Anak-anak di Sleman menyebutnya dengan gabulan. Sebuah aktivitas mengejar layangan putus. Bagi mereka, ini adalah kemerdekaan sesungguhnya, karena bisa bermain sepuasnya di tengah lahan pertanian yang kian menyusut di Sleman.
***
Teriakan anak-anak mengalihkan pandangan saya saat menyusuri Selokan Mataram sore hari, Selasa (15/8/2023). Saya memutar balik Honda Beat untuk kemudian mengarahkannya ke jalan kecil di mana orang-orang menengadahkan kepalanya memandang langit.
Saya menghampiri salah satu laki-laki yang terlihat sedang nyantai sambil merokok di atas motornya.
“Tiap hari ramai, Mas. Kadang di sini, kadang di sebelah barat dusun,” kata kata laki-laki yang kemudian saya tahu namanya, Jumanto (43). Ia salah satu warga Padukuhan Donokitri, Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman, lokasi yang digunakan orang-orang untuk bermain layang-layang.
Mengadu layang-layang
Di jalan itu puluhan orang bermain layang-layang. Tidak hanya anak-anak, sebagian besar justru orang dewasa. Semuanya bermain layang-layang aduan. Siapa pun bisa menaikan layang-layangnya, kemudian mengadu dengan layangan lain yang ada di situ.
“Memang layang-layang aduan, kalau di sini. Jadi ya nggak boleh marah kalau kalah. Yang kalah biasanya sudah bawa banyak layangan,” kata Jumanto.
Menurut Jumanto kalau layangan putus, maka sudah menjadi hak anak-anak yang berada di tengah lahan tebu. Orang di Sleman menyebutnya dengan gabulan. “Kalau sudah putus, ya losss…Sudah nggak boleh ngejar, sudah jadi milik anak-anak,” kata Jumanto yang waktu kecilnya juga kerap bermain layang-layang.
Menurutnya, orang yang bermain layang-layang tidak terbatas dari orang Donokitri saja, tapi juga dari daerah lain. Menurutnya, waktu ia kecil, pilihan tempat bermain layang-layang masih sangat banyak. Sekarang sudah jauh berkurang karena tidak sedikit yang sudah beralih jadi hunian.
Pandangan saya teralihkan pada teriakan anak-anak di tengah kebun tebu. Sebagian besar dari mereka menengadah ke langit sambil memperhatikan layangan yang sedang beradu. Begitu ada layang-layang yang putus, mereka berlarian mengejar ke satu arah. Jadi riuh ketika yang layangan putus itu tidak hanya satu.
Gabulan, mengejar layangan putus
Saya lantas turun ke ladang tebu yang terlihat sudah lama dipanen. Pangkal pokok tebu terlihat mencuat di tanah keras. Tersembunyi di balik tunas-tunas muda tebu yang mulai meninggi. Berjalan apalagi berlari sambil bertelanjang kaki di tempat itu bukan lah sesuatu yang aman. Selain tanah yang keras, runcingnya pangkal pokok tebu bisa melukai kaki.
Namun, yang saya lihat, puluhan anak seperti tidak memedulikan kondisi tempat itu. Mereka tetap berlarian sembari pandangan mengarah ke atas untuk melihat kemana layangan putus melayang turun.
“Ini, Mas..pasti luka-luka,” kata Idham (15) seorang anak yang ketika saya temui tidak ikut mengejar layangan. Rupanya kakinya sedang terluka, sehingga ia lebih banyak menjadi penunjuk bagi teman-temannya saat ada layangan putus. Di kaki Idham saya melihat banyak luka-luka goresan yang sudah mengering.
Dua temannya, Fadhil (14) dan Hafiz (13) jadi tim ‘fighter’ atau pengejar layangan putus. Saya melihat keduanya memiliki luka yang lebih sedikit daripada Idham. Rupanya itu karena mereka lebih jeli saat berlari.
Mereka bertiga adalah tiga sahabat yang rutin ikut gabulan atau mengejar layangan putus. Saat saya bertemu dengan mereka, sudah 15 layangan putus yang mereka kumpulkan.
“Tadi sampai sini jam empat. Biasanya sampai magrib dapat sekitar 30-an,” kata Fadhil. Layangan hasil buruan mereka nantinya akan mereka jual lagi. Harganya bervariasi mulai Rp2.500 hingga Rp7.500.
“Kalau yang talinya satu, harganya dua ribuaan, yang ada talinya dua itu yang mahal,” kata Fadhil membalik layangan aduan yang ia dapat. Ia lantas menunjukan tali yang mengikat bambu yang menjadi ukuran untuk menentukan harga jual layangan bekas yang mereka dapatkan.
Jual layangan putus untuk jajan
Layangan yang Fadhil dan teman-temannya dapatkan biasanya mereka jual ke anak-anak di kampung mereka. Hasilnya mereka bagi bertiga. “Nggo ngopi, Mas..,” kata Idham, anak paling senior di antara mereka.
“Buat jajan lah, Mas,” imbuh Fadhil tertawa.
Fadhil dan teman-temannya lebih suka ikut gabulan daripada menerbangkan layang-layang. Tahun ini, mereka bertiga mulai mengejar layangan putus atau gabulan sejak awal Agustus, atau saat banyak orang-orang bermain layang-layang aduan.
Saya harus beberapa kali menghentikan obrolan dengan mereka karena tiba-tiba saja perhatian mereka teralihkan oleh layangan putus. Idham yang jadi pengamat akan berteriak jika melihat layangan putus. Fadhil atau Hafiz, tergantung siapa yang paling dekat dengan posisi layangan putus lantas mengejar.
Mereka akan berkompetisi dengan anak-anak lain yang juga mengincar layangan yang sama. Punya postur tinggi menjadi kelebihan bagi anak-anak yang ikut gabulan, karena mereka cukup menjangkau senar yang masih melayang. Aturannya, siapapun tidak boleh merebut layang-layang yang senarnya sudah dipegang.
“Kalau yang punya meminta layangannya yang putus?” tanya saya.
“Nggak boleh, Mas. Kalau tetap meminta, biasanya kita patahkan. Memang kayak gitu aturannya kalau di sini,” kata Fadhil.
Menurutnya, layangan putus berarti sudah menjadi hak anak-anak yang ikut gabulan. Maka pemilik layangan tidak boleh meminta lagi, kecuali kalau membeli.
Menurut Fadhil, orang tuanya tidak mempermasalahkan ia ikut gabulan. Hampir setiap tahun ia selalu mengejar layangan putus. Soal lokasi, asal tidak terlalu jauh ia dan teman-temannya pasti ikut. Selama masih ada sawah untuk bermain layang-layang, ia akan tetap melakukan kesenangannya tersebut.
Merdeka karena bisa bermain sepuasnya
Ada lebih dari 15 anak-anak yang ikut gabulan. Rata-rata mereka berkelompok. Ada yang tugasnya memberi tahu arah layangan yang putus dan ada yang tugasnya mengejar. Matahari sore mulai tenggelam. Sebagian anak-anak itu kemudian menepi.
Saya lantas mendekat ke dua anak yang kelihatannya sudah lelah mengejar layangan putus. Keduanya sudah akan beranjak pulang menggunakan sepeda ketika saya ajak ngobrol. Namanya, Sabata (8) dan Maska (10). Muka dan baju mereka terlihat lusuh berdebu.
“Tadi lari terus jatuh,” kata Sabata menjelaskan mengapa pakaian dan kakinya yang kotor. Biasanya memang pemilik lahan tebu yang sudah panen akan membersihkan lahannya dengan cara membakar. Sisa pembakaran itu yang kemudian membuat kaki dan baju anak-anak yang mengejar layangan putus menjadi kotor dan menghitam seperti kena arang.
Dua jam ikut gabulan, Sabata dan Maska baru mendapatkan 10 layang-layang. Tubuh mereka yang kecil jelas kalah dengan rombongan Fadhil dan teman-temannya yang lebih tinggi.
Bagi mereka nggak masalah, pulang membawa layang-layangan sudah jadi kebahagiaan tersendiri. Meski orang tuanya mungkin mengomel karena baju dan badan keduanya kotor.
Sabata dan Maska berencana menjual layangan itu ke teman-temannya di kampung. Satunya mereka hargai Rp2.500. Uang itu tentu saja untuk uang jajan mereka.
Susah cari tempat mengadu layangan
Tidak semua anak-anak yang datang untuk ikut gabulan. Saya bertemu dengan Mario (13) yang sengaja datang ke lahan tebu untuk mencari lawan guna mengadu layangan yang ia bawa. Ia sudah biasa nglurug mencari lawan di luar kampungnya.
Ia tinggal di Dusun Randu Gowang yang sudah masuk Kecamatan Ngaglik. Jarak rumahnya sekitar 8 kilometer dari lokasi ‘perang’.
Awalnya saya mengira, Mario ini jualan layang-layang karena di atas motor yang ia bawa bersama temannya, ada banyak layang-layang.
“Nggak dijual, Mas, buat main saja,” katanya sambil berkonsentrasi mengulur dan menarik benang gelasan untuk memutus layangan lawan. Hari itu sudah 4 layang-layangnya yang putus. Namun, ia tak khawatir karena membawa 25 layang-layang aduan. “Murah, kok. Satunya cuma dua ribu lima ratus,” kata Mario beralasan mengapa sampai membeli banyak layang-layang.
Mario menuturkan, di tempat tinggalnya memang ada sawah untuk bermain layang-layang, tapi tidak seluas lahan tebu tempatnya bermain. Di dekat rumahnya sudah banyak bangunan rumah yang nggak nyaman untuk bermain layang-layang. “Sama cari yang banyak orang main layang-layang biar ada lawan,” kata anak kelas 1 SMP yang baru sekali mengikuti kompetisi layangan aduan.
Jadi tempat pemain layang-layang aduan latihan
Selain anak-anak, tidak sedikit orang dewasa yang juga membawa layang-layang aduan. Dari gerakan mereka, sangat jelas kalau mereka orang-orang terlatih.
“Kita ada klub layangan aduan mas, namanya Scooby Doo. Ada di dusun ini, juga. Biasanya nggak di sini latihannya. Sekarang cuma ingin main sama latihan tipis-tipis saja,” kata Murakabi (40) tertawa.
Ia menjelaskan, banyak kategori dalam lomba layang-layang aduan. Ia kemudian menunjuk dua layang-layang yang ‘bergelut’ di langit.
“Itu namanya, jepret, bisa didengar ada suara jepret ketika ada yang menarik senar. Kemudian yang itu ulur, dinaikan tinggi,” kata Murakabi.
Ada satu lagi kategori yaitu seser. Layang-layang cara menerbangkannya sangat rendah. Namun, karena banyak anak sedang gabulan, mereka tidak menggunakan teknik itu karena cukup berbahaya. “Nah itu…itu seser, pas nggak ada anak-anak jadi aman, Kalau di pertandingan bahkan layang-layang bisa mendekat ke lawan, tapi nggak boleh sampai kena orangnya. Kalau sampai kena, di-dis kalah,” kata Murakabi sambil menunjuk seorang temannya yang sedang bermain layangan aduan dengan teknik seser.
Murakabi lantas memberikan nomor WA-nya. Ia berjanji untuk memberi kabar kalau klubnya latihan. Biasanya kompetisi layangan aduan banyak di luar Jogja. Mereka kadang dapat undangan hingga ke Jawa Barat.
“Banyak yang menarik, di layangan aduan. Pas kompetisi yang mahal itu jongkinya (joki). Itu teman saya joki profesional, mahal harganya,” kata Murakabi tertawa sambil menunjuk temannya.
Lahan pertanian yang terus menyusut
Bisa jadi tahun-tahun ini merupakan perayaan hari kemerdekaan paling menyenangkan bagi siapa saja yang bermain layangan maupun yang ikut gabulan di Trihanggo, Gamping. Setiap tahun, penyusutan lahan pertanian di DIY terus bertambah. Di DIY, setiap tahun lahan pertanian yang menyusut sekitar 150 hektare.
Di Sleman, 50 hektare lahan pertanian menghilang atau beralih fungsi setiap tahunnya. Lahan-lahan yang ketika sedang tidak diolah menjadi ruang publik, termasuk untuk bermain layang-layang. Tempat mereka bermain layang-layang di Donokitri, berada persis di pinggir Selokan Mataram. Kalurahan Trihanggo merupakan salah satu desa yang nantinya akan dilewati jalan tol yang proses pembangunannya sedang berlangsung. Meski tidak langsung melintas di Donokitri, keberadaan jalan tol itu pasti akan mengurangi ruang-ruang bermain warga di tempat lain.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Menikmati Uniknya Angkringan Majas yang Rasa dan Harganya di Luar Nalar