, saya pun masuk lewat lajur Lembah, Sosio Humaniora. Jika boleh jujur, suasana UGM ketika malam itu amat menyenangkan. Dengan lampu pendar yang temaram, angin malam yang berbisik kepada pepohonan, juga suara jangkrik yang kian mengusik, lha kok ya bisa-bisanya tiba-tiba bulu kuduk saya meremang.
Saya jalan pelan menuju Fakultas Filsafat, di sana masih ada beberapa aktivitas manusia. Saya jalan terus menyusuri Jalan Olahraga, menuju arah Fakultas Pertanian. Di depan saya membentang Jembatan Perawan. Disebut Jembatan Perawan, karena jembatan ini menghubungkan Fakultas Pertanian menuju Laboratorium Diagnostik Fakultas Kedokteran Hewan. Disingkat jadi Perawan. Di tempat ini, saya jadi ingat satu mitos bernama hantu Rohana.
Langkah kaki saya terus menyusuri relung-relung sunyi kampus yang memiliki julukan Kampus Kerakyatan ini. Tibalah saya ke arah jembatan tersebut. Bulu kuduk saya njringat se-njringat-jringatnya. Sedang dilanda ketakutan, tiba-tiba… “Gus…” bisik suara yang redup dari arah jembatan. Mak jegagik saya langsung kepengin pipis.
“Bangsat!” pikir saya dalam hati. Semisal itu hantu Rohana, kok ya bisa hapal nama saya Gusti.
“Gus…” suara itu kembali terdengar, menanti sebuah sahutan. Saya berjalan dengan cepat menuju pertigaan Jalan Agro. Niat saya, sampai sana, saya akan lari lintang pukang menuju arah Klebengan. Ra urus! Itulah yang ada di pikiran saya. “Gus…” suara itu kembali menyahut, tepat di atas kepala saya, di Jembatan Pertanian.
Saya pun membaca bacaan kitab suci walau kini saya sadari, yang saya baca ternyata doa berbuka puasa. Dengan berserah diri, saya melihat ke atas. Benar saja, sesosok makhluk sedang melihat saya dengan senyum yang medeni. “Lagi ngopo e, Gus?” rasanya pengin muntab ketika sadar bahwa yang manggil saya dari tadi adalah kawan yang berbeda fakultas dengan saya.
“Tak kiro demit, Su!” kata saya sok asik. Eh, tapi ngapain dia ada di sana di jam segini?
***
Mbak Rohana yang terjatuh dari atas Jembatan Perawan
Kisah menyeramkan ternyata bukan hanya saya yang mengalami. Sebut saja Ala (24) yang pernah melihat sosok tak kasat mata bernama Rohana ketika sedang sibuk-sibuknya kegiatan di kampus. “Waktu itu beuuuuh sibuk banget, Mas. Pulang jam empat subuh, masuk kampus jam tujuh. Yah, maklum anak organisasi, event, teater, dan juga pers,” kata Ala dengan bersemangat. Penyebab kesibukannya itulah yang membuat dirinya bolak-balik kudu melewati Jembatan Pertanian.
“Waktu itu, ketika malam belum diportal. Masih bebas lewat sana jam berapa pun. Juga untuk umum. Yah, namanya juga Kampus Kerakyatan, rakyat bebas masuk demi kelancaran mobilitas masyarakat. Hehe,” katanya sembari meneruskan cerita.
“Sekitar jam satu malam, aku pulang dari Gelanggang Mahasiswa (Berada di daerah Jalan Persatuan), menuju kosku di Klebengan. Udah biasa, pikirku ya nggak bakal ke arah mana-mana. Toh masalah begal, lingkungan kampus bisa dibilang nggak da.”
Ala kembali bercerita, “Nah, ketika lewat Jalan Olahraga, aku merasa ada yang aneh. Nih, ya, anehnya, kok bisa ada sosok perempuan pakai baju putih, bertudung slempang, dan rambutnya cukup panjang di jam semalam itu, di tempat begitu!” Ala menjelaskan detail tiap pakaian yang digunakan oleh sosok perempuan tersebut. Katanya, gaya berpakaiannya bukan berasal dari zamannya.
“Gayanya seperti gadis-gadis era 50-an. Pernahkan, Mas, lihat foto mahasiswa UGM di zaman-zaman segitu? Nah, pakaiannya persis seperti itu. Tudung yang digunakan, itu bukan gaya hijabers zaman sekarang yang waton menclek ning ndas. Pokoknya… duh, ampun, merinding aku, Mas,” ujarnya.
“Nah, aku lambatin motorku. Takutnya, orang butuh pertolongan soalnya bisa dipastikan hanya aku doang yang ada di sana. Motorku hampir berhenti sebelum perempuan itu…. lompat!” kata Ala dengan mengambil jeda.
“Aku berteriak, menutup mata, ketika membuka, nggak ada siapa-siapa. Mas… anjir, seumur-umur aku baru ini mengalami hal seperti itu.”
Menurut kesaksian Ala, waktu itu ia tidak tahu desas-desus mengenai hantu Rohana. Setelah ia ditenangkan oleh kawan-kawannya, ia baru menyadari. “Kata katingku, apa yang aku ceritakan mirip dengan mitos Mbak Rohana yang sering gangguin orang yang lewat sana dan jatuh dari atas Jembatan Perawan (Pertanian – Kedokteran Hewan),” tutupnya.
Lulus kuliah demi nggak bertemu Mbak Yayuk
“Perkembangan style ngampus itu bikin aku kagok dan parno!” kata Mujid (24) dalam penuturannya yang pernah bersua dengan Mbak Yayuk, mitos hantu di UGM yang amat melegenda di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
“Gara-gara menganggumi style seorang gadis yang retro, hampir naksir, ternyata itu adalah demit. Gimana nggak ngewel kaki saya, Mas?”
Mujid, yang mengakui menjadi ambis hanya karena ogah lagi bersua dengan Mbak Yayuk di kampus. “Ketika malam, sedang siap-siap pulang, melewati koridor di lantai 3 yang sudah sepi sekali, tiba-tiba muncul sesosok perempuan berpakaian retro. Wajahnya pucat, bisa dibilang cantik. Nggak ada bau apapun, nggak ada keanehan apapun. Bahkan, nih, ya, bulu kudukku nggak berdiri sama sekali. Sungguh nggak ada yang aneh.”
Mujid kembali bercerita, “Aku kira kan mbak-mbak TikTok atau Selebgram dengan gaya pakaian yang seperti itu. Tadinya mau aku sapa, namun wajahnya makin lama aku lihat, kok makin aku bingung bagaimana menjelaskannya. Makin lama, seperti wajah penuh kesedihan. Pikir saya, kok lama-lama jadi aneh, ya. Aku nggak kenal sama perempuan ini. Kating, bukan. Adek tingkat, bukan.”
Dengan suara yang kian berat, Mujib menuntaskan, “Kami akhirnya sliweran. Jyaaaan rasanya mak tratag gitu lho, Mas. Ketika nengok ke belakang, ia hilang. Jangkrik, saya langsung lari tunggang langgang ke parkiran.”
Mbak Yayuk sendiri merupakan urban legend yang terkenal ketika membahas hantu di UGM. Banyak yang bilang, tidak ada mahasiswi yang seabadi Mbak Yayuk di UGM. Menurut cerita yang beredar, Mbak Yayuk adalah korban bunuh diri lantaran naskah skripsinya ditolak oleh sang dosen. Tak menemukan pintu keluar bernama kelulusan, Mbak Yayuk memutuskan mengakhiri hidupnya dengan lompat dari atas gedung.
Mujid menjadi giat dan telaten kuliah, disinyalir kapok dengan kejadian tersebut, “Mbak Yayuk nggak ganggu aku, kok. Pun aku juga sama, bahkan nggak kenal. Tapi mau bagaimana pun blio adalah katingku. Aku harus hargai. Kesalahan Mbak Yayuk tempo lalu, harus menjadi tauladan untuk memecut semangat alih-alih bahan meden-medeni mahasiswa yang skripsinya nggak kunjung selesai,” katanya sambil mliriki saya.
Vokasi yang tak pernah usai menghadirkan misteri
Bram (25) sedikit berat bercerita. Saya tidak memaksa, hanya menunggu ia merasa ringan dan memutuskan dengan jernih hendak bercerita atau tidak. Dalam teguk kopi yang entah keberapa, Bram mewanti-wanti bahwa kisah ini akan sangat menyeramkan layaknya kutukan. “Jangan dibuat guyon, Gus!” katanya seperti sedang memarahi saya.
Laki-laki yang pernah berkuliah di Sekolah Vokasi UGM dan menghuni Sekip Unit 1 ini mengatakan bahwa mitos angker di Sekolah Vokasi bukan rahasia lagi. “Waktu aku ikut kongres, ada anak UI nanya apakah Sekolah Vokasi gedungnya semenyeramkan itu. Dan jujur, awalnya aku biasa aja, tapi denger suara dari segala penjuru tentang hantu, jadi ngeri juga.”
Gedung yang berada di Jalan Persatuan, area Sekip yang kini dipakai oleh MIPA bagian Selatan dan juga Vokasi memang merupakan bekas bangunan Belanda. “Sering ada yang diganggu di Perpustakaan Lama. Entah itu kepala yang bergelutuk, hingga penampakan yang acapkali dijumpai para dosen atau mahasiswa. Namun, ketika kejadian mahasiswa yang jatuh dari lantai dua beberapa tahun silam, desas-desus angker kami sepakati nggak usah dibahas lagi.”
Bagi Bram, para mahasiswa baru mungkin masih akan membahas dan hangat membicarakan, bagi dirinya yang angkatan 2016 dan sudah lulus, melihat atau mendengar hal gaib ketika di gedung itu, menjadi hal biasa saja. “Aku udah biasa saja. Aku tinggal bilang amit numpang liwat rumiyin, setelah itu selesai.”
Ketika ditanya percaya atau tidak dengan adanya mitos hantu di UGM khususnya Sekolah Vokasi, Bram tertawa. “Begini, lho, Mas. Aku sih maunya nggak percaya, tapi apa mau dikata ketika sedang jalan pulang, tiba-tiba ada sosok muka rusak yang melotot melihatku dengan…… Astagfirullah,” tutupnya mengingat perjumpaan dengan hantu di UGM.
Bunderan Teknik dan lagu Gugur Bunga
Lurus sedikit dari arah Sekip, menelusuri Jalan Persatuan ke Utara, lantas belok kiri menuju Jalan Teknik Selatan, maka kita akan bersua dengan Bunderan Teknik. Tempat yang banyak dipercaya sebagai episentrum kengerian mitos hantu di UGM. “Kalau hantu sih belum ya—dan jangan sampai. Tapi kalau disesatkan dan berasa masuk dimensi lain, aku pernah,” ujar Gada (24) melalui pesan Instagram.
“Ceritanya aku dan kawanku ketika maba dulu, iseng jelajahi UGM. Area Teknik, bisa dibilang kami hapal di luar kepala. Dengan menggunakan motor, tiba-tiba saja kawanku itu muter-muter di Bunderan Teknik. Katanya, coba kamu nyanyikan lagu Gugur Bunga. Awalnya sempat nolak, tapi si bangsat ini malah ngejek aku nggak hapal lagunya. Emosi, nyanyi lah aku,” katanya.
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
“Magis banget. Suaraku yang bagus-bagus amat, nyanyi itu seperti ada getaran yang embuh bagaimana,” terang Gada. Lirik lagu Gugur Bunga diciptakan oleh Ismail Marzuki guna menceritakan kematian seorang prajurit. Siapapun yang menyanyikan, akan merasakan dua hal sekaligus, syahdu beserta pilu.
Gada melanjutkan, “Kawanku langsung tertawa, katanya, kalau nyanyi itu di Bunderan Teknik, bakal keluar penunggunya. Yo juelaaas merinding to aku, dulur. Niatku jelajahi kampus, jadi agak ogah-ogahan karena dengar apa yang kata kawanku itu katakan. Nah, setelah selesai muterin Teknik via Jalan Kesehatan, Jalan Grafika, lho, eh, kok tiba-tibe njedul Bunderan Teknik lagi…”
Gada berujar bahwa jika dinalar, jika mereka masuk melewati Jalan Grafika, maka mereka akan bersua dengan Tugu Fakultas Teknik. “Tapi ini enggak, malah njedul lagi ke Bunderan Teknik dan Pascasarjana dari arah Jalan Teknik Selatan. Alias dari arah kami datang. Kawanku bangsat masih tertawa, tapi aku panik setengah mati.”
Melanjutkan ceritanya, Gada berujar, “Kami melewati rute yang sama, ndilalah njedul lagi Bunderan Teknik dan Pascasarjana. Sumpah, Mas, saya hampir kencing naik motor saat itu. Kawanku juga langsung ikutan panik. Ia bilang, ada yang nggak beres. Kami coba balik ke arah kos, ealaaaaah njedule Bunderan itu lagi.”
Gada mengatakan bahwa ia belum pernah melihat sosok hantu di UGM, namun kejadian itu membuat dirinya kapok main-main dengan hal-hal yang belum ia pahami secara metafisik. “Nggak, nggak bakal lagi. Kalian yang mau nyoba, ya, monggo. Kalau nggak mengalami ya bersyukur, kalau ndilalah mengalami, ya sokoooor.”
***
“Gus…” kata kawan saya itu di atas Jembatan Perawan. Wajahnya pucat, kami sering bertemu di beberapa komunitas diskusi. “Ngopo, Gus? Wis mbengi, gek ndang lulus,” katanya, artinya ngapain udah malam, cepetan lulus kuliah.
“Iyo, Su. Iki mung mlaku-mlaku,” jawab saya yang artinya ini lagi jalan-jalan aja, kok.
“Yowes, dilanjut. Ati-ati akeh demit…” katanya membuat saya mimbik-mimbik. Entah ia menuju ke mana. Mau saya sapa, ia keburu jauh di atas sana.
Ketika hendak pulang menuju kos kawan dan mengambil motor, kok ya ada yang aneh, ya. setelah bertegur sapa dengan kawan saya itu, ada sedikit perasaan lega namun timbul perasaan aneh yang embuh bagaimana menjelaskannya.
Dua hari berselang, saya membuka grub Line. Sebuah pengumuman yang mengabarkan bahwa kawan saya itu telah meninggal dunia tiga hari lalu dengan alasan yang tidak bisa saya jelaskan. Sejak saat itu, melewati Jembatan Perawan akan selalu menjadi aneh sekaligus sentimentil bagi saya.
BACA JUGA Faizin dan Lahirnya Dombat di Dieng dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.