Menyaksikan Judi Sabung Ayam di Jawa Timur Selatan

Aparat geber motor, bubaaar.

Belasan jago dalam kurungan yang siap diadu. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Sabung ayam yang dianggap sebagai budaya, nyatanya kemudian menjadi alat pemuas untuk berjudi. Mojok menyaksikan ratusan orang menonton kegiatan ini di sebuah daerah, Jawa Timur Selatan

***

“Mas, besok Minggu apa ada sabung ayam?” Saya kirim pesan WA tersebut ke kawan baru saya, Pria (38). Pesan singkat yang timbul gara-gara Mbah Nur bercerita kalau kabupaten sebelah ada satu lokasi aduan jago yang besar dan terkenal.

Mas Pria tidak membalas, tetapi langsung menelpon. Setelah basa-basi saya bilang: “Ya, Mas, pokoknya, saya ikut.”

Kawan saya ini sudah lama mendalami sabung ayam. Beliau juga memelihara beberapa ayam jago di rumahnya, ada sekitar sepuluh ekor. Mas Pria juga rutin melatih jago peliharaannya di dekat rumah. Pelatihan itu sudah menjadi pertemuan rutin para pecinta jago di daerahnya.

Pada pertemuan rutin itu, para anggota akan membawa jago peliharaannya untuk diuji ketangguhannya, ada juga yang datang untuk sekadar srawung atau melihat-lihat. Ayam-ayam tersebut secara bergantian disandingkan, seraya dilihat dan diamati apakah ada dari mereka yang berpotensi untuk naik ke medan laga kelak. 

Pada hari minggu yang ditentukan, selepas zuhur saya ikut Mas Pria ke lokasi. Kami melewati perkampungan dan sawah-sawah. Sekitar beberapa kilometer perjalanan, kami tiba.

Saya pun tercengang, tempatnya tidak sekecil yang saya bayangkan. Di parkiran, tampak beberapa mobil dan ratusan sepeda motor, padahal tempat ini hanya dipagari anyaman bambu dan beratap terpal. Lokasinya cukup besar dan terbuka, mungkin 50 x 120 meter. 

“Kaget?” Mas Pria menyadari kekaguman saya sambil tersenyum culas. “Itu mobil yang datang ke sini, biasanya dari orang yang bawa jago dari luar kota.”

Setelah sampai sasana utama, Mas Pria langsung berjejal dengan penonton lain, berusaha duduk di tribun. Saya yang masih asing mencoba membaur dengan kerumunan. 

Salah satu penonton yang baru saja datang mencoba bertanya kepada saya: “Yang kelihatan menang, mana Mas?” 

“Waduh, saya juga baru datang Mas.” Jawab saya dengan muka kebingungan. Syukur, pria usia lanjut di sebelah saya menanggapi pertanyaan tersebut: “Itu Mas, yang abang.”

Di dalam area luas berpagar bambu tersebut, terdapat tiga sasana, sasana paling besar berukuran sekitar 10 meter persegi, dua sasana lainnya berukuran sekitar 6 meter persegi. Arena paling besar, atau yang utama, dipagari dengan semen dengan tinggi sekitar 1 meter, terdapat dua baris tribun penonton yang terbuat dari bambu. Terlihat sederhana, tetapi minggu itu pengunjungnya kira-kira mencapai 200 sampai 300 orang. 

Belakangan saya tahu, kalau tempat Mas Pria berjudi itu merupakan salah satu lokasi judi sabung ayam besar di daerah selatan Jawa Timur. 

Bagaimana ayam diadu

Dalam satu rangkaian sabung ayam, pertandingan akan dibagi dalam beberapa babak. Satu babak akan berlangsung sekitar 15 menit. Setelah itu ayam akan istirahat, dia dimandikan dan dibersihkan kerongkongannya. Kadang, akibat pertandingan yang sengit, ada gumpalan darah yang terselip di bulu pembersih kerongkongan. 

Selesai dimandikan, ayam jago tadi akan masuk arena laga kembali. Setelah selesai tiga babak dan pemenang masih belum muncul, kedua ayam tadi akan dipindah ke sasana kedua.

Sembari menunggu pemenang, sasana utama akan diisi ayam baru yang masih bugar. Beberapa penonton akan pindah untuk melihat pertandingan penentuan, namun sebagian besar lebih tertarik melihat pertandingan di sasana utama yang menampilkan jagoan baru.

adu jago
Salah satu arena adu jago yang dipakai setelah ronde ketiga di arena utama usai. (Prima Ardiansah/Mojok.co)

Saat babak pertama dimulai, kedua ayam jago terlihat galak dan tangkas. Bulu leher mereka mekar, ditambah gerak gesit lompat sana lompat sini dengan suara jedas-jedes hasil tubrukan ceker yang mendaratkan tendangan. Memang terlihat seru dan asyik. 

Gerak kedua ayam tersebut akan berkurang di babak kedua. Jika tadinya tangkas melompat, kini hanya saling mengaitkan kepala. Dengan tenaga yang tersisa, keduanya berusaha menggeprek lawan dengan jalunya. 

Saat pertarungan, ayam dipanggil sesuai ciri fisik dominan yang dimilikinya. Misal, jika satu ayam memiliki bulu warna-warni dijejali corak putih, maka ayam tersebut dipanggil “blorok”. Pihak lain yang berwarna dominan hitam, akan dipanggil “ireng”, begitu pula jika dia gundul, dia dipanggil “brundul”. 

Dalam sabung ayam, yang dinyatakan kalah jika ayamnya sudah lari dari lawan, tanda tidak sanggup bertarung lagi. Menurut saya, terlampau susah untuk memprediksi mana ayam yang akan menang dan mana ayam yang akan kalah. Tidak ada jaminan ayam yang sebelumnya terlihat gahar dan mendominasi untuk selanjutnya bisa menang, kadang keadaan berbalik cepat dan dia malah kalah. 

“Susah kan? Nggak pasti yang terlihat kalah itu beneran kalah?” Mas Pria mengamini pikiran saya.

Dalam pertandingan, para penjudi bebas berganti taruhan jika ayam yang dijagokan sebelumnya terlihat mau kalah, tentunya dengan nominal taruhan yang lebih besar. Misal, jika sebelumnya dia bertaruh Rp100 ribu di jago A, maka dia harus bertaruh Rp200 ribu di jago B, supaya keuntungannya bisa menutupi kekalahan sebelumnya.

“Walaupun kamu sedang adu jagomu sendiri, kamu juga harus jeli kalau bertaruh. Ketika ayam milikmu keliatan kalah, maka harus segera ganti taruhan ke ayam lawan. Lha namanya sudah di medan laga, masa jagoin yang kalah?” Ujar Mas Pria. 

Hari itu Mas Pria kurang beruntung, tapi juga tidak rugi. Awalnya dia menang Rp500 ribu, tetapi dia harus ikhlas karena prediksi di dua pertandingan selanjutnya salah.

Dalam arena laga, ada satu atau dua pencatat yang mondar-mandir menulis taruhan yang diteriakkan para penjudi dari tribun. Ketika pertandingan berlangsung, para penjudi akan meneriakkan nominal dan sisi ayam yang dia jagokan. 

Dengan tangkas, para pencatat tersebut menulis nominal dan nama penjudi sabung ayam, di waktu itu pula mereka menarik uang dari para penjudi yang kalah taruhan di pertandingan sebelumnya. Terlihat pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu berpindah dari satu tangan ke tangan lain. 

“Itu, bapak yang ada di seberang, dia di sini nggak main, tapi memberi utangan ke penjudi yang mau nambah modal. Kalau gagal bayar, motor pengutang bisa diambil sebagai jaminan.” Mas Pria mengatakannya begitu saja. Saya hanya melongo. “Bisa ya kayak gitu?”

Aparat yang geber motor di lokasi sabung ayam

Selesai melihat beberapa pertandingan, tenggorokan saya mulai haus, saya lanjut melipir ke warung di samping sasana. Terdapat sekitar delapan warung dengan masakan andalan yang berbeda, ada yang jual pecel, soto, nasi campur, ada pula yang hanya jual gorengan dan kopi. Ramainya para penjudi agaknya juga menambah pundi-pundi pendapatan penduduk sekitar. 

“Mas, sampean kemarin apa pas di sini?” Ibu pemilik warung serta-merta bertanya ke arah saya. Padahal saya sama sekali tidak paham apa yang beliau ingin bicarakan. 

“Mboten Bu, kemarin saya kebetulan di luar kota.” Jawaban itu saya usahakan terdengar datar, supaya saya terlihat paham situasi. 

“Kemarin itu Mas, orang-orang yang main lari semua. Ada yang sampai lompat pagar bambu itu. Padahal tingginya dua meter lho Mas, kalau kepepet kok ya bisa dilompati.”

Ternyata, beberapa hari yang lalu ada aparat yang geber motor di dekat lokasi. Para penjudi yang ketakutan pun lari tunggang langgang. Kesempatan ini juga dimanfaatkan para penjudi yang kalah taruhan untuk melarikan diri, mumpung uang kekalahannya belum ditarik. 

“Kasian mas panitianya, jadi rugi,” kata-katanya putus sebentar. “Selama saya di sini Mas, kejadian kayak gitu cuma berlangsung dua kali. Yang pertama itu sudah lama sekali, saya sampai lupa tahun kapan,” Ibu penjaga warung menutup kalimatnya. 

Teori sosiologi tentang lestarinya sabung ayam

Sabung ayam, bagaimanapun merupakan budaya yang sudah lama lestari di Jawa, cerita rakyat pun menyebutkan permainan ini sebagai jembatan dalam mengambil alih tahta kerajaan. Seperti yang tertuang dalam cerita rakyat Ciung Wanara dan Cindelaras. Keduanya memiliki setting kerajaan masa lalu dengan fokus cerita pada anak yang dijauhkan dari lingkungan istana, dan kemudian mendapatkan tahtanya kembali lewat bantuan ayam jago.

Saya mencoba menghubungi Mas Sulaiman (32), akademisi sosiolog asal Bantul. Beliau lantas meminta saya membaca satu bab tentang teori konstruksi realitas sosial yang dicetuskan oleh Peter Berger dalam buku Kisah Sosiologi karya Kevin Nobel Kurniawan.

Suasana sabung ayam di Bali. (Bali Where What When How, Indonesian Council for Tourism, 1958)

Dalam buku tersebut, Begel memaparkan penjelasan tentang “daya tahan” agama yang mampu melintasi zaman. Kontras jika dibandingkan dengan mitos maupun tradisi yang kadang bisa luntur. Berger memberikan tiga kata kunci: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. 

Pertama, eksternalisasi. Adalah proses penyerapan, dalam hal ini misalnya agama yang terserap dari Timur Tengah menjadi kelompok kepercayaan baru di belahan dunia lain. Kedua, objektivasi, adalah cara untuk mengokohkan kepercayaan supaya bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. Contohnya adalah adanya kitab suci dan karya tulis lain.

Ketiga, internalisasi. Merupakan proses individu untuk melakukan resonansi dengan objek atau simbol kepercayaan. Proses ini dikatakan berhasil jika makna sosial dari kepercayaan tersebut masuk ke dalam individu secara subyektif. 

Pemaknaan dalam konsep ini, atau kesakralan agama ini, memungkinkan suatu agama bisa bertahan lama. Secara simultan, ketiga proses ini berjalan bersamaan, hingga diwariskan sampai sekarang. 

Dalam kaitannya dengan sabung ayam, Mas Sulaiman menjelaskan bahwa proses konstruksi realitas sosial ini berlangsung mulai dari pengenalan judi sabung ayam yang mungkin berasal dari pulau lain, atau mungkin juga bisa dari buah pikir para leluhur di Jawa sendiri. 

Lanjut ke tahap objektivasi, menjadikan sabung ayam sebagai salah satu praktek judi, pemeriah acara hajatan, hingga menjadi ajang pembuktian kejantanan. Pada tahap internalisasi, sabung ayam telah masuk ke dalam individu sebagai budaya lokal yang dihormati dan perlu dilestarikan. Tentunya juga sebagai salah satu jalan pemuas hasrat berjudi. 

“Walaupun masyarakat di Indonesia berpegang agama, dan menganggap judi adalah pelanggaran sosial. Tetapi, karena sudah membudaya sebelum agama masuk, sabung ayam ini tetap berkembang kan? Makanya yang bisa dilakukan hanya menguranginya. Tugas polisi, pendidik, hanya bisa menghimbau supaya masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran setan penjudi,” Mas Sulaiman menutup kuliah singkatnya kepada saya.

Lebih jauh lagi, Serat Pararaton yang diselidiki oleh Dr. J.L.A. Brandes dan diteruskan oleh Prof N.J. Krom, yang kemudian dialih bahasa oleh Drs. R. Pitono Hardjowardo, juga menyebutkan satu babak perebutan kekuasaan yang melibatkan sabung ayam. 

Peristiwa itu adalah kematian Raja Singasari, Anusapati oleh Tohjaya, anak Ken Arok atau adik tirinya. Tohjaya tahu bahwa kayak tirinya terlibat dalam pembunuhan ayahnya. Di sisi lain, Anusapati selalu waspada dengan meningkatkan pengawalan ketat, bahkan tempat tinggalnya dikelilingi parit dalam. 

Tidak kurang akal, Tohjaya kemudian mengajak Anusapati untuk sabung ayam. Kegemeran dari Anusapati. Cerita singkatnya, saat Anusapati asyik menyaksikan ayam bertarung, Tohjaya menusuknya dengan menggunakan keris Mpu Gandring. Anusapati pun tewas seketika. Peristiwa itu terjadi pada tahun Saka 1171 atau tahun 1249 Masehi.

Reporter: Prima Ardiansah

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Agung Bentoel dan Cinta Pandangan Pertama pada Motor Mini liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version