Perasaan Mereka yang Punya Adik Rasa Anak, Selisih Usia Lebih dari 20 Tahun Bahkan sudah mempersiapkan rencana pernikahan dengan pasangan. Bagi sebagian orang ini bukan hal mudah. Ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan, termasuk memiliki adik rasa anak.
***
Pada umur berapa rata-rata anak muda Indonesia menikah? Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 mencatat bahwa mayoritas pemuda Indonesia baik laki-laki maupun perempuan menikah pertama kali di usia 19-21 tahun. Persentasenya mencapai 33,30 persen. Kelompok umur kedua yang paling banyak menikah yakni di usia 22-24 tahun yang persentasenya mencapai 26,83 persen.
Di balik angka pernikahan itu, sejumlah anak muda justru dikarunia adik kandung baru di usianya yang sudah menginjak 20 tahun. Jarak usia lebih dari dua dekade ini menghadirkan relasi yang agak berbeda.
Ikut merasakan repotnya mengurus anak
Usia yang terpaut jauh dengan saudara, membuat mereka yang mengalami hal demikian menyebutnya adik rasa anak. Fiana baru saja melepas status sebagai anak tunggal setelah usianya tinggal tiga bulan lagi menuju 22.
“Pengalaman pertama punya adik malah rasanya seperti punya anak,” kata perempuan ini saat dihubungi Mojok, Senin (21/2/2021).
Ungkapan demikian lantaran ia langsung merasakan betul bagaimana rasa dan suasana proses orang mengandung, melahirkan, dan merawat bayi kecil pada pengalaman pertamanya punya adik. Hal yang tak dialami mereka yang punya adik dengan jarak usia yang dekat.
Adik laki-laki Fiana lahir pada Rabu (9/2/2022) lalu. Hal itu membuat perempuan asal Wonosobo ini langsung direpotkan dengan berbagai urusan merawat bayi. Mulai dari memandikan, membersihkan saat buang air besar, dan urusan perawatan lainnya.
“Ibuku setelah operasi melahirkan kondisinya memang lemah, baru bisa berjalan lancar sepekan setelahnya. Jadi aku kudu bantu segala urusan merawat adik ini,” ujarnya.
Bahkan ia berseloroh, “Ini kalau adikku bisa ngomong, dia bakalan bingung ibunya yang mana. Yang satu ini menyusui (ibunya) tapi urusan lain dipegang sama satunya lagi (kakaknya).”
Perasaan serupa juga dialami oleh Keke (22), tahun lalu ia juga baru saja memiliki adik kedua. Tepatnya pada 9 Januari 2021. Memiliki adik di usianya yang sudah kepala dua membuat ia sadar betapa repotnya beban sebagai orang tua.
“Punya adik rasa anak ini namanya, rasanya udah kaya anak sendiri. Jadi punya tuntutan untuk belajar parenting sejak dini,” ujar Keke.
Dalam sejumlah hal, Keke bahkan mengaku lebih protektif pada si kecil ketimbang orang tuanya. “Beberapa kali aku ingatin ke orang tua, biar gak terlalu banyak mengutarakan kata negatif kaya ‘jangan gini jangan gitu’, lebih banyakin kalimat ajakan yang positif kalau ngingetin anak kecil,” katanya.
Adiknya yang kini berusia setahun juga sudah akrab dengan gawai. Keke merasa orang tuanya kurang mengontrol hal itu. “Emang sih, situasinya, zamannya udah serba digital. Tapi kalau dibiarin kecanduan gini terus kan bisa bikin anak susah fokus belajar sesuatu,” lanjutnya.
Masa-masa menjelang ibunya melahirkan adalah waktu yang menegangkan bagi Keke. Saat kehamilan berada di usia delapan bulan, sang ibu mengalami beberapa kendala. Kata dokter, bayi di kandungannya terlilit tali pusar.
Namun, sang dokter kala itu masih optimis kalau proses melahirkan bisa dilakukan secara normal. Akan tetapi setelah memasuki bulan kesembilan, kondisi kesehatan sang ibu menurun. Ibunya mengalami batuk tak berkesudahan.
Situasi di tengah pandemi Covid-19 membuat keluarga khawatir. Namun, setelah beberapa kali dites usap, hasilnya negatif. Kondisi kesehatan yang menurun ini membuat ibu dari Keke merasa tak kuat melakukan persalinan normal.
“Pokoknya sejak usia kandungan ibu delapan bulan itu aku udah gapernah ninggalin rumah. Untung kuliah sedang full online, jadi aku bisa dampingin ibu full,” katanya.
Jam-jam menuju persalinan, Keke mengaku khawatir tak karuan. Sebenarnya ibunya berprofesi sebagai bidan, sehingga melihat proses persalinan bukanlah hal yang asing bagi Keke. Namun saat melihat ibu sendiri yang hendak melahirkan, kebiasaan tadi tak membantu banyak.
“Saat melihat ibu terbaring nggak berdaya, dipacu pas kontraksi, rasanya kaya dah lupa semua konflik yang pernah terjadi di antara kita. Adanya cuma perasaan sayang dan khawatir,” tambahnya.
Jika Keke bisa mengikuti proses persalinan sang ibu dari dekat, lain cerita dengan Fiana. Ia bahkan tak boleh ikut ke rumah sakit saat ibunya sedang proses persalinan. Ia disuruh tetap di rumah.
“Katanya biar gak takut pas besok melahirkan, umur dua puluhan dah dianggap dekat dengan masa-masa itu, kan. Jadi dilarang sama keluarga untuk ke rumah sakit,” ujar Fiana dengan sedikit tertawa.
Kompromi tak ingin menikah cepat-cepat
Selain beragam pengalaman tadi, memiliki adik saat usia sudah menginjak dewasa membuat sejumlah rencana kehidupan seperti perlu disesuaikan. Setidaknya itulah hal yang dirasakan dua narasumber Mojok ini.
Fiana yang sebelumnya tak ingin menikah cepat-cepat selepas lulus studi di perguruan tinggi merasa seperti tervalidasi berkat kehadiran adik kecilnya ini.
“Sejak awal memang aku maunya nikah agak nantian, ya usia dua puluh lima ke atas. Mau kerja dulu. Punya adik ini, jadi rasanya alasan itu semakin diperkuat. Sebab pasti ada tanggung jawab lebih ke adikku ini,” ujarnya.
Jika Fiana mengaku sejak awal tak ingin buru-buru memikirkan persoalan menikah, Keke mengaku sebaliknya. Sebelum punya adik baru, ia sering mendambakan segera menikah selepas usai studi.
“Apalagi, aku sama cowokku yang sekarang udah pacaran delapan tahun. Sejak SMP. Ya pasti udah ada lah bayangan untuk ke arah pernikahan,” ucapnya.
Namun, itu semua berubah ketika ia memiliki adik baru. Rasanya tanggung jawab yang ia pikul bertambah. Ia merasakan betul makna adik rasa anak. “Apalagi ayahku umurnya sudah lima puluh tahun lebih. Pasti aku kepikiran masa depan adikku. Tanggung jawabku juga nanti untuk ngurus ketika orang tua sudah sepuh,” tambahnya.
Hal ini mendorongnya untuk berbincang pada pacarnya. Menjelaskan situasi tentang keluarga, bagaimana orang tuanya yang sudah berusia senja, adiknya yang masih bayi, dan pikirannya tentang masa depan.
“Aku jelasin ke cowokku kalo bapak ibuku dah tua, kalau besok adikku mau sekolah, kuliah, dan lain-lain bakalan jadi tanggung jawabku juga,” tegasnya.
Ia berpikir bahwa untuk menikah, paling tidak perlu menunggu adiknya tumbuh sedikit besar lebih dahulu. Sebab, jika menikah cepat, ia khawatir akan potensi tekanan dari lingkungan sekitar untuk segera punya momongan. Padahal, adik kandungnya sendiri pun masih sekecil itu.
“Ya aku yakin sih, kalau nikah itu pasti saudara, tetangga, dan orang sekitar bakal tanya kapan punya momongan. Itu kan budaya di Indonesia. Malas, jadi mending ditunda dulu deh,” ujarnya. Keke yang kini sedang dalam masa akhir studi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta ini bersyukur karena pacarnya cukup memahami situasi yang ia alami.
Fiana dan Keke sama-sama merasakan beban tersendiri sebagai anak pertama. Ditambah lagi punya adik dengan rentang usia yang terbilang jauh.
YouGov, sebuah lembaga riset berbasis di Inggris pada tahun 2015 pernah merilis penelitian tentang pengaruh perbedaan antara anak tertua dan anak termuda di dalam keluarga. Ada kecenderungan bahwa anak tertua dalam keluarga merasakan beban dan tanggung jawab yang lebih besar.
Salah satu temuannya yakni sebagian besar anak sulung dengan presentase 54 persen mengatakan bahwa mereka lebih bertanggung jawab daripada saudara kandungnya. Sedangkan anak terakhir yang merasakan hal serupa presentasenya lebih kecil yakni 31 persen.
Kehamilan di masa pandemi
Fenomena dua saudara kandung yang memiliki jarak usia terpaut jauh rata-rata terjadi karena orang tua, terkhusus ibunya menikah di usia yang relatif muda. Ibu dari Keke dan Fiana mengandung pertama kali di usianya yang masih berusia dua puluh tahun. Lalu mengandung anak terakhir mereka di usia yang sudah menginjak kepala empat.
Fiana bercerita bahwa sejak lama kedua orang tuanya menginginkan kehadiran anak kedua. Namun, tanpa diduga, ternyata baru saat pandemi kala ibunya sudah berusia 41 tahun kehamilan itu datang.
“Sejak lama sih sebenarnya, sejak aku umur belasan, sampai orang tuaku tu udah pasrah aja. Orang tuaku memang nggak program KB. Eh malah pas pandemi kejadian dan baru dikasih rezeki anak lagi,” ujarnya.
Sedikit berbeda, Keke menuturkan bahwa kedua orang tuanya sudah menjalankan program KB. Ibunya sudah mengonsumsi pil kontrasepsi sejak lama. Namun, kehamilan yang tak diduga itu terjadi di masa pandemi.
Keke masih ingat betul, suatu pagi saat ia masih nyaman bergoler di kasur, terdengar suara ribut di ruang tengah rumahnya. Saat ia keluar dari kamar, nampak ibunya sudah menangis dan sang ayah berada di sampingnya dengan wajah yang bingung.
“Itu pagi saat ibuku ngecek kehamilan setelah telat menstruasi sebulan. Ternyata positif, mereka (orang tua) itu awalnya saling menyalahkan, kok bisa kejadian, karena mereka tidak berencana punya anak lagi,” ujarnya dengan tawa.
Belum puas dengan hasil yang dikeluarkan test pack, mereka memutuskan untuk datang ke dokter. Bahkan dengan sedikit harapan, agar hasil tersebut tidak positif. Namun, ternyata hasil cek dokter juga berkata sama.
***
Pembatasan aktivitas di masa pandemi ditengarai berpengaruh pada aktivitas seksual pasangan saat di rumah. Sebuah survei di awal 2021 yang dilakukan DKT Indonesia menunjukkan ada peningkatan aktivitas seksual pasangan suami istri selama pandemi.
Dalam temuannya, 15 persen partisipan survei yang dilakukan di Jakarta dan sekitarnya itu menyatakan bahwa mereka berhubungan seksual lebih sering dibandingkan masa sebelumnya. Sisanya, sebanyak 78 persen menyatakan sama dan 7 persen menyatakan aktivitas seksnya berkurang.
Riset global pada 2020 juga melihat adanya efek pandemi yang memperkirakan akan ada tambahan 15 juta kehamilan tak direncanakan. Riset tersebut dilakukan di 132 negara miskin dan berkembang di dunia.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Rahasia Rental Komik di Jogja yang Bertahan Tanpa Perlu Menahan Kartu Identitas dan liputan menarik lainnya di Susul.