Menak Sopal, merupakan tokoh penyiar agama Islam di masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Ia juga dianggap sebagai pahlawan pertanian di Kabupaten Trenggalek. Hasil perjuangannya masih bisa ditemui hingga sekarang di Dam (bendungan) Bagong. Sayang, tidak ada catatan resmi tentang kisah kehidupan beliau di masa lalu. Cerita tutur yang turun temurun menjelaskan jika pembangunan dam itu menumbalkan gajah putih.
***
Di siang yang tumben tidak turun hujan, saya mencoba memberanikan diri ke pesarean Ki Ageng Menak Sopal, tepatnya di Desa Ngantru, Kabupaten Trenggalek. Walaupun saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga SMA di Trenggalek, ini adalah kali pertama saya berkunjung ke sana.
Dengan langkah kikuk sehabis memarkir motor di depan pendopo kompleks makam, saya masuk menuju gerbang yang kebetulan terbuka. “Pak Ngapunten, kalau mau tanya tentang sejarah Menak Sopal, baiknya saya tanya ke siapa nggih?” Saya menghampiri bapak yang sedang membersihkan rumput di samping makam Ki Ageng Menak Sopal.
Bapak tersebut pun menyambut hangat. “Saya sebagai juru pelihara Mas, jangan disebut juru kunci. Kegampangan kalau cuma bawa kunci,” Pak Naim (65) mengucapkannya sambil tertawa.
“Apa? Mau tanya apa?” lanjut beliau.
Hingga kini, Pak Naim sudah menjadi juru kunci selama 16 tahun. Sejak 2006. Menggantikan mertuanya. Kami pun melanjutkan obrolan sembari duduk di sebelah timur nisan Ki Ageng Menak Sopal dan Dewi Roro Amiswati.
Suasana terasa sejuk, kami terlindung dedaunan pohon sambi. Kata Pak Naim, kelima pohon sambi di sana mungkin sudah ada sejak ratusan tahun. Sebelah selatan, pendopo dengan dominan warna coklat jingga berdiri kokoh di luar pagar kompleks makam.
Sembaru membenarkan posisi duduknya, Pak Naim bersiap menceritakan kisah yang entah sudah berapa kali beliau ceritakan ke para pengunjung makam.
Kisah Dewi Roro Amiswati mencari kesembuhan
Menurut cerita yang Pak Naim ketahui. Ketika zaman Demak Bintoro, saat Majapahit di penghujung keruntuhan. Dewi Roro Amiswati, menderita penyakit kulit yang berbau amis. Pihak Kerajaan Majapahit telah berusaha kemana-mana untuk menyembuhkannya. Namun, tidak ada hasil. Hingga puncaknya, beliau dititipkan ke Ki Ageng Sinawang Trenggalek, atau biasa juga disebut Mbah Kawak.
Mbah Kawak lantas menjadikan Dewi Roro Amiswati sebagai anak angkat. Di padepokannya, Ki Ageng Sinawang mengusahakan kesembuhan Dewi Roro Amiswati, namun juga tidak ada hasil.
Dewi Roro Amiswati kemudian disuruh berendam di babagan sing megung, kali yang terlihat tenang namun dalam, di Kedung Bagong sana, jauh sebelum Dam Bagong dibangun. Versi lain mengatakan jika beliau juga berguru dan berobat di Sendang Kamulan, sekarang sekitar Pondok Tengah Kamulan, Kecamatan Durenan, Trenggalek.
Selain mengupayakan kesembuhan dengan berendam, diadakan juga sebuah sayembara. Kira-kira begini bunyinya: “Siapa-siapa yang bisa menyembuhkan, kalau laki-laki dijadikan suami, kalau perempuan dijadikan saudara.”
Sayembara terdengar ke mana-mana. Hingga ke telinga Menak Srobo. Beliau, menyembuhkannya dengan menjilat seluruh tubuh Roro Amiswati. Setelah sembuh, Dewi Roro Amiswati diajak pulang ke padepokan Ki Ageng Sinawang Trenggalek. Kemudian mereka berdua dinikahkan.
Di zaman itu, Menak Srobo sudah beragama Islam, namun Ki Ageng Sinawang Trenggalek masih beragama Hindu.
Selama menjadi satu dengan Ki Ageng Sinawang Trenggalek, Menak Srobo mengerjakan salat dengan sembunyi-sembunyi. Dewi Roro Amiswati pun diperingatkan, supaya jangan membuka pintu kamar tertentu ketika magrib.
Dewi Roro Amiswati penasaran, mengapa setiap magrib tidak boleh membuka pintu itu. “Padahal, sebenarnya Menak Srobo tiap magrib menjalankan sholat,” Pak Naim menekankan.
Ketika hamil, akhirnya beliau membuka pintu tersebut. Lantas beliau kaget, tampak seseorang berwujud buaya putih. Buaya tersebut kemudian bicara
“Aku ini sebenarnya suamimu. Ini semata adalah ilmu untuk mengelabui musuh.”
Menak Srobo menguasai ilmu tersebut untuk mendukung keselamatannya, karena dia adalah pengembara. Ia kemudian berpesan supaya kelak ketika anaknya lahir, dia dinamai Menak Sopal. Setelah itu Menak Srobo menghilang.
Dam Bagong dan Gajah Putih
Bertahun-tahun setelah Menak Sopal beranjak dewasa. Beliau merasa tanah Trenggalek gersang, penduduk banyak yang sawahnya kekeringan. Selain itu, beliau juga mengemban amanah untuk menyiarkan agama Islam. Hingga beliau mendapat ide untuk membangun dam (bendugan) sekaligus menjadi media dakwah.
Selama membangun dam, Menak Sopal merasa ada janggal. Pagi dibangun, sore jadi, besoknya jebol lagi, dan itu berulang. Beliau lalu minta petunjuk kepada ibunya.
Dam Bagong yang sudah ada sejak abad ke-16. (Prima Ardiansah/Mojok.co)
“Tidak lain, yang merusak itu bapakmu sendiri, untuk menguji kesabaranmu,” Pak Naim memperagakan cara Dewi Roro Amiswati menenangkan anaknya.
Setelah itu, Menak Sopal bertapa. Selama menjalani laku semedi, beliau mendengar suara: “Dam bisa jadi kalau sudah kamu sembelihkan gajah putih.” Menak Sopal lantas mengutus prajuritnya untuk mencari pinjaman gajah putih. Kebetulan yang punya adalah Mbok Rondo Krandon yang berdomisili di Ponorogo.
“Jangan bingung, waktu itu Trenggalek dan Ponorogo jadi satu. Tempatnya Mbok Rondo itu Ponorogo sebelah Timur,” Pak Naim menjawab kebingungan yang tampak dari wajah saya. Trenggalek juga pernah jadi satu dengan Tulungagung, juga pernah jadi satu dengan Ponorogo. Namun tetap dalam satu wilayah Majapahit.
Ketika meminjam, diucapkan bahwa gajah putih tersebut diperlukan untuk membantu membangun dam, setelah jadi akan dikembalikan. “Begitu janjinya,” Pak Naim kembali menekankan.
Tetapi, karena syaratnya adalah kepala harus disembelih dan dipersembahkan atau ditumbalkan dengan cara dicemplungke (dibenamkan) di kedung, maka Gajah tersebut tidak bisa kembali. Daging gajah juga dimasak untuk pekerja pembangun dam.
“Jadinya dam itu di hari Jumat Kliwon bulan Selo. Makanya selalu diperingati di hari yang sama.”
Semakin hari, karena gajah putih sudah lama tidak dikembalikan, Mbok Rondo Krandon menagih ke padepokan Ki Ageng Sinawang. Menanyakan apakah Menak Sopal pernah berguru di sana.
“Padahal, kalau diturut, Menak Sopal itu cucu angkat Ki Ageng Sinawang sendiri,” jelas Pak Naim sambil tersenyum.
Ki Ageng Sinawang pun mengakui. Mbok Rondo Krandon lanjut menagih ke Ki Ageng Sinawang tentang Gajah yang dipinjam Menak Sopal. Tetapi Ki Ageng Sinawang bilang kalau gajahnya sudah tidak ada. Hal ini membuat kaget Mbok Rondo Krandon.
Ki Ageng Sinawang menjelaskan dengan hati-hati kalau gajah putih itu disembelih bukan untuk pribadi Menak Sopal. Tapi untuk memakmurkan rakyat Trenggalek. Karena dengan adanya dam, rakyat Trenggalek bisa bisa panen tiga kali dalam setahun. Hingga akhirnya Mbok Rondo Krandon menyadari dan mengikhlaskan.
Sebelum Mbok Rondo Krandon ke padepokan, beliau sudah mengutus prajurit untuk mencari dan menunggu Menak Sopal di sekitar Pucanganak, tepatnya di Gunung Bubuk. Ada riwayat mengatakan: “Walau sampai tombaknya bubuken (dimakan rayap hingga menjadi bubuk), tidak akan bisa ketemu.”
Karena waktu itu, Menak Sopal dibantu bapaknya, Menak Srobo, sudah membuat lorong yang tembus Telaga Ngebel di Ponorogo. “Artinya, sudah berunding disana supaya tidak terjadi pertumpahan darah,” jelas Pak Naim.
“Kebetulan Bathoro Katong itu saudara beda ibu dengan Dewi Roro Amiswati. Sehingga, Menak Sopal itu masih keponakan Bathoro Katong. Menak Sopal juga pernah diangkat jadi muridnya. Sehingga masih ada hubungan dengan Ponorogo. Pun Menak Srobo juga awalnya adalah pengembara dari Majapahit.” Tambah Pak Naim.
Kisah tentang Batoro Kathong bisa dibaca di Jejak Bathoro Katong, Anak Prabu Brawijaya V yang Dirikan Ponorogo
Dengan dibangunnya dam, semakin hari rakyat Trenggalek semakin mapan, semakin makmur karena bisa panen tiga kali setahun. Karena jasa itu pula, lama-lama rakyat Trenggalek tertarik masuk agama Islam.
Upacara larung kepala kerbau
Hingga saat ini, upacara Jumat Kliwon di Bulan Selo masih lestari. Hanya ada yang dikurangi. Selama dua tahun pandemi ini, kerbau tetap disembelih, tetapi daging dibagi mentah, tidak seperti tahun sebelumnya yang dibagi ketika sudah matang.
Acaranya pun disingkat, tidak ada hiburan seperti dulu. Syukur, pada peringatan tahun kedua pandemi, hiburan wayang ruwatan bisa dilaksanakan, walaupun dimulai dari sekitar pukul satu sampai setengah empat. Tanpa penonton.
Setelah selesai, dilanjutkan larung kepala kerbau yang selesai sekitar pukul setengah lima pagi. Dulu sebelum pandemi, larung ini bisa pukul delapan atau sembilan, tergantung kehendak Bupati.
“Sebelum Covid, ada hiburan jaranan, wayangan, campursari, panjat pinang, lepas lele. Ada pemutaran film juga. Ketika ada Covid ya dihapus semuanya. Tempatnya ya di sini, pusatnya di pendopo,” Pak Naim menunjuk pendopo di depan. Kami pun lanjut membahas tentang kompleks Makam.
Makam Ki Ageng Menak Sopal bersebelahan dengan makam ibunya, Dewi Roro Amiswati. Makam beliau berdua berada di tengah area kotak berpagar. Pagar yang mengelilingi berwarna putih dengan tinggi sekitar satu meter. Sebelah timur nisan beliau berdua, terdapat makam lima punggawa, sebelah barat terdapat makam empat punggawa.
“Jumlah makam punggawanya ada sembilan, seperti jumlah Walisongo, juga sebagai simbol bahwa warga Trenggalek sudah masuk Islam. Walaupun yang Islam pertama itu bapaknya. Menak Srobo,” ucap Pak Naim serius.
“Cucu dari Ki Ageng Menak Sopal sendiri ada yang dimakamkan di Panggul, Trenggalek. Keturunan beliau yang kesembilan kini jadi juru kunci di sana.”
Selain itu, istri dan anak Ki Ageng Menak Sopal juga ada yang di Pacitan. “Ada di sana karena beliau menyiarkan agama Islam sampai Pacitan hingga Malang Selatan,” jelas Pak Naim.
Padepokan Ki Ageng Sinawang, kira-kira ada di dekat pendopo Kabupaten Trenggalek. Sedangkan untuk tempat pemerintahan Ki Ageng Menak Sopal, Pak Naim sendiri mengaku kurang begitu tahu dimana pastinya.
Terkait dengan gajah putih, batu tempat mengikatnya masih ada di dekat STKIP PGRI Trenggalek. Situs makam Mbok Rondo Krandon juga ada di Desa Kerjo, Karangan, Trenggalek.
Saya lantas menanyakan kabar bahwa nisan Ki Ageng Menak Sopal dan ibunya yang hilang beberapa tahun lalu. Memang hanya terlihat satu nisan di makam beliau berdua, tidak seperti makam lain yang nisannya dua, lengkap. Sejenak Pak Naim terdiam. Peristiwa tahun 2019 lalu itu juga mengejutkannya.
“Ini hilangnya barusan Mas, Minggu Kliwon, pada sepertiga malam terakhir. Halah Mas, waktu itu saya repot laporan kemana-mana, lapor kelurahan, kecamatan, Polsek. Banyak tamu yang datang ke sini Mas, peneliti dari Trowulan juga ada.”
Pak Naim tidak membahasnya lebih lanjut, walaupun sebenarnya sempat ada titik terang tentang kabar nisan yang hilang itu. “Tidak perlu ditulis Mas,” beliau lantas tertawa.
Saya lanjut menanyakan makam Ki Ageng Menak Sopal yang tidak diberi tutup, hanya terlihat kerangka besi saja.
Beliau menceritakan bahwa sebenarnya ada pejabat yang mau pasang atap permanen. Tetapi ketika dikomunikasikan dengan yang disini, dijawabnya begini: “Pahlawan itu tidak takut kehujanan, tidak takut kepanasan.”
Sehingga Pak Naim memutuskan hanya memasang penutup kain putih pada rangka besi yang sudah ada di sana pada hari-hari tertentu. Tepatnya, pada Jumat Pon dan Jumat Kliwon di bulan Selo.
Makam Ki Ageng Menak Sopal Bukti Masuknya Islam di Trenggalek
Dalam Buku Sebelum Trenggalek Kini karya Misbahus Surur, tertera bahwa tidak ada bukti tertulis kapan pastinya agama Islam masuk ke Trenggalek. Peninggalan khas Islam tertua yang ada dan ditemukan sampai sekarang adalah Makam Ki Ageng Menak Sopal itu sendiri.
Batu nisan beliau, terbuat dari batu andesit dengan beberapa ukiran. Begitu pula pada nisan di sebelahnya. Pada nisan di samping Ki Ageng Menak Sopal, terdapat ukiran candra yang ditengahnya terukir motif daun bunga empat helai. Dalam buku ini, makam di sebelahnya ditengarai sebagai istrinya, bukan ibu beliau, seperti yang diceritakan Pak Naim.
Menurut penelusuran dari Tim Sejarah Trenggalek, dalam Sejarah Kabupaten Trenggalek, gambar pada makam di samping makam Menak Sopal kemungkinan merupakan candra sengkala, yang menurut Tim Sejarah Trenggalek berbunyi: Sirnaning Puspita Cinatur Wulan, yang jika diterjemahkan secara terbalik, memiliki arti tahun 1490 Saka, atau 1568 Masehi.
Pada pertengahan abad itu, wilayah Trenggalek masuk dalam wilayah kerajaan Pajang. Syiar agama Islam di Trenggalek, kemungkinan besar berasal dari arah Ponorogo, bukan dari Tulungagung. Mengingat pada zaman yang sama, Bathoro Katong sudah menyebarkan agama Islam.
***
Sebelum saya pamit untuk melihat Dam Bagong, Pak Naim mengingatkan. Dari semua ceritanya, ada yang boleh ditulis dan ada yang tidak boleh ditulis.
“Yang saya minta ya gitu Mas, hidup di dunia cari jalan yang terang, tidak saling menyalahkan. Ada perbedaan itu biasa, karena kita hidup berdampingan. Kalau ada orang salah, terus diingatkan itu ya wajar.”
Reporter: Prima Ardiansah
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Joko Mentik Si Pawang Hujan, Dapat Ilmu dari Sang Kakek dan liputan menarik lainnya di Susul.