Mbah Yanto, Juru Sunat Spesialis Anak Pengamen dan Gelandangan di Yogya

Bong supit atau juru sunat punya andil besar ketika sunat belum banyak dilakukan oleh tenaga medis seperti sekarang ini. Mbah Yanto SH, merupakan salah satu bong supit di Yogya yang cukup punya nama di masanya.

Di usia yang telah 83 tahun, Mbah Yanto sudah lama meninggalkan dunia juru sunat atau bong supit. Mata yang mulai kurang awas menjadi alasannya untuk mengkoperkan alat-alat sunatnya.

“Nanti kalau saya paksakan, malah kepala (ujung kemaluan pria) ikut terpotong,” kata Mbah Yanto yang disambut tawa kami sore itu di rumahnya kawasan Tamansari, Kapanewon Keraton, Kota Yogyakarta.

Nama lengkapnya Mbah Yanto adalah Yohanes Suyanto. Namun beliau gemar menyisipkan “SH” di akhir nama. Bukan gelar sarjana, toh Mbah Yanto tidak lulus SD. Namun singkatan nama sang ayah, Sutadi Hadiwiyoto. Selain menambah kesan wah, nama itu juga menjual ketika Mbah Yanto menjadi juru sunat.

Nama ayahnya Raden Panewu Sutadi Hadiwiyoto adalah nama yang melegenda dalam dunia persunatan di Yogyakarta. Beliau adalah guru besar bogem, yang juga ahli sunat Keraton Yogyakarta.

Penggesek biola yang hobi nyunat anak gelandangan

Ayah Mbah Yanto lebih dikenal dengan sebutan Pak Tadi atau Bong Tadi yang juga terkenal sebagai pelopor sunat di Jogja serta mengawali sunat dengan tata cara medis. Bahkan sunat dengan posisi rebahan diawali oleh Bong Tadi. Ilmu ini diturunkan kepada tiga dari delapan anaknya. Yaitu Sunaryo, Sumantri, dan terakhir si bungsu Suyanto atau Mbah Yanto.

Sebenarnya banyak kisah selama karir Mbah Yanto sebagai bong supit. Sayang sekali, banyak kisah yang sudah terlupakan. Maklum, Mbah Yanto sudah sepuh dan mengidap stroke. Stroke ini yang membuat Mbah Yanto lumpuh dan harus meninggalkan kehidupan di dunia musik pada tahun 2011. Sedangkan dunia sunat sudah ia tinggalkan sebelumnya semenjak matanya kurang awas.

“Saya lebih suka menyunat di gerbong kereta dan bantaran kali,” ujar Mbah Yanto sembari mengernyitkan dahi. Pria berambut putih ini berjuang keras mengingat masa lalunya yang penuh lika-liku. Sembari sesekali tersedak, Mbah Yanto bercerita tentang dunia juru sunat yang pernah digelutinya.

Di dekatnya, ada istrinya Ngadinem dan anak perempunnya Bu Retno yang membantu mengingatkan peristiwa yang mungkin sudah terlupa.

Mbah Yanto dikenal dengan berbagai sebutan. Beberapa memanggil Yanto Magic karena pernah jadi tukang sulap. Sisanya memanggil Yanto Viol karena kepiawaian bermain biola. Sisanya mengenal sebagai Bong Yanto atau Yanto Supit, tentu karena keahlian sebagai bong supit.

Mbah Ngadinem, istri Mbah Yanto, membenarkan panggilan ini. Beliau mengatakan bahwa suaminya dikenal karena berbagai kemampuan. “Coba tanya pada orang Jogja yang seumuran, pasti kenal yang namanya Yanto,” ujar Mbah Ngadinem bangga.

Dibayar dengan ayam jago

Ternyata, kemampuan menggesek biola ikut meramaikan usaha Mbah Yanto dalam bidang sunat. Kemampuan menggesek biola ini dibawa Mbah Yanto ke jalanan. Tepatnya menjadi seorang pengamen. Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, Mbah Yanto tetap harus mengamen. “Ya untuk hidup, juga hobi,” ujar Mbah Yanto.

Mbah Ngadinem menambahkan, Mbah Yanto memang menikmati hidup mengamen. Kehidupan mengamen membuat Mbah Yanto banyak mengenal orang dari golongan tidak mampu. “Uang mereka tidak seberapa, jadi susah untuk menyunatkan anak,” ujar Mbah Yanto.

“Jadi Mbah Yanto ini bong supit paling murah ya?”

“Bukan cuma murah, tapi tarif seikhlasnya,” tegas Mbah Yanto menjawab pertanyaan saya. Ia mengatakan, kakak-kakaknya enggan menyunat anak para gelandangan. Karena Mbah Yanto sudah akrab dengan dunia mereka, maka beliau bersedia menyunat putra mereka dengan ikhlas.

“Jadi memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh burung Indonesia ya mbah?” Canda saya. Mbah Yanto kurang menangkap canda saya yang memang garing ini

“Berapapun saya terima. Bahkan ada yang pernah membayar dengan ayam jago. Kasihan, dia tidak punya uang untuk membayar biaya sunat anaknya,” kenang Mbah Yanto.

Ketika saya klarifikasi pada sang istri, Mbah Ngadinem menjawab, “Ya kami terima, lalu kami sembelih.” Mereka terkekeh, mengenang susahnya makan ayam pada era itu.

“Biasanya saya menyunat di dalam gerbong kereta. Di dekat Stasiun Lempuyangan ada kuburan gerbong. Disana banyak gelandangan yang tinggal,” ujar Mbah Yanto. Saat saya klarifikasi, lokasi tepatnya adalah sekitar Balai Yasa. Mbah Yanto benar-benar menyunat dalam gerbong.

“Kadang saya menyunat di Code,” tambah Mbah Yanto. Yang dimaksud adalah bantaran Sungai Code. Daerah tersebut memang terkenal sebagai daerah yang ditinggali oleh masyarakat kurang mampu.

Biasanya untuk menyunat, Mbah Yanto mengajak Bu Retno sang putri. Bu Retno menjadi asisten Mbah Yanto saat memotong kulit prepucium pasien. “Dulu kami boncengan dengan motor. Lalu motornya kami tinggal di atas (bantaran), dan kami jalan kaki ke rumah pasien,” imbuh Bu Retno.

Pengalaman menyunat pria dewasa

Ada satu kisah yang sangat dikenang Mbah Yanto. Pada suatu waktu, Mbah Yanto harus menyunat pria dewasa. Maklum, banyak gelandangan tidak sempat memikirkan sunat meskipun jadi bagian dalam agama.

Alat-alat bong supit milik Mbah Yanto. Foto oleh Dimas Prabu Yudanto/Mojok.co
Alat-alat bong supit milik Mbah Yanto. Foto oleh Dimas Prabu Yudanto/Mojok.co

“Alot mbah?” tanya saya membayangkan. Mbah Yanto kembali terkekeh.

“Saya lupa alot apa tidak, tapi yang jelas pria tadi menangis sejadi-jadinya. Apalagi saat dia melihat isi koper saya,” ujar Mbah Yanto sambil menunjukkan isi kopernya. Memang terdapat banyak gunting dan pisau yang terkesan sadis. Ada juga berbagai pil obat yang jelas kedaluwarsa.

“Padahal orangnya gagah. Tapi menangis saat disunat, yang anak kecil malah biasa saja dan bisa tertawa,” tambah Mbah Yanto. Meski biasa menyunat, ada satu hal yang membuat Mbah Yanto enggan menyunat.

“Saya tidak tega kalau harus menyunat anak cucu,” ujar Mbah Yanto. Beliau memang menyerahkan penyunatan cucunya pada kakak atau keponakannya. Tentu anaknya tidak disunat, karena ketiga anaknya perempuan semuanya.

Hampir putusnya garis keturunan Bong Tadi

“Sayangnya, tidak ada yang melanjutkan bong supit saya. Tinggal Awang yang masih menjadi bong supit,” keluh Mbah Yanto. Awang adalah anak dari Sumantri kakaknya. Memang, hanya Pak Awang yang masih melanjutkan garis keturunan Bong Supit keturunan Sutadi Hadiwiyoto atau Bong Tadi. “Awang saja sudah pakai laser, tidak cara lama seperti saya dan Mas Mantri,” tambah Mbah Yanto

Koper berisi perangkat sunat itu kini terbengkalai. Padahal koper itu sudah berusia sangat tua karena warisan Bong Tadi. Yang tersisan hanyalah kenangan dan perjalanan yang penuh darah.

“Lha kok kamu gamau meneruskan jadi bong supit?” tanya Mbah Yanto pada saya yang juga cucu pria pertamanya. Saya melongo, tak bisa membayangkan masa depan saya sebagai juru sunat yang akan penuh darah dan ‘burung’.

BACA JUGA Bertani Rumput Mendulang Rupiah dan kisah-kisah menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

[Sassy_Social_Share]

Exit mobile version