Menemukan Ruspandi

Inilah kisah Ruspandi dan keluarga Ruspandi dan rumah Ruspandi. Kisah tentang bagaimana ketiga hal itu menjadi suatu kesatuan, sehingga di Indramayu, jika kita bicara tentang rumah Ruspandi, yang kita maksud bukanlah struktur beton tua yang melapuk dan pecah-pecah dan ditumbuhi lumut di beberapa bagiannya dan dihiasi beberapa jenis bunga dan selokan berbau apak. Bukan. Rumah Ruspandi adalah kesatuan manusia-manusia yang memancarkan kemanisan dan keriangan hidup, kedermawanan dan, pada akhirnya, kemurungan mistis.

Di Indramayu, kota tua di jalur Pantura itu, tidak semua orang tahu kisah ini. Tidak banyak yang berniat menceritakan atau membicarakannya barang sepintas lalu. Karena itu, tepatlah bila kisah ini segera ditulis. Agar para ahli dan politikus dan para penyelenggara negara di kemudian hari tidak menganggap Ruspandi dan keluarganya hanyalah tokoh-tokoh sebangsa Baridin Jaran Goyang atau Marhaen atau Lintang Laskar Pelangi. Jangan sampai para politikus itu berkata, “Ruspandi, keluarga Ruspandi, dan rumah Ruspandi sebetulnya tidak ada. Ruspandi itu penjelmaan sikap zuhud. Anggota keluarga Ruspandi merupakan simbol keteguhan hati.” Untuk mengusir cibiran orang-orang berpandangan miring itu, sekarang dan untuk selamanya, kisah ini ditulis.

Di Stasiun Jatibarang, Dea Anugrah dan saya kebetulan menemukan sepasang tukang ojek terbaik di dunia. Ini murni kebetulan sebagaimana pertemuan dua insan bertabrakan di jalan raya dan kelak saling jatuh cinta seperti di sinetron-sinetron. Dari sekian ratus sopir ojek di Jatibarang, kami bertemu Murjani dan Ruspandi. Mereka berdua punya pertentangan sekaligus kecocokan yang jauh lebih dahsyat daripada Batman dan Robin atau Upin dan Ipin.

“Siapa nama temanmu itu, Mas?” tanya Ruspandi. Sebelum kami berangkat, beberapa kali saya menyebut nama Dea. Ruspandi sepertinya ingin meyakinkan diri yang ia dengar benar: di dunia ini ada seorang pemuda jatmika bernama Dea.

“Dea.”

Hening sejenak. Saya menarik botol besar Aqua dari saku samping ransel, melihat sawah-sawah yang telah berubah jadi empang. Bersamaan dengan tegukan pertama dari botol, Ruspandi bersuara lagi.

“Ooo, tetangga saya juga ada yang namanya Dea,” katanya, “tapi dia janda.”

Tersedak saya.

“Mau apa ke Karangsong, Mas?”

“Mau menyeberang ke Pulau Biawak.”

Murjani dan Dea melesat dan menghilang dari kerumunan kendaraan di hadapan kami.

“Hati-hati, Mas, di sana.”

“Memangnya kenapa?”

“Biawaknya banyak banget, ganas, suka ngamuk. Bahaya.”

“Wah, Pak Ruspandi pernah ke sana?”

“Pernah, Mas, ikut syuting Panji Sang Penakluk. Banyak ular juga di sana, gede-gede.”

Ruspandi tipe pengendara yang suka bicara sambil mengemudi. Ia seolah tak sudi menduduki jok motornya tanpa membuang abab. Berkebalikan dengan Ruspandi, Murjani cenderung malu-malu dan irit bicara meski tak pernah malu menyisir rambutnya saban melepas helm atau ketemu orang baru. “Dia itu nggak bisa bahasa Indonesia, Mas,” kata Ruspandi tentang temannya, “cuma bisa Jawa. Waktu dia SMP, guru Bahasa Indonesianya mati.”

Sekolah yang baik pasti mengganti guru yang mati, pikir saya.

Belakangan, ketika kami berhenti sebentar di tengah jalan, Dea bilang kepada saya, “Bisa kok. Tadi, Pak Murjani ngomong Indonesia.”

Tentu saja.

Setengah jam berikutnya Ruspandi terus membual tentang pelbagai hal asyik di Kota Indramayu dan gadis-gadis yang kami lihat di jalan. Ia juga berkomentar tentang Jakarta yang dipahaminya dari layar televisi.

Di Karangsong, kami harus menemui beberapa petugas dishub yang berlagak jagoan. Petugas yang menjaga pintu masuk menerima kami dengan muka masam dan mengatakan untuk ke Pulau Biawak kami harus menunggu sampai pukul 2 malam; menanti cuaca agak kalem dan harus naik speedboat.

Ruspandi mondar-mandir mencari informasi pembanding. Kami menemui sekumpulan petugas lain dan memperoleh informasi yang sama. Tetapi, ketika kami bilang “Mau liputan. Kami wartawan dari Jakarta,” air muka mereka berubah, mendadak murah senyum dan, dengan kesopanan yang kaku, mengarahkan kami ke kantor syahbandar.

Untung ada Ruspandi. Semua beres kalau ada Ruspandi. Puas menghina Murjani yang ke sana kemari hanya cengengesan dan semakin sering menyisir rambut karena angin laut bertiup kencang, Ruspandi mengajak kami langsung ke rumah nelayan bernama Rohmin yang biasa membawa penumpang ke Pulau Biawak, kira-kira tujuh ratus meter dari pelabuhan.

“Pak Rohmin ini pasti kepalanya pitak. Semua Rohmin kepalanya pitak,” kata Ruspandi. Teori yang bagus. Terserah.

Benarkah di Pulau Biawak banyak ular yang gede-gede?

“Nggak ada, Mas. Ular kalah sama biawak yang badannya lebih besar dan jumlahnya lima ribuan,” kata Taryono, penjaga mercusuar di pulau itu.

Benarkah biawaknya ganas?

Beberapa saja yang kelihatan garang dan sering mendesis dan berlari kencang, sebagian besar condong “penurut” dan lamban.

Nelayan yang mengantar kami berambut lebat. Mungkin karena namanya bukan Rohmin. Dua hari kemudian Ruspandi dan Murjani menjemput kami di Karangsong. Saya minta Ruspandi memandu kami mengunjungi tempat-tempat asoi yang sebelumnya ia sebutkan.

“Beres,” katanya.

Murjani dan Ruspandi

Untung ada Ruspandi. Semua beres kalau ada Ruspandi. Sejak pukul 6 sore kami meninggalkan hotel; Indramayu diguyur hujan. Sonder jas hujan, kami dibawa Ruspandi berputar-putar keliling kota selama tiga jam dan tak menemukan satu tempat pun yang enak buat nongkrong. Murjani tetap menjadi Murjani. Sepanjang jalan pulang Ruspandi tak henti-hentinya minta maaf.

“Besok pagi boleh saya main ke rumah sampean?” tanya saya. Ia mengangguk.

Kediaman Ruspandi di perkampungan padat Blok Kesambi Desa Sleman, Kecamatan Sliyeg. Turun dari motor, ia melepas topinya yang bertuliskan #TukangNyilit, menarik napas panjang, tersenyum, lalu mempersilakan saya masuk.

Ruspandi yang saya kenal beberapa hari sebelumnya menjadi sosok berbeda begitu melewati pintu rumahnya. Istri dan putranya yang berusia empat tahun keluar dari kamar depan, menyalaminya. Ia memperkenalkan saya. Si bocah malu-malu dan Ruspandi menuntun tangan anaknya menyalami saya. Ia kemudian diam. Istrinya cerewet menceritakan kondisi keluarga. Putri Ruspandi, tiga belas tahun, baru pulang dan langsung mengempaskan badan di kursi depan televisi, menonton sinetron.

Istrinya membikinkan kopi, Ruspandi ke belakang memandikan putranya.

“Beginilah rumah kami, Mas, rumah mertua,” katanya seraya memakaikan baju anaknya. Kekonyolannya muncul lagi saat ia menggelitiki si bocah. Tapi sebentar kemudian ia kembali sungguh-sungguh. Putrinya beranjak, masuk ke salah satu kamar dan keluar membawa handuk.

“Dia lagi merajuk. Hapenya rusak, belum saya servis,” kata Ruspandi. Ia menceritakan dengan nada bangga betapa pandai si sulung memanfaatkan gawai. “Kalah pintar saya, tapi sering mengambek kalau tidak dibelikan pulsa.”

Istri Ruspandi muncul dari dapur membawakan dua mangkuk makanan. “Seadanya, Mas,” ujarnya, lalu kembali ke dapur. Dedaunan rebus itu kelihatannya seperti daun singkong, dibungkus daun pisang dan disiram bumbu kacang.

“Ini santapan paling enak selama saya di Indramayu,” saya memuji sungguh-sungguh.

“Sayur semanggi, Mas, pasti nggak ada di Jakarta,” kata Ruspandi.

“Adanya Plaza Semanggi.”

Beres makan, kami merokok dan berbincang-bincang ringan sambil menonton televisi yang menyiarkan Transformers: Age of Extinction. Di sela-sela embusan rokoknya, Ruspandi lebih sering menatap kosong layar televisi. Anak perempuannya keluar dari kamar, menyelonong meninggalkan rumah. Ruspandi menoleh lalu kembali mengisap rokok.

“Dia satu-satunya harapan saya, Mas. Saya sekolahkan dia biar jadi TKW.”

Ia menggigit jempol kirinya.

*Artikel ini kali pertama tayang di Tirto.id

Exit mobile version