Imlek di kota Solo sangat lekat dengan ibadah di Klenteng Tien Kok Sie. Jika melihat dari sisi sejarahnya, klenteng ini dibangun tak berselang lama dari kepindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Klenteng ini diklaim sebagai klenteng tertua di Jawa Tengah.
***
Suasana di kawasan Pasar Gede Harjonagoro dan Balai Kota Solo pada Senin (31/1) malam sangat riuh. Masyarakat memadati kawasan ini untuk berfoto dengan hiasan lampion yang menjadi penyemarak Tahun Baru Imlek 2573. Bahkan untuk berjalan kaki dengan nyaman di jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo saja sangat sulit karena padatnya pengunjung lampion pada malam tahun baru China ini.
Namun, suasana kontras ditemui di Klenteng Tien Kok Sie yang berlokasi tepat di sisi selatan Pasar Gede Harjonagoro. Setelah berjuang menerobos kerumunan warga yang ingin berswafoto dengan lampion, saya akhirnya sampai di depan Klenteng Tien Kok Sie sekitar pukul 21.00 WIB.
Ibadah Imlek di Klenteng Tien Kok Sie
Sesampainya di klenteng, saya masuk dengan meminta izin penjaga. Mengingat tempat ibadah ini dibatasi pengunjungnya untuk mengantisipasi penularan Virus Covid-19. Setelah izin diperoleh, saya langsung masuk ke dalam klenteng. Aroma dupa langsung menguar tajam menusuk hidung.
Di bagian depan klenteng kita langsung menemukan altar persembahan. Di altar ini tersusun rapi jeruk dan berbagai buah lainnya sebagai pendukung peribadatan. Di bagian ujung kanan kirinya ada hiasan bunga sedap malam yang juga bagian dari persembahan.
Masuk lebih dalam lagi, belasan orang silih berganti berdoa dengan khidmat. Mereka memanjatkan doa dengan khusyuk di malam pergantian tahun ini. Tak seperti biasanya, di malam Imlek kali ini, umat yang bersembahyang di Klenteng Tien Kok Sie tak banyak. Hanya sekitar belasan orang yang berdoa silih berganti.
Tepat pukul 21.00 WIB, orang-orang kemudian berkumpul. Mereka memulai upacara sembahyang tahunan untuk pergantian tahun. Ibadah dipimpin oleh satu orang pendeta yang kemudian diikuti umat yang lain. Ada sekitar 20-an orang yang mengikuti ibadah ini. Mereka berdoa dengan khusyuk tanpa terganggu ingar bingar warga di luar Klenteng. Ibadahnya tak berlangsung lama, hanya sekitar 15 menit. Setelah usai, kelompok lain bergantian untuk sembahyang seperti yang tadi.
Salah satu umat yang turut bersembahyang adalah Cakra Wibawa (40). Di tahun shio macan air kali ini dia memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh agar pandemi Covid-19 segera berakhir. “Seperti mengutip kata Budha, semoga semua makhluk berbahagia. Doanya di tahun ini semoga hujan turun pada waktunya, angin bertiup lembut, negara kuat, rakyat makmur,” katanya.
Tahun ini perayaan Imlek di Klenteng Tien Kok Sie tak seramai tahun-tahun pada umumnya. Hal ini disengaja karena mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19 saat pelaksanaan sembahyang Imlek. Umat yang sembahyang pun tidak banyak dan dibatasi yang masih berusia muda. Tak hanya jumlah umat yang dibatasi untuk bersembahyang di klenteng, sebagian tradisi pun terpaksa dihilangkan atau digelar terbatas untuk mengantisipasi kerumunan.
“Tahun ini pun kami membatasi rangkaian peribadatan. Tidak semua rangkaian kami laksanakan, karena memang meminimalisir kerumunan. Kami juga berusaha menjaga protokol kesehatan dengan ketat saat di klenteng,” kata ketua Klenteng Tien Kok Sie, Sumatri Dana Waluya.
Tradisi yang dibatasi salah satunya adalah pemasangan lampion di sekitaran klenteng dan pelaksanaan Grebeg Sudiro. Grebeg yang diadakan di Kampung Sudiroprajan yang menjadi kampung pecinan di kota Solo. Sayangnya pemasangan lampion justru dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo.
“Kalau tahun ini kami tidak melakukan pemasangan lampion,” katanya.
Untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peribadatan tahunan, selama masa pandemi Covid-19 ini, panitia memang membatasinya. Namun untuk umat yang ingin bersembahyang di hari-hari biasa, klenteng terbuka.
Klenteng tua tempat ibadah dan bersosialisasi
Klenteng Tien Kok Sie memang merupakan salah satu bangunan penting di Solo. Selain karena klenteng tertua, ia memiliki daya tarik tersendiri. Alasan inilah yang menyebabkan klenteng ini menjadi jujugan umat untuk datang sembahyang. Tak jarang warga dari luar kota datang ke Solo untuk bersembahyang di Klenteng ini.
“Dari Semarang ada, dari Surabaya juga sering,” katanya.
Sumantri menceritakan bahwa klenteng ini dibangun satu tahun setelah Keraton Kasunanan Surakarta boyongan dari Kartasura. Pembangunannya berlangsung tiga tahun mulai 1745-1748. Dulunya, klenteng ini tidak hanya difungsikan untuk sembahyang saja. Namun, klenteng ini menjadi pusat bersosialisasi warga masyarakat Tionghoa.
“Makanya banyak yang menganggap klenteng ini sakral. Selain itu klenteng kan memang digunakan bersosialisasi dan bertukar informasi,” katanya.
Bahkan klenteng ini merupakan klenteng yang digunakan untuk bersosialisasi, pusat informasi hingga pusat perdagangan. “Kalau di Solo ya di sini yang jadi pusat aktivitas masyarakat Tionghoa sejak zaman dulu. Bisa dikatakan karena klenteng ini, pusat perdagangan bisa tumbuh. Makanya ada Pasar Gede,” katanya.
Terkait lokasinya yang strategis, Sumantri mengatakan bahwa klenteng ini dibangun di tanah pemberian Keraton Kasunanan. Dari cerita turun temurun yang diterimanya, klenteng ini dibangun oleh oleh warga Tionghoa pada masa itu dan dengan bantuan dari pejabat keraton.
Karena dulunya banyak pejabat keraton yang memiliki istri orang Tionghoa, akhirnya keraton memberikan tanah dengan lokasi strategis untuk dibangun klenteng. Bangunannya bahkan terlihat cantik dan mewah. Saat itu Klenteng Tien Kok Sie menjadi salah satu klenteng terbaik di masanya.
“Bahkan untuk pembangun Klenteng ini didatangkan arsitek langsung dari negeri China daratan. Dulu data-data terkait sejarah klenteng ini lengkap. Sayangnya semua hancur karena banjir Solo tahun 1966,” katanya.
Sementara itu dari data sejarah, Klenteng Tien Kok Sie memang bisa dikatakan sebagai salah satu klenteng yang memiliki peran strategis. Hal ini disampaikan oleh Chandra Halim, Dosen Program Studi Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pria yang juga merupakan pengurus bagian penelitian dan pengembangan Klenteng Tien Kok Sie ini menceritakan bahwa secara resmi Klenteng Tien Kok Sie berdiri tiga tahun setelah Keraton Kasunanan pindah dari Kartasura karena Geger Pecinan.
“Dulunya klenteng ini tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah saja, namun juga tempat tinggal para biksu dan rumah singgah pedagang,” urainya.
Klenteng ini berperan penting bagi kehidupan masyarakat Tionghoa saat itu. Apalagi di area ini merupakan jalur perdagangan melalui Kali Pepe, sungai yang berada tak jauh dari lokasi. Hal ini juga menguatkan fungsi area ini sebagai penghubung antara ibukota Keraton Surakarta dengan dunia luar melalui Kali Pepe yang kemudian mengarah ke Bengawan Solo.
“Kalau ada kesempatan melihat, di bagian belakang klenteng ini ada pintu tembus yang nantinya bisa menghubungkan ke sungai,” ucapnya.
Dulunya, klenteng ini memiliki dua fungsi, sebagai tempat ibadah dan sebagai pusat institusi sosial. Sebab warga masyarakat Tionghoa pada zaman itu tidak hanya singgah untuk bersembahyang dan berdoa saja, namun juga untuk bersosialisasi. Termasuk mengabarkan mengenai pernikahan, kematian hingga berdagang.
“Dulu belum ada koran, jadi kalau ada yang meninggal di Tiong Ting tahunya ya dari klenteng karena sumber informasinya berada di sana. Tak jarang juga mereka berdagang di Pasar Gede atau berbelanja di pasar, mereka akan singgah ke klenteng,” katanya.
Menurut Chandra, tradisi ini masih dilakukan oleh sebagian orang, terutama yang berusia lanjut, mereka masih sering singgah ke klenteng usai dari Pasar Gede. “Sebab fungsinya sebagai pusat institusi sosial. Dan ini berlaku di semua klenteng,” katanya.
Tak jarang di semua klenteng tua ditemukan bedug atau genta. Sebab bedug dan genta menjadi sarana untuk memanggil warga agar datang, termasuk di Klenteng Tien Kok Sie ini. “Sampai sekarang gentanya masih dibunyikan. Kalau bedugnya masih ada, tapi sudah tidak digunakan,” katanya.
Terkait keberadaan Klenteng Tien Kok Sie sendiri sangat lekat dengan Keraton Kasunanan Surakarta. Pasalnya secara politik, aktivitas warga Tionghoa akan mudah diawasi oleh penguasa Mataram pada saat itu.
“Dugaan saya sebagai peneliti, ini memang strategi politik dari Keraton. Klenteng ini kan lokasinya strategis, ke arah selatan dari klenteng ada Benteng Vastenburg. Kemudian timur klenteng ada Kampung Sudiroprajan yang merupakan kampung pecinan,” katanya.
Tak hanya untuk etnis Tionghoa, Keraton Kasunanan juga mengklasterisasi etnis lain. Seperti halnya Kampung Loji Wetan yang merupakan Kampung orang Belanda dan Pasar Kliwon yang menjadi kampung Arab.
“Dan kesemua lokasinya berdekatan dengan keraton. Harmonisasi ini sudah dibuat oleh keraton sejak zaman itu. Sehingga meski beberapa tahun setelah Geger Pecinan yang membuat Keraton berpindah, keraton tetap menciptakan iklim yang harmonis,” katanya.
Sayangnya fungsi Klenteng meredup di masa orde baru karena dikeluarkannya aturan melalui Inpres nomor 14 tahun 1967 yang melarang semua adat istiadat yang berbau Tionghoa, termasuk perayaan Imlek. Semua mulai kembali normal saat Kepres nomor 6 tahun 2000 dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur yang mencabut aturan sebelumnya.
“Larangan ini berdampak banyak. Termasuk semua perayaan tidak diperbolehkan, peribadatan juga hanya diperbolehkan sendiri-sendiri. Ini yang membuat fungsi klenteng tak seperti dulu,” ucapnya.
Namun setelah aturan ini dicabut, fungsi Klenteng Tien Kok Sie mulai dikembalikan. Apalagi posisinya sebagai klenteng tertua di Jawa Tengah, saat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Tionghoa untuk beribadah bahkan berwisata.
“Kalau di Jawa Tengah, Tien Kok Sie ini yang tertua, lebih tua dari Klenteng Tay Kak Sie yang ada di Semarang. Hanya terpaut satu atau dua tahun saja,” katanya.
Meskipun di Semarang juga ada Sam Pho Kong yang dulunya merupakan tempat persinggahan Laksamana Cheng Ho. Namun Sam Pho Kong dulunya bukan merupakan klenteng atau kuil. “Dulu hanya tempat persinggahan saja. Jadi nggak dikategorikan sebagai klenteng. Kalau di Jawa Tengah, Tien Kok Sie merupakan klenteng tertua,” Pungkas Chandra.
Reporter: Novita Rahmawati
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Sate Sapi Karang Pak Prapto: Langganan Presiden, 40 Tahun Jualan di Lapangan Karang dan liputan menarik lainnya di Susul.