Suara gamelan tengah malam jadi mitos melegenda di Jogja. Ada banyak tafsir, tapi kali ini pengrawit atau orang yang menabuh gamelan mencoba memberikan penjelasan tentangnya.
***
Malam itu suara gamelan terdengar mengalun merdu di Plaza Ngasem, Yogyakarta. Tidak ada kesan seram. Alunan alat musik tradisional Jawa ini dibawakan oleh anak-anak SD dengan penuh keceriaan.
Suara gending menjadi pengiring pementasan drama anak-anak pada acara Gamelan Concert, Yogyakarta Gamelan Festival 2023, Kamis (24/8/2023). Berlatar bangunan Taman Sari, pementasan itu menarik perhatian cukup banyak penonton. Riuh tepuk tangan para orang tua dan wisatawan terdengar setiap anak-anak menunjukkan aksinya dengan penuh percaya diri.
Acara ini memang ingin membumikan seni musik tradisional yang sudah jadi warisan budaya tak benda Indonesia ke-12 dari UNESCO. Sebab Jogja sebagai salah satu wilayah penting dalam pelestariannya punya banyak mitos yang menyelimuti kesenian ini.
Satu dekade tinggal di Jogja, meski belum pernah mendengarnya secara langsung, saya banyak mendapat cerita pengalaman mendengar suara gamelan tengah malam. Baik secara getok tular maupun cuitan-cuitan di media sosial.
Mereka mendengar suara gamelan di tengah malam
Beberapa waktu lalu, saat sedang mewawancarai warga di bantaran Kali Opak, Jetis, Bantul, seorang perempuan paruh baya bernama Susanti (59) secara spontan juga menceritakan pengalaman mendengarkan suara gamelan tengah malam dari arah sungai. Padahal, pertanyaan yang saya lontarkan seputar suara getaran tanah di sekitar Sesar Opak, sebuah patahan aktif rawan gempa di sekitar sana.
Di sela-sela konser, saya juga berjumpa dengan penonton yang menuturkan pengalaman mendengar suara gamelan tengah malam. Pengalaman itu ia alami beberapa kali pada 2019, tahun pertamanya tinggal di Jogja.
Saat itu, Maya Andini (22) tinggal di sebuah kos daerah Banguntapan, Bantul. Sebagai mahasiswa baru di Jogja, ia mengaku bingung dengan suara gamelan yang biasa ia dengar setelah lewat tengah malam.
“Suaranya lirih tapi kerasa dekat,” ujarnya.
Awalnya ia merasa biasa. Sebagai perantau dari Sumatera, ia membatin mungkin di Jogja memang lazim orang menabuh atau menyetel rekaman suara alat musik ini ketika malam.
Namun, setelah lebih dari tiga kali mendengar suara gamelan, karena penasaran ia mencoba bertanya kepada teman. Ternyata ia mendapati jawaban bahwa suara itu berkaitan dengan hal mistis.
“Setelah itu kalau dengar aku langsung pindah tidur bareng sepupu. Kebetulan kami ngekos di tempat yang sama,” kenangnya tertawa.
Sampai sekarang, pengalaman itu masih terus menjadi misteri baginya. Ia tinggal di kos itu selama enam bulan, sebelum akhirnya pindah. Setelah itu ia tak pernah lagi mendengar suara serupa.
Lewat media sosial, ia membaca beberapa mitos bahwa suara gamelan tengah malam merupakan pertanda seseorang telah mendapat penerimaan dari entitas tak terlihat untuk tinggal di Jogja. Namun, saat ini ia sudah tak ambil pusing soal mitos yang dulu sempat membuat bulu kuduknya berdiri jelang tidur. Sehingga ia pun tertarik untuk menonton YGF 2023.
Pengrawit jelaskan mitos suara gamelan
Setelah berbincang dengan Andini, saya berjalan ke belakang panggung pementasan untuk berjumpa dengan Sudaryanto (40). Lelaki asli Bantul ini adalah satu sosok yang mengawal divisi program YGF. Kebetulan ia juga seseorang yang menekuni dunia karawitan.
“Sudah sejak kecil saya belajar karawitan dan main gamelan,” ujarnya saat kami duduk di belakang panggung.
Aktivitasnya dalam dunia gamelan membawanya berkecimpung di YGF sejak 2009 silam. Selama aktif itu ia menyadari salah satu tantangan dalam melestarikan musik tradisional Jawa adalah menggaet anak muda.
Menurutnya banyak mitos yang menyelimuti gamelan. Seperti halnya cerita seputar suara gamelan tengah malam. Ia sering mendengar bahwa itu dianggap penanda bahwa seseorang sudah diterima untuk tinggal di Jogja
“Itu tentu getok tular. Tidak ada yang membuktikan bahwa itu jadi pertanda kan?” tanyanya seraya tertawa.
Sudaryanto tidak bisa menampik bahwa orang awam mudah mempercayai hal semacam itu. Ia mengutip sebuah pepatah bahwa panjang kerongkongan manusia bisa melebihi panjang jalan.
“Ya maksudnya cerita semacam itu bisa lebih mudah tersebar,” katanya.
Hal semacam itu menjadi tantangan lantaran orang kemudian menganggap gamelan menjadi sesuatu yang keramat. Anggapan semacam ini membuat anak muda menjauh dari instrumen musik tradisional ini.
Baca halaman selanjutnya…
Sisi metafisika gamelan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional
Sisi metafisika gamelan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional
Pada saat bersamaan, ia juga mengakui bahwa alat musik ini punya sisi metafisika yang kadang tak bisa ia jelaskan secara rasional. “Saya yang sudah lama dekat dengan gamelan pernah mengalaminya sendiri. Bukan sekali dua kali,” katanya.
Suatu ketika ia mengaku pernah menyaksikan tabuh di sebuah ruangan jatuh secara tiba-tiba. Padahal tidak ada goncangan maupun angin kencang lantaran areanya tertutup.
Pada kesempatan lain ia juga mengaku sempat mendengar gamelan berbunyi di sebuah ruangan. Padahal tidak ada seseorang pun yang berada di dalam tempat tersebut.
“Ya itu pengalaman nyata yang saya alami,” tuturnya.
Baginya gamelan memang punya sisi sakral. Di Keraton misalnya, ada alat musik yang menjadi bagian dari pusaka dan tidak bisa sembarang orang yang memainkannya. Namun, tetap ada yang untuk kebutuhan wisata dan bisa diakses oleh semua kalangan.
“Gamelan untuk wisata biasanya ada di Bangsal Sri Manganti misalnya,” terangnya.
Penting untuk memisahkan kedua hal ini sehingga tidak saling tumpang tindih. Terlebih, membuat sisi seram dari kesenian ini lebih dominan. Di luar lokasi yang memang menjadikannya sebagai pusaka, gamelan adalah alat musik biasa yang inklusif untuk siapa saja yang ingin memainkannya.
Perihal suara gamelan tengah malam, sebenarnya ia punya beberapa penjelasan rasional. Jogja adalah salah satu pusat pelestarian alat musik ini. Sehingga lumrah jika banyak terdengar suara tabuhan di beragam titik. Terutama di sekitar Keraton maupun pusat-pusat kebudayaan.
Bukan hal yang muskil pula jika tengah malam ada yang menyetel suara gamelan dari perangkat audio. Saat tengah malam suara merayap lebih jauh karena suasananya sunyi.
“Misalnya saya main gamelan di atas Taman Sari tengah malam, tanpa amplifikasi sound, suaranya pasti terdengar lebih jauh,” ujarnya seraya menunjuk bangunan bersejarah di belakangnya.
Melestarikan tradisi panjang di Jogja
Kini menurutnya, jadi momen untuk bersama-sama melestarikan alat musik ini. Terutama bagi kalangan muda di Jogja. Sebab wilayah ini punya gamelan dengan instrument yang kompleks dan khas.
“Instrumentasi gamelan paling lengkap itu ya di Jogja dan Solo. Walaupun alat musik ini ada di mana-mana dari Banyuwangi sampai Betawi,” terangnya.
Kedua daerah ini, menurut Sudaryanto, dulunya memiliki karakter yang sama yakni Mataraman. Perpisahan kedua wilayah ini menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti akhirnya turut membuat corak kesenian musiknya berbeda.
“Saat itu empu-empunya juga kemudian menjadi dua bagian,” katanya.
Belakangan ia melihat kedua tradisi gamelan di kedua daerah ini juga mulai kembali berakulturasi. Selain itu juga mulai banyak anak muda yang memadukan alat musik ini dengan beragam instrument lain seperti orkestra sampai musik elektronik.
Hal semacam ini jadi salah satu cara agar tradisi Jawa ini terus bertahan melintas zaman. Seperti malam di Plaza Ngasem saat itu, anak-anak menabuh gamelan dengan riang dan gembira.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Sedih Burung Kuntul di Dusun Ketingan karena Kena Jalan Tol
Cek berita dan artikel lainnya di Google News