Membongkar Rahasia Blantik: Menepok Pantat untuk Menaksir Berat Badan

Blantik yang menuntun sapinya menuju mobil di Pasar Hewan Prambanan, Klaten (Sidra Muntaha/Mojok)

“Jualan sapi itu seni,” kata Deri, Rabu (1/12) saat berbincang dengan Mojok soal blantik dan dunia sapi.

Deri Bagoes Prasetyo (22) adalah mahasiswa tingkat akhir di Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ayahnya, Siswanto (56), berprofesi sebagai pedagang sapi. Bila waktunya luang, Deri biasa menemani sang ayah ke pasar hewan.

Mereka rutin mendatangi berbagai pasar hewan di sekitaran Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tiap pasaran Legi, Pahing, dan Pon, Siswanto fokus berjualan sapi. Misalnya setiap pasaran Pon, Siswanto berjualan di Pasar Hewan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Sedangkan setiap pasaran Legi ia berdagang di Pasar Jelok, Boyolali. Sementara Wage dan Kliwon adalah jadwal Siswanto membeli sapi untuk dijual Kembali nantinya. Istilahnya kulakan.

Deri dan adiknya sudah sejak SMA membantu ayahnya dagang sapi. Pengalaman itu membuatnya mengetahui urusan-urusan dunia persapian. Pengetahuannya yang luas menjawab kebingungan saya setelah mendatangi dua pasar hewan di Imogiri dan Prambanan, di hari sebelumnya.

Saya mendatangi dua pasar hewan tersebut untuk menyelidiki satu hal: benarkah pedagang sapi atau blantik dapat mengukur berat badan sapi dengan cara menepok pantatnya?

Informasi itu saya dapatkan dari salah seorang kenalan. Ketika pertama kali mendengarnya, saya terkesima.

Blantik dan pantat-pantat sapi

Penyelidikan urusan pantat sapi saya mulai ketika Jumat (26/11) pagi. Pukul sepuluh, ketika panas matahari semakin terik, saya tiba di Pasar Imogiri setelah kehabisan bensin dan sempat mendorong motor.

Di pasar, lapak tampak lengang dan sepi. Selain pedagang, hanya ada 2 hingga 3 toko aksesoris sapi yang buka. Mungkin banyak dari pedagang sudah pulang atau saya kesiangan dan tak sempat melihat hiruk-pikuk pasar hewan pagi itu. Entah.

Di salah satu sudut lapak, ada seorang bapak yang sedang mengobrol dengan laki-laki yang lebih muda. ia bernama Madhi (40), pedagang sapi asal Bantul yang datang membawa empat sapi dengan jenis yang berbeda-beda: limosin, simmental, pegon, dan peranakan ongole (PO). Saya bertanya soal berat badan dan metode menepuk pantat sapi.

Urusan ini meski terkesan sepele tapi saya kira penting. Ia berperan dalam perputaran uang di pasar hewan, yang kalau dihitung-hitung bisa sampai milyaran setiap kali buka.

Suasana di pasar hewan (Sidratul Muntaha/Mojok.co)
Suasana di Pasar Hewan Prambanan (Sidratul Muntaha/Mojok)

Sementara itu, di Pasar Jelok, tempat Deri dan ayahnya rutin jual-beli sapi tiap pasaran pahing, luasnya sekitaran 790 hektar dan konon dapat menampung hingga 700 pedagang. Sapi yang berjajar menunggu dipinang pun tentunya tak kalah banyak.

Bila para blantik betul-betul mengukur berat sapi dengan cara menepok pantatnya, maka bukan hanya suara sapi menguak saja yang mengisi pasar itu, melainkan juga “plak plok” suara tamparan para pedagang ke barang dagangannya sebelum menyelesaikan transaksi.

Namun, setelah ditelisik ternyata yang menentukan harga sapi bukan cuma beratnya. Menurut penjelasan Deri, ada banyak hal yang diperhitungkan saat menaksir harga seekor sapi.

“Sapi ini kan gak seperti barang mati, ya,” ujar Deri.

“Botol (tumbler) ini, misalnya, mau warna hijau, biru, tutupnya berapa senti kan harganya tetap sama.”

Sementara sapi menurutnya seperti manusia. Ia punya keunikannya masing-masing. Selain gemuk dan kurus, bahkan harganya juga bisa ditentukan oleh kukunya. Ada yang kukunya rapih, ada yang naik, ada yang keriting. Tanduk pun begitu.

“Ada yang lancip, tumpul, ada yang satunya naik dan satunya ke bawah. Ada yang ekornya belok, panjang, pendek,” jelasnya pelan-pelan.

“Itu semua mempengaruhi harga,” imbuh pemuda asal Klaten itu.

Dan paling utama, kata Deri, adalah prospeknya. Kalau si sapi masih kecil, tapi punya kemungkinan untuk dibiakkan hingga satu ton, harganya sudah pasti tinggi.

Apa-apa yang diungkapkan Deri senada dengan pernyataan Gandung (44), pedagang sapi asal Klaten yang saya temui di Pasar Hewan Prambanan, Minggu (29/11) pagi. Ia mengatakan jika harga sapi ditentukan oleh detail posturnya. Mulai dari kaki, perut, tulang, hingga pantat.

“Limosin ini bagus. Kakinya bagus, pantatnya lebar,” ujarnya sambil menunjuk sapinya sendiri.

Kembali ke urusan menepok pantat, bisakah ia menentukan berat sapi? “Bisa,” jawabnya.

Gandung (tengah) sedang mengawasi lapaknya di Pasar Hewan Prambanan (Sidra Muntaha/Mojok)

Sempat terlintas untuk meminta Gandung menepok pantat sembarang sapi dan menaksir beratnya. Tapi saya urungkan.

Berbeda dengan Gandung, Madhi berkata urusan menaksir berat sapi sebetulnya bisa dilakukan dengan penglihatan sepintas saja. Detail dan ketepatannya tak bisa didapat bila tidak ada timbangannya.

“Udah bertahun-tahun kok. Hafalan itu semuanya,” ucap Madhi.

Saya lantas bermain tebak-tebakan dengan Madhi. Saya menunjuk sembarang sapi, dan ia menebak beratnya. “250 kilo,” kata dia saat saya menunjuk sapi putih berjenis PO.

“Dagingnya mungkin sekitar seratus (kilogram). Kalau sapi PO gini nggak mungkin berat dagingnya nyampe lima puluh persen. Kalau sapi merah kayak limosin atau simmental bisa sampai lima puluh persen,” lagi-lagi, saya terkesima.

Karena penasaran, saya lantas mencari tahu rumus mengukur berat sapi. Menyitir situs resmi Dinas Peternakan Jawa Timur, ada dua rumus dalam menentukan berat sapi: rumus Schoorl dan rumus Scheiffer.

Bila memakai rumus Schoorl, berat sapi dapat ditemukan dengan menjumlahkan panjang lingkar dada dengan konstanta 22 dan hasilnya dikalikan…Pokoknya rumit dan tidak praktis! Saya lebih takjub dan penasaran dengan metode menepok pantat.

Bagaimana, sih, cara kerjanya? Pertanyaan itu tak juga terjawab hingga akhirnya saya mengobrol dengan Deri.

Menurut Deri, menepok pantat sapi saat menaksir berat mungkin dilakukan. Bagi Deri dan Siswanto: “Nek naksir berat sapi itu dipegang,” singkap Deri.

“Biasanya pantat sapinya diginiin,” lanjut Deri sambil menotok ujung jarinya ke udara.

“Nah, megang atau menepok pantat itu buat ngukur keras nggaknya daging. Semakin keras artinya semakin padat, lebih berat.”

Oh gitu.

Beda Pedagang dan Blantik

Pagi itu Pasar Prambanan penuh. Saya datang ke sana sejak pukul sembilan. Semua kalangan, pedagang sapi, blantik, dan sapi tumpah ruah di pasar itu. Katanya, mereka sudah datang sejak subuh. Mereka menempati dua sisi lapak yang masing-masing bisa memuat ratusan sapi.

Di sisi selatan pasar berjajar warung makan dan penjual aksesoris sapi. Yang dijual macam-macam. Sebut saja keluh, tali berwarna oranye atau biru yang diujungnya terikat sebilah bambu kecil untuk ditusukkan kehidung sapi. Tali tampar yang dipakai untuk mengalungi sapi, biasanya disebut dadung. Ada pula pecut, kecapi, dan lain sebagainya. Selain memiliki fungsi praktis seperti mengikat sapi, barang-barang itu juga dipercaya bisa bikin sapi jadi “ganteng”.

Lapak aksesoris sapi di Pasar Hewan Prambanan (Sidra Muntaha/Mojok)

Perihal warna keluh yang didominasi warna oranye dan biru ternyata itu adalah tradisi. Menurut Deri, pedagang di pasar Klaten, sebagian kota Solo, Boyolali, dan Semarang lazimnya memasangkan keluh berwarna oranye ke sapi-sapinya. Sementara di pasar daerah Magelang, keluh yang digunakan biasanya berwarna biru. Di Pasar Prambanan, saya menyaksikan tali tampar berwarna oranye dan biru dikenakan sama banyaknya.

Selain pilihan warna keluh, para pedagang sapi juga punya tradisi lain perihal hari baik saat menjual sapi. Di Pasar Jatinong, Klaten yang buka tiap legi, kebanyakan pedagang menghindari berjualan di hari Jumat legi. “Kalau Jumat Legi tuh pasti sepi. Minggu Legi atau Sabtu Legi pasti rame. Orang yang dateng Jumat Legi tuh kemungkinan besar udah nggak megang tradisi,” jelas Deri.

Saya tak tahu apakah Minggu Pon itu hari baik atau bukan. Yang jelas tak hanya di lapak dan warung keramaian itu bertambat. Puluhan orang hilir mudik di antara dua sisi lapak, menarik tali tampar yang mengalungi leher sapi dan menariknya berkeliling.

Orang-orang yang hilir mudik itu, kebanyakan adalah blantik. Sementara yang menetap di lapak, ada yang dari kalangan pedagang maupun blantik. Deri menerangkan definisi yang lebih khusus tentang pedagang dan blantik. Blantik, kata Deri, adalah perantara antara pedagang sapi dan pembeli. Ia dipekerjakan oleh pedagang untuk bantu-bantu memamerkan sapi keluar lapak atau menjaga lapak bila pedagang sedang keluar. Bila blantik berhasil menjual seekor sapi, ia bakal dapat upah 50-100 ribu.

“Nek nggak ada yang bantu Bapak, aku sama Adik bisa disebut blantik,” ujar Deri.

“Kalau kamu sama bapakmu dikasih (upah) berapa?” tanya saya berseloroh.

“Dikasih nasi,” jawab Deri tersenyum.

Beberapa orang, yang saya duga sebagai blantik, terlihat kerepotan saat menggiring sapi. Tali tampar yang mereka pegang sesekali terlihat kendor dari pegangan mereka dan beberapa detik setelahnya menegang karena sapi sedikit memberontak. Sempat saya melihat, ada satu orang, entah pedagang atau blantik, berpayah menarik sapinya yang rewel menuju mobil. Ia lantas dibantu oleh temannya hingga sapinya kembali jinak dan mengikuti si pemilik yang menuntunnya ke sebuah truk.

Berurusan dengan sapi memang beresiko. Bila tak awas, kecelakaan sangat mungkin terjadi. Itu hal biasa, kata Deri. Deri mengaku beberapa kali menyaksikan orang-orang di pasar yang tertimpa musibah dari sapi. Siswanto salah satunya. Kaki ayah Deri itu pernah terinjak sapi hingga mengalami pendarahan dan mesti diobati di klinik. Di lain waktu, ia juga pernah melihat seorang pekerja dari juragan sapi terseret saat menuntun sapi. Ia jatuh terseret, lantas diseruduk hingga pelipisnya sobek dan dijahit.

Beberapa kecelakaan memang bisa sangat fatal dan membuat pelapak di Pasar mesti libur beberapa hari. Persoalan-persoalan yang disaksikan langsung oleh Deri sendiri diangkat dalam skripsinya. Perihal perlindungan sosial bagi para Blantik.

Blantik, menurut temuan Deri, amat jarang mendapatkan perlindungan sosial yang optimal. Asuransi sosial macam BPJS Ketenagakerjaan, misalnya, sudah pasti tak bisa diakses oleh blantik sebab tak memiliki surat keterangan kerja. Mereka juga kesulitan mendapatkan bantuan sosial macam Program Keluarga Harapan, padahal jam kerja dan upah yang didapat tak menentu.

Deri bersama sapi yang hendak di jual di Pasar Jelok, Boyolali (Deri Bagoes Prasetyo/dok. pribadi Deri)

Setelah menjelaskan beberapa hal terkait skripsinya, ia lantas bercerita banyak hal tentang keluarganya. Ia bercerita tentang adiknya yang sehari-hari juga ikut membantu Siswanto. Berdasarkan cerita Deri, ia dan adiknya memang “dikader” oleh Siswanto buat jadi pedagang sapi.

Pengetahuan sang adik bahkan jauh di atas kakaknya. Entah benar atau tidak, tapi begitulah Deri mengakui. Sang adik kini berkuliah peternakan hewan di salah satu universitas di Solo. Di jurusannya ia tersohor, bahkan kerap diandalkan bila peternakan milik fakultas hendak membeli atau menjual sapi.

“Itu kader yang sukses. Nek aku nggak,” ujar Deri sambil tertawa.

Kendati mengaku menjadi “kader gagal” saya melihat Deri tetap punya perhatian besar terhadap dunia (pasar) sapi. Itu terbukti dari topik yang diangkat dalam skripsinya. Selain itu, ia juga membikinkan bisnis ayahnya akun Instagram Bernama @lembu_wibawa.

Akun itu digunakan untuk mempromosikan sapi. Kadang-kadang juga dipakai sekadar untuk mengunggah foto aktivitas perdagangan ayahnya. Semisal ketika ada sapi yang terjual dan hendak dikirim ke luar kota atau informasi soal kapan dan di mana mereka bakal menggelar lapak.

Deri mengaku belum punya pandangan akan melakukan apa setelah lulus. Tapi esok, atau setelahnya, ia dan adiknya masih akan menjadi blantik. Membantu ayahnya.

BACA JUGA  Hasrat Asmara Raja Mataram Islam yang Berakhir di Istana Kematian dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version