Wafatnya Buya Syafii Maarif meninggalkan duka yang mendalam. Sejumlah tokoh hadir mendoakannya sebelum diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Kontributor kami melaporkan pandangan mata saat jenazah Buya disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman.
***
Pesan Whatsapp dengan tanda telah diteruskan berkali-kali itu sungguh mengejutkan. “Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat prof dr H Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat 27 Mei 2022 pukul 10.15 di RS PKU Muhmmadiyah Gamping,” demikian bunyi pesan itu.
Buya Syafii, begitu ia akrab disapa, adalah ulama, cendekiawan Islam, dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, sekaligus anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
“Semoga beliau husnul khotimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya dilapangkan di kuburnya, dan ditempatkan di jaatun na’im,” tulis penggalan pesan atas nama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir itu.
Pihak Muhammadiyah juga mengabarkan jenazah Buya disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman. Saya yang tengah dalam perjalanan ke suatu acara langsung membelokkan tujuan ke masjid di kompleks Keraton Yogyakarta itu.
Sekitar jam 11.25 WIB suasana masjid mulai ramai. Maklum saja, hari itu hari Jumat dan akan segera digelar salat Jumat. Namun sedikit berbeda, sejumlah aparat, personel Kokam dari Muhammadiyah, juga takmir mulai mengatur jemaah yang memulai memenuhi bagian dalam masjid.
Tujuannya satu: membuka jalan untuk jalur lewatnya jenazah. Tepat jam 11.40 WIB jenazah Buya Syafii datang. Enam orang menggotong keranda berselimut kain hijau dengan lafal suci. Almarhum ditempatkan di samping sisi utara mimbar masjid dan hanya dibatasi dengan pembatas kayu sederhana dari pandangan jemaah salat Jumat.
Dalam khotbah Jumat yang diikuti Mojok.co, penceramah Nur Cholish menyebut Buya sebagai ‘hamba terbaik-Nya’. “Beliau dipanggil pulang ke haribaan Allah SWT untuk menikmati karya-karya terbaiknya,” ujarnya.
Ia menyebut meninggalnya Buya sebagai pengingat bahwa perjalanan manusia adalah persiapan menuju kematian. Untuk itu, manusia harus melakukan persiapan melalui sejumlah amalan.
Menurut Nur, ada tiga amalan yang juga diberikan Buya semasa hidupnya. Pertama, beribadah. “Di usia beliau yang tidak muda, bahkan sering didera sakit, beliau istiqomah beribadah, terutama salat berjamaah,” kata Nur.
Kedua, dalam berbuat kebaikan. Bukan hanya di lingkungan terdekat dan masyarakat, tapi juga berbuat baik untuk bangsa bahkan dunia. “Kita bisa contoh almarhum. Selama hidup, beliau abdikan untuk memberi kontribusi bagi bangsa dan agama,” ujarnya.
Buya pun menjadi teladan dalam belajar dan menuntut ilmu. “Orang yang banyak ilmu akan menebar kebaikan dan tidak menebar keonaran,” imbuhnya.
Selepas salat Jumat, pembatas kayu terhadap jenazah Buya mulai dipindahkan. Orang-orang mulai merangsek ke depan untuk bergantian melakukan salat jenazah.
Mendiang disemayamkan hingga waktu Asar untuk kemudian akan dikebumikan di Pemakaman Muhammadiyah di Kulonprogo. Jenazah tepat berada di bawah jendela sisi barat masjid. Sehingga, saat matahari semakin tergelincir ke barat, sinarnya menyoroti jenazah Buya.
Ketika takziah makin ramai, bagian depan masjid diberi semacam pagar kayu. Hanya pihak keluarga dan tamu penting yang dapat masuk dan mendekat ke jenazah.
Tokoh-tokoh publik pun mulai hadir. Selain Haedar Nashir, terlihat Gubernur Jawa Tengah, yang juga Ketua Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama), Ganjar Pranowo, siang itu. Ganjar usai menghadiri pelantikan rektor baru UGM.
Ia menceritakan pengalamannya menjenguk Buya di rumah sakit, 15 Mei lalu. Kala itu, kata Ganjar, Buya tampak penuh semangat kendati terlihat sakit dan beberapa kali napasnya tersengal-sengal.
Ganjar mengenang kala menjadi aktivis di UGM dirinya beberapa kali tukar pikiran dengan Buya. Sosoknya dianggap menyejukkan, mengayomi siapa saja, termasuk mahasiswa. “Beliau selalu memberi semangat pada anak muda,” katanya.
Sewaktu hendak pamit, menurut Ganjar, Buya menahannya sejenak untuk minta foto bersama. “Foto itu sampai sekarang saya simpan,” ujar dia.
Seusai Ganjar, tampak pula Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD.
Mahfud mengenang, dirinya adalah asisten Syafii di mata kuliah Pancasila di IAIN Yogyakarta—kini UIN Sunan Kalijaga. Padahal sebelumnya, Syafii dan Mahfud muda punya pandangan politik senada: percaya bahwa Indonesia mestinya dikuasai umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas.
“Tapi sesudah belajar, lama-lama kemudian tidak harus Negara itu berasaskan Islam atau harus menjadi Negara agamis,” kata Mahfud.
Keduanya kemudian percaya bahwa Pancasila adalah pedoman yang paling cocok bagi bangsa Indonesia. “Artinya (Pancasila) tidak mengganggu kelancaran perjuangan umat Islam untuk berbangsa, bernegara, dan beribadah. Itu yang diajarkan Pak Syafii,” tuturnya.
Mahfud menjelaskan, Buya Syafii penerima penghargaan negara Bintang Maha Putera Utama dan punya rekam jejak panjang di bidang kemanusiaan. Untuk itu, ia layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Negara mau memfasilitasi karena itu tempat pahlawan sekelas Pak Syafii. Tapi ternyata Pak Syafii sudah memesan makamnya sendiri,” kata Mahfud.
Makam itu berada di kompleks Pemakaman Muhammadiyah di Dusun Donomulyo, Nanggulan, Kulonprogo. Pemberangkatan jenazah menanti takziah dari Presiden Jokowi Widodo yang siang itu langsung bertolak dari Jakarta.
Jokowi tiba di Masjid Gedhe Kauman tepat sekitar jam 15.00 WIB. Ia diampingi Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sebagai Raja Keraton Yogyakarta, kehadiran Sultan terbilang unik karena sesuai tradisi ia tidak biasa hadir di prosesi kematian.
Mewakili keluarga Buya, dalam sambutannya Haedar Nashir mengungkap pesan Buya jauh sebelum ia berpulang. Saat itu, pada 24 Februari, ia dihubungi Buya yang memesan makam di Pemakaman Muhammadiyah Husnul Khotimah Kulonprogo. Apalagi selang dua hari usai komunikasi itu, Buya dijenguk Presiden Jokowi. “Ini mengejutkan saya,” kata Haedar.
Haedar pun berharap semua pihak membuka pintu maaf untuk Buya jika ada salah. “Kami hanya menyampaikan selaku keluarga dan Muhammadiyah, Buya Syafii sebagai insan biasa tentu ada kelemahan, kekurangan, dan kekhilafan, maka kami mohonkan maaf sebesar-besarnya,” ujar Haedar.
Selain mengucapkan duka cita, Presiden Jokowi menyampaikan Buya adalah guru bangsa yang sederhana. “Yang saya lihat beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan toleransi antar umat beragama,” tuturnya.
Menurut Jokowi, Buya juga kerap menyampaikan pentingnya Pancasila sebagai perekat bangsa. Mari kita berdoa bersama semoga almarhum Buya Syafii diberikan yang terbaik di sisi-Nya segala doa-dosanya,” ujarnya.
Pada jam 15.32 WIB, jenazah Buya Syafii ditandu keluar dari Masjid Gedhe Kauman oleh enam personel Kokam. Tepat beberapa langkah di belakangnya, orang pertama yang mengiringi Buya Syafii adalah Jokowi dan disusul Sultan HB X.
Selama beberapa waktu, pelataran masjid masih ramai oleh orang-orang dan juga karangan bunga ucapan duka cita. Para penjual – yang biasanya mangkal hanya sampai usai Jumatan –masih diserbu pembeli sore itu.
“Saya cuma kenal dari tivi. Tapi beliau orangnya terlihat tenang dan adem. Semoga beliau mendapat tempat terbaik,” kata Supri (35) penjual cilok asal Wonosari, Gunungkidul, seraya meladeni para pembeli.
Titik-titik hujan turun tipis-tipis sore itu. Namun langit di atas Masjid Kauman biru cerah. Tak ada mendung. Suasana itulah yang mengantarkan Buya Syafii ke peristirahatan terakhir.
Selamat jalan Buya…
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi