Mabes Polri berhasil membongkar dua pabrik obat keras/berbahaya di Bantul dan Sleman. Pabrik yang diperkirakan memproduksi 420 juta butir pil koplo per bulan itu sudah beroperasi kurang lebih 2 tahun. Warga di sekitar pabrik tersebut mengatakan kesan mereka terhadap tempat produksi obat berbahaya ilegal yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Indonesia.
***
Satu pabrik yang terletak di Jalan IKIP PGRI I Sonosewu, Ngestiharjo No. 158, Kelurahan Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul tak begitu jauh dari rumah saya. Jalan itu kerap saya lewati tiap hari ketika berangkat dan pulang kerja. Siapapun yang sering lewat ruas jalan ini, pasti akan sepakat kalau kawasan ini memang sepi. Apalagi malam hari.
Dari tugu Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) sampai pertigaan Jujur, dikenal sebagai area gudang. Baik gudang bahan bangunan sampai frozen food. Mungkin yang jadi landmark jalan ini adalah rumah duka Perkumpulan Urusan Kematian Jogja (PUKJ). Itu pun tetap terlihat biasa saja kalau tidak ada kematian. Maka ketika polisi wira wiri di sepanjang jalan ini selama beberapa hari ini, membuat masyarakat bertanya-tanya.
Dikira gudang biasa
Senin (27/9/2021) sekitar pukul 8 pagi saya melintasi lokasi kejadian. Polisi terlihat di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Saat itu saya belum tahu ada acara apa di sana. Saya kira ada operasi lalu-lintas, jadi saya buru-buru melaju dengan cemas. Rupanya polisi mau memberikan keterangan pers soal penggerebekan pabrik pil koplo.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Siregar, kepada wartawan mengatakan pada 21 September 2021 pukul 21.00 WIB, polisi menggerebek gudang dengan nomor 158 yang ternyata merupakan tempat mencetak obat keras ilegal atau sering disebut pil koplo.
Penemuan gudang obat keras ilegal tersebut setelah lebih dari 5 juta butir pil golongan obat keras jenis Hexymer, Trihex, DMP, Tramadol, double L, Alprazolam disita dari berbagai TKP di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, dan Jakarta Timur. Setelah dilakukan penelusuran ternyata pabriknya ada di Yogyakarta. “Produksi obat keras terlarang ini menyuplai wilayah Jawa bahkan hingga Kalimantan,” kata Krisno Siregar yang melakukan jumpa pers di TKP.
Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WIB, saya menelusuri area sekitar TKP. Seperti yang saya bilang, kawasan ini benar-benar sepi tanpa lalu lalang manusia. Memang, sepanjang Jl. IKIP PGRI didominasi gudang industri. Sisanya hanyalah gereja serta gedung PUKJ tadi. Tidak ada tongkrongan yang padat kecuali beberapa warung di sisi selatan. Wajar karena sisi selatan jalan ini berdiri kampus UPY.
Saya coba mondar-mandir area sekitar TKP, berharap ada orang yang bisa saya ajak ngobrol. Tapi hasilnya nihil. Saya sempat berbicara dengan bapak-bapak yang kebetulan berjalan melintasi saya. Bapak tadi menunjuk lokasi pabrik yang telah dikalungi garis polisi.
View this post on Instagram
Konferensi pers penggerebekan pabrik obat keras atau pil koplo di Yogyakarta.
Ketika saya coba bertanya tentang apa yang diketahui, bapak tadi buru-buru menolak dan melanjutkan perjalanan. Saat bapak tadi menuju ke sebuah bengkel mobil di sekitar TKP, saya coba susul karena melihat beberapa orang berkumpul. Namun, ketika saya melintas di depan mereka, bapak tadi dan orang-orang tersebut menatap saya lekat. Membuat saya mengurungkan niat untuk bertandang.
Saya coba mencari warung di sisi selatan jalan ini. Di sebuah warung kelontong, saya mencoba beli rokok eceran sambil bertanya perihal kasus pabrik pil koplo ini. Namun saya hanya mendapat jawaban, “maaf mas saya cuma pendatang,” sambil buru-buru menyerahkan uang kembalian.
Makin pesimis, saya coba nongkrong di sebuah angkringan tak jauh dari TKP. Mungkin sekitar 200 meter di selatan bekas pabrik obat terlarang ini. Dan kebetulan, para pengunjung angkringan sedang riuh membicarakan penggerebekan ini. Pemilik angkringan yang akrab disapa Pakdhe (50) ikut dalam urun rembug ini.
Saya coba masuk obrolan dan menanyai beberapa orang di sana. Namun, Pakdhe yang memiliki banyak informasi. Menurutnya, sejak hari Kamis (23/9) silam sudah ada beberapa mobil polisi wira-wiri di sekitar lokasi. “Tapi paling ramai Sabtu mas, ada sekitar 10 mobil polisi lewat di depan angkringan saya,” ujar Pakdhe.
Ketika saya tanyai perihal mobil polisi lalu lalang, Pakdhe menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa. Meskipun terlihat aneh, tapi Pakdhe memandang enteng saja. Ia berpikir, mungkin ada tamu kenegaraan yang mengunjungi kampus UPY di selatan TKP.
“Saya malah baru tahu ada penggrebekan baru saja, saat dibahas bapak-bapak ini,” imbuh Pakdhe sembari menunjuk ke arah sekumpulan bapak-bapak.
Saya coba tanya perihal penggerebekan ini kepada kumpulan bapak-bapak tadi. Semua kompak menjawab tidak tahu apa-apa sampai muncul di grup Whatsapp mereka. Salah seorang bapak yang tinggal di barat pabrik juga tidak tahu peristiwa ini. “Tak kira cuma polisi lewat saja,” jawab bapak tadi.
Bahkan mereka semua tidak mengetahui bahwa ada pabrik pil koplo. Yang mereka tahu, TKP tadi hanyalah gudang yang jarang beroperasi. Bahkan gudang apa mereka juga berselisih paham. Pakdhe mengira gudang besi, sedangkan salah seorang pengunjung mengira TKP sebagai gudang bahan bangunan. Maklum, di lokasi tersebut memang banyak gudang serupa.
“Daerah kidul Jujur memang selalu sepi mas,” ujar bapak-bapak gondrong dengan gaya mirip Gombloh. Menurut beliau, tidak ada kegaduhan berarti di sekitar TKP. Bahkan jarang melihat ada manusia di TKP tersebut. Biasanya, lokasi sekitar TKP hanya ramai saat PUKJ dipakai sebagai rumah duka. Sisanya hanya truk besar membawa barang.
“Mungkin salah satunya truk (yang membawa) narkoba,” ujar Pakdhe merujuk pada TKP tadi. Namun, mereka bersepakat, tidak ada kegiatan mencurigakan di TKP dan sekitar. Meskipun pabrik tersebut hampir 3 tahun berproduksi, mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
“Soalnya gudang tadi nggak ngecer narkoba mas, jadi sepi,” imbuh bapak-bapak berbaju polo putih yang disambut gelak tawa kami semua. Namun, tidak ada informasi yang bisa saya gali lebih lanjut. Tidak ada hal ganjil yang menarik perhatian warga di sekitar gudang itu untuk mencurigai aktivitas di dalamnya.
“Lha njenengan kemarin ikut menggerebek ya mas?” Tanya Pakdhe kepada saya. Saya pun lekas membantah tudingan tersebut. Mungkin ini alasan Pakdhe enggan memberitahu nama kepada saya. Dan mungkin ini sebabnya beberapa kali saya melihat tatapan penasaran dari bapak-bapak tadi.
“Saya kira njenengan telik sandi mas,” ujar Pakdhe. Woalah, saya ternyata dikira intel polisi.
Sekalinya Viral karena Pil Koplo.
Saya pun menemui Mas Adit (28), kawan saya yang tinggal tidak jauh dari lokasi. Sehari-hari Mas Adit biasa lalu lalang di sekitar TKP. “Lha jalurku berangkat kerja lewat situ jhe,” ujar Mas Adit.
Sama seperti bapak-bapak tadi, Mas Adit juga tidak menyangka gudang sepi di jalan IKIP PGRI tersebut adalah pabrik obat terlarang. Jangankan membayangkan ada pabrik, Mas Adit saja tidak pernah membayangkan TKP tersebut ada kehidupan. “Tak kira selama ini cuma gudang kosong,” imbuh Mas Adit sambil melinting tembakau.
Mas Adit juga membenarkan perkara sepinya daerah TKP. Memang tidak pernah ada hal mencurigakan selama Mas Adit tinggal di dekat lokasi pabrik. Selama 28 tahun hidup di sana, Mas Adit jarang melihat ada aktivitas di TKP. “Bahkan pabrik Dagadu di depannya juga ga ramai tho?” Imbuh Mas Adit merujuk salah satu pabrik kaos khas Jogja ini.
Menurut Mas Adit, Jalan IKIP PGRI memang terkenal sepi. Bahkan ketika malam sangat jarang ada kendaraan melintas. Beberapa truk besar di sekitar TKP juga tidak pernah memicu kecurigaan, karena memang banyak gudang bahan bangunan di sekitar lokasi.
“Di sana mau jualan saja susah laku. Lha nggak ada yang lewat. Pemukiman warga juga sangat sedikit,” imbuh Mas Adit. Justru ia memandang wajar jika ada pabrik obat terlarang di jalan tersebut. Karena memang kelewat sepi jadi tidak ada yang memperhatikan saat ada truk bongkar muat di TKP.
Saya pun sependapat. Saat saya tadi wira-wiri mencari sumber berita, saya adalah satu-satunya orang yang melintas dengan sepeda motor. Bahkan selama saya berhenti sejenak menanti orang lewat, mungkin hanya ada 3-4 kendaraan yang melintas. “Kandhyani og,” ujar Mas Adit ringan.
“Tapi aku memandang ini sebagai ironi lho,” ujar Mas Adit tiba-tiba. Tentu saya bertanya-tanya, apa ironi dari peristiwa ini. Bukankah tidak ada yang kelewat mengejutkan di TKP?
“Kamu tahu tho, di selatan TKP ada kampus besar. Kampusnya para calon guru. Sedangkan agak kebarat sedikit ada danau Kalibayem. Danaunya juga hebat, hanya dalam semalam di tengah sawah muncul danau besar,” ujar Mas Adit. Perkara danau, yang dimaksud adalah kemunculan danau akibat amblesnya tanah secara tiba-tiba.
“Lha kok sekalinya daerah sini viral, semua gara-gara pil koplo? Kurang apa coba daerah ini dikenal dari sudut pandang positif? Tapi sekalinya masuk berita, Cuma karena sabung ayam, tawuran, dan sekarang pil koplo,” ujar Mas Adit yang disambut gelak tawa.
Pengguna pil koplo yang tenang-tenang saja
Menurut berita di berbagai kanal, salah satu obat ilegal yang diproduksi pabrik ini adalah jenis Trihexyphenidyl. Biasa dikenal sebagai Trihex, menurut alodokter.com obat ini mengatasi gejala penyakit parkinson. Secara sederhana, obat ini memblokade impuls saraf menuju otot dan relaksasi otot-otot tertentu.
Obat jenis psikotropika ini memang sering disalahgunakan. Salah satunya oleh SW (24). Kawan saya yang lain ini memang menyalahgunakan beberapa obat serupa. Tentu obat yang diperoleh bukanlah obat legal dengan resep dokter.
“Tapi aku nggak tahu diproduksi dimana. Aku cuma makai,” kata Mas SW. Ia menceritakan awal mula keakraban dengan obat terlarang termasuk Trihex. Gara-gara sering nongkrong, Mas SW mulai coba-coba mengonsumsi miras serta obat terlarang. Sejak SMA blio sudah akrab dengan obat-obat syaraf ini.
“Biar badan enteng saja, ga stress mikir banyak hal,” ujar Mas SW. Menurutnya, alasan banyak yang mengonsumsi trihex karena lebih banyak dijual dan lebih “resmi” dari obat serupa seperti ekstasi.
Mas SW menjelaskan, 30 menit setelah meminum obat ini akan terasa efeknya. Badan akan menjadi relax dan malas bergerak. Kepala akan terasa ringan namun untuk menengok saja malas. “Yah daripada stress tadi, mending ngepil biar otak nggak kusut,” imbuh Mas SW.
Mas SW sendiri kurang tahu harga obat seperti trihex. Karena Mas SW lebih memilih patungan bersama teman-temannya untuk membeli obat tadi. “Yang beli ada temen, aku cuma terima jadi saja,” imbuh Mas SW.
Perkara penggerebekan, Mas SW juga tidak ambil pusing. Blio merasa trihex masih mudah ditemui di pasaran. “Yang jelas aku ga tahu dari mana barangku dikirim. Yang aku tahu cuma patungan aja, ga peduli daerah mana yang membuat,” imbuh Mas SW.
Menurutnya, sudah berkali-kali ada penggerebekan serupa. Namun, ia tetap mudah menemukan obat serupa. Jadi kalau gudang nomor 158 kena grebek, ia tenang-tenang saja. “Kami ga peduli dari mana pabriknya (obat terlarang yang dikonsumsi). Yang aku tahu mlete enak,” imbuh Mas SW.
BACA JUGA Jejak Mbah Brawud: Sosok Adipati Lasem yang Makamnya Jadi Tempat Mencari Pusaka dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.