Sebelum santer dikaitkan dengan lokasi KKN di Desa Penari, Rowo Bayu memang menyimpan banyak sejarah yang tersembunyi. Lokasi ini merupakan tempat petilasan Prabu Tawang Alun, pemimpin Kerajaan Blambangan.
***
Beberapa hari terakhir nama Rowo Bayu jadi populer di dunia maya. Ini lantaran dikaitan dengan lokasi asli KKN Desa Penari. Apalagi setelah ramai wawancara Menteri BUMN Erick Thohir dengan Pengelola Rowo Bayu. Spekulasi Rowo Bayu menjadi lokasi asli KKN Desa Penari bermula ketika SimpleMan, penulis utas kisah KKN Desa Penari pada tahun 2019, mengunggah foto Rowo Bayu.
Walaupun pada akhirnya ia menegaskan bahwa itu hanyalah foto ilustrasi namun lokasi ini kadung dipercaya oleh warganet sebagai lokasi asli kisah viral KKN Desa Penari yang filmnya kini sedang diputar di bioskop. Di luar dari kisah horornya dan kesuksesan film KKN Desa Penari, lalu apa sebenarnya Rowo Bayu ini dan bagaimana warga Banyuwangi memposisikan tempat tersebut?
Untuk menjawab semua pertanyaan itu, Jumat (20/05/2022) siang, saya menemui Heri Susanto warga lokal yang berasal dari Desa Bangunsari, Kecamatan Songgon, Banyuwangi, Jawa Timur. Ia dengan senang hati mengantarkan saya ke Rowo Bayu yang tak lain adalah lokasi Petilasan Prabu Tawangalun. Rowo Bayu berada di Dusun Sambungrejo, Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi.
Perjalanan menuju ke Rowo Bayu saya tempuh dari rumah Heri dengan waktu 45 menit, menerabas pasar, rumah warga hingga hutan belantara. Setibanya di sana saya memarkirkan sepeda motor di dekat pintu loket tiket masuk petilasan tersebut. Menurut Heri, Petilasan Prabu Tawang Alun saat ini di kelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Banyuwangi.
Setiap pengunjung yang datang akan dibebankan biaya masuk untuk tiket dan parkir kendaraan. Saya membayar Rp10 ribu untuk dua orang dewasa dan Rp2 ribu untuk biaya parkir kendaraan. Heri mengatakan wilayah Rowo Bayu berada di kawasan Kesatuan Rencana Pengelolaan Hutan (KRPH) Perhutani Banyuwangi Barat. Sejak kecil ia selalu mendengar cerita dari orang tuanya bahwa tempat tersebut wingit (keramat).
Lokasi Perang Puputan Bayu
Rowo Bayu berada di kaki Gunung Raung. Selain banyak menyimpan misteri, wilayah tersebut juga erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Blambangan—kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Rowo Bayu merupakan telaga yang tersembunyi di balik rimbunnya hutan alam Songgon. Jika dilihat secara etimologi, kata ‘rowo’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti danau, sementara ‘bayu’ berarti angin.
Heri menjelaskan biasanya pada bulan Desember, Pemkab Banyuwangi menggelar napak tilas dalam balutan festival yang bernama Festival Rowo Bayu. Bulan tersebut sangat bersejarah bagi bumi Blambangan. Sebab pada bulan Desember, 250 tahun yang lalu, terjadi perang besar Puputan Bayu antara rakyat Blambangan melawan VOC (Belanda) yang kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Banyuwangi.
“Setiap melihat peringatan ini saya selalu terkenang heroisme para pejuang,” kata pria 26 tahun tersebut.
Biasanya, lanjut Heri, napak tilas itu diikuti ratusan orang dari seluruh penjuru Banyuwangi. Mereka menyusuri rute sepanjang 10 kilometer yang menjadi jalur perang Puputan Bayu. Dimulai dari Desa Parangharjo menuju hutan Rowo Bayu yang diyakini menjadi lokasi perang besar tersebut. Warga Songgon selalu menyambut antusias tradisi ini.
Ia ingat betul sepanjang rute yang dilalui peserta, warga dengan sukarela menyiapkan makanan dan minuman ringan yang bisa dinikmati secara gratis oleh para peserta napak tilas. Makanan tradisional seperti ubi, talas, jagung dan kacang rebus hingga bubur ketan hitam tersedia. Pun berbagai atraksi juga mereka tampilkan untuk menyemangati para peserta.
“Atraksinya mulai permainan musik tradisional Banyuwangi, lantunan lagu-lagu Osing hingga atraksi Barong Kumbo,” ujarnya.
Tempat menyepi dan semedi
Siang itu saya berencana menemui Pak Saji, Juru Pelihara (Jupel) Petilasan Prabu Tawang Alun yang berada di area Rowo Bayu. Setibanya di lokasi ternyata ia sedang beristirahat di kediamannya yang berjarak 2 kilometer dari tempat yang saya kunjungi.
Maklum Jumat itu adalah Jumat manis dalam penanggalan Jawa, sehingga pada malam hari cukup banyak warga yang berada di petilasan tersebut. Demikian juga saat siang itu saya bertemu dengan Bu Sulastri, istri Pak Saji yang secara bergantian menjaga pertapaan tersebut.
“Suami saya sedang istirahat di rumah, semalam banyak tamu yang datang,” katanya ramah sambil mempersilahkan kami berdua duduk di bangku kayu di sekitar petilasan.
Saya pun sempat menanyakan beberapa pertanyaan tentang sejarah keberadaan petilasan. Termasuk perihal Rowo Bayu. Diceritakan oleh Sulastri bahwa petilasan ini adalah milik salah satu Raja Blambangan yang tidak menginginkan ada perang saudara di kerajaannya. Namanya Prabu Tawang Alun. Ia harus meninggalkan tahtanya, dan kemudian jadi pertapa di Rowo Bayu.
Sulastri mengatakan sebelum menjadi lokasi pertapaan, Rowo Bayu merupakan hutan lebat yang dikenal wingit dan menyimpan kisah mistis. Konon karena sangat angker, kala itu tidak ada yang berani ke hutan tersebut. Sampai akhirnya Prabu Tawang Alun yang menemukan tempat tersebut untuk menyepi dan bersembah semedi di pertapaan kaki Gunung Raung.
Menurut Lastri sapaan akrab Sulastri, Rowo Bayu memiliki lima sumber mata air, yakni sumber mata air Kaputren, Dewi Gangga, Kamulyan, Panguripan dan sumber mata air Rahayu. Rowo Bayu tidak hanya tempat wisata alam saja, tapi juga sebagai tempat wisata religi bagi beberapa umat. Pengunjungnya tudak hanya dari Banyuwangi, tapi juga dari wilayah lain.
Sumber mata air di Rowo Bayu dipercaya berkhasiat bagi orang yang meminum atau membasuh wajah dan bagian tubuh lainnya. Misalnya sumber air Kaputran untuk mereka yang ingin punya penerus baik. Sedangkan sumber air Dewi Gangga khusus bagi yang ingin keturunannya cantik. Pun sumber mata air Kamulyan dan Panguripan selalu ramai dikunjungi masyarakat yang ingin memperbaiki kehidupan.
“Kamulyaan itu artinya kemuliaan. Sementara panguripan artinya kehidupan yang layak. Banyak pejabat yang datang ke sini,” terangnya.
Awal pemerintahan Blambangan baru
Lebih jauh Lastri menjelaskan, Petilasan Prabu Tawang Alun merupakan sebuah bangunan candi yang ada di sekitar Rowo Bayu. Di dalamnya ada sebuah tempat pertapaan yang dipercaya masyarakat sebagai tempat Prabu Tawang Alun semedi ketika memilih pergi menyepi. Suatu ketika suara gaib menggema dan berbicara dengannya untuk pulang dan menunggangi macan putih mengarah ke timur.
Hingga akhirnya ia membuka Hutan Sudimara, membuat pemerintahan Blambangan yang baru berjuluk Macan Putih. Nantinya Prabu Tawang Alun merupakan moyang penguasa di bumi Blambangan. Hingga beberapa abad kemudian muncul banyak pemimpin Blambangan (Banyuwangi) yang berasal dari keturunannya.
“Saat ini Desa Macan Putih itu ada di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, berjarak 17 kilometer dari sini,” jelasnya.
Lastri menambahkan Prabu Tawang Alun dipercaya moksa di sekitar telaga Rowo Bayu. Lokasinya tidak jauh dari tempat meditasi sang Raja. Berada di pojok kanan sebelah utara dari telaga. Tempat itu kini ramai didatangi tamu dari berbagai daerah.
Banyak yang datang ke tempat tersebut dengan berbagai hajat. Selain menjadi wilayah yang dikembangkan untuk tempat wisata religi area Rowo Bayu juga digunakan masyarakat umat Hindu sebagai tempat yang sakral lantaran adanya Pura Candi Puncak Agung Macan Putih yang ada disana.
“Sehingga tidak heran banyak orang yang datang berkunjung juga berasal dari luar Kabupaten Banyuwangi,” kata perempuan yang berasal dari Kecamatan Blimbingsari tersebut.
Reporter: Fareh Hariyanto
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Rumah Hantu Malioboro dan Alasan Orang-orang Suka Sesuatu yang Horor dan liputan menarik lainnya di Susul.