Di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, ada satu masjid yang dulunya jadi tempat penggemblengan Raja Mataram Pakubuwono II dan pujangga kondang Ronggowarsito. Sampai kini, meski bukan lagi jadi tanah perdikan, masjid ini selalu ramai di kunjungi jemaah dari berbagai daerah.
***
Sebagai orang perantauan di Kabupaten Ponorogo, rasa penasaran membawa saya untuk datang ke salah satu masjid ternama di kota ini. Pas dengan rencana saya untuk melakukan i’tikaf di malam ke-27 bulan Ramadan. Sebelum saya mudik ke kampung halaman.
Jarak masjid dari tempat saya tinggal sekitar 9 kilometer, jadi saya melaju santai. Pikir saya, ada banyak waktu untuk nanti bisa memilih tempat yang nyaman untuk menjalankan i’tikaf. Namun, sekitar 500 meter sebelum masjid, sudah banyak berjejer mobil dan bus besar yang berjajar di kiri kanan jalan.
Gerbang kompleks makam Kiai Ageng Muhammad Besari. (Prima Ardiansah/Mojok.c
“Di dekat Masjid sudah penuh Mas, ikuti gang kecil ini saja. Nanti ada parkiran di ujung ,” kata juru parkir yang kemudian saya tahu namanya sebagai Mas Doni (30). Saya yang sedang mengambil foto deretan mobil yang berjejer pun segera memasukan hape ke kantong.
Setelah mengangguk, saya sekaligus tersadar kalau halaman rumah yang berjejer di gang tersebut telah dipenuhi barisan motor. Saya lanjut menyusuri gang tersebut sekitar 200 meter untuk mendapatkan parkir.
Jumlah mobil dan motor yang terlalu banyak itu otomatis membuat semangat saya menikmati malam di dalam masjid goyah. Ya sudah, saya putuskan untuk duduk-duduk sebentar di halaman rumah warga yang beralih fungsi menjadi parkiran ini.
“Tiap Ramadhan apa serame ini Mas?”
“Mulai malam 21 di malam ganjil 10 hari terakhir ramadhan, pasti ramai Mas,” kata Mas Doni. Mas Doni pun menuturkan kalau di dalam masjid, halaman masjid, sampai jalan-jalan radius 100 meter dari masjid sudah ramai oleh jemaah yang melaksanakan i’tikaf.
“Halah, dari pukul sepuluh tadi, di dalam Masjid sudah tidak ada tempat Mas. Kalau pun dapat ya di halaman.”
Para jemaah yang datang tidak terbatas dari Ponorogo, hampir ada dari satu karesidenan Madiun, dari Trenggalek-Tulungagung juga ada. Keramaian tersebut juga dikarenakan pada tahun ini, i’tikaf baru saja digelar kembali untuk umum setelah dua tahun pandemi.
Dalam langkah menyusuri jalan menuju Masjid, kiri kanan saya dipenuhi mobil dan minibus. Hingga sampailah saya pada ratusan jemaah yang duduk beralas sajadah di atas aspal.
Karena saya juga tidak membawa sajadah dan sepertinya rangkaian i’tikaf sudah berlangsung sejak lama, saya malah melirik warung kopi di sebelah timur Masjid. Dan ya, di situ saya mencicil i’tikaf yang terlambat.
Sembari mencicipi energen jagung yang disajikan penjual, saya bercengkrama dengan Toriq (18), dari Kecamatan Sampung, ujung utara barat Kabupaten Ponorogo yang awalnya juga berniat i’tikaf.
“Dari jam 12 di sini, itu tadi sudah padat Mas, tidak ada tempat. Kita nggak bawa sajadah juga.”
Hal tersebut membuat Mas Torik dan kedua rekan di depannya memutuskan untuk ngopi saja di dekat situ. Awalnya, rombongan Mas Toriq ada enam orang, tiga orang lain masih di jalannya untuk melaksanakan i’tikaf. Karena mereka membawa sajadah.
Sekitar setengah jam menunggu, doa rangkaian i’tikaf pun selesai. Para jemaah di jalanan serentak berdiri dan satu persatu meninggalkan tempat. Selesai membayar, saya berjalan melawan arus menuju Masjid, mengikuti lansekap tower Masjid setinggi 27 meter yang menjadi simbol 27 derajat pahala salat berjemaah.
Di halaman Masjid, para jemaah masih banyak yang berkumpul, ada yang berfoto-foto, belok ke warung untuk makan sahur, beberapa ada yang masuk ke kompleks Makam Kiai Ageng Muhammad Besari. Tertarik dengan gerbang yang estetik, saya pun memutuskan untuk masuk ke kompleks makam terlebih dahulu.
Selesai dari kompleks makam, saya mencoba masuk ke dalam masjid. Puluhan jemaah ada yang duduk berzikir rdi ruang utama, ada pula belasan lain yang tersungkur tidur di serambi masjid. Suasana di ruang utama begitu tenang dan sejuk.
Dalam ruangan remang yang lampunya sengaja dimatikan itu, tampak sayup-sayup 22 tiang bulat dan 14 tiang segiempat yang menyangga cungkup otentik sejak jaman Kiai Ageng Muhammad Besari. Tentu informasi lengkap ini tertulis di salah satu pigura di serambi masjid. Jauh di depan dari lokasi saya duduk, tampak mimbar berhias motif elips dan suluran dengan kaligrafi arab
Tak lama azan subuh berkumandang. Setelah salat dan imam selesai komat-kamit membaca doa, saya berniat untuk segera pulang dan tidur. Tetapi ada yang janggal, jemaah di belakang imam langsung minggir dan dua kakek-kakek dengan tangkas mengambil mic seraya bersila. Gerakan terencana tersebut awalnya saya kira untuk mempersiapkan pengajian subuh.
Tetapi saya salah, hari itu, kedua kakek tadi dengan merdu melantunkan Syiir Ujud-Ujudan yang spesial dilakukan pada Jumat pagi setelah salat shubuh. Lengkap tentang apa yang saya lihat dan dengar, Anda bisa menyaksikannya di sini.
Dijelaskan bahwa Syiir ini merupakan warisan langsung dari Kiai Ageng Muhammad Besari. Dikutip dari NU Online, Syiir ini merupakan ungkapan pujian kepada Allah SWT dan kisah tentang sejarah hidup nabi Muhammad SAW.
Kiai Ageng Muhammad Besari dan Kiai Hasan Besari
Cerita tentang masjid ini telah tertulis jelas pada satu pigura di serambi masjid. Sejarah Tegalsari dimulai dari Dusun Setono. Dulunya daerah tersebut merupakan hutan yang dibuka oleh dua saudara, Pangeran Sumende dan Kiai Donopuro, beliau berdua kemudian membuat masjid dan pesantren. Dalam perkembangannya, muncul satu santri yang terkenal cerdas, bernama Muhammad Besari.
Setelah diambil menantu oleh Kiai Nursalim dari Mantub Ngasinan. Beliau diberi tanah oleh Kiai Donopuro di sebelah timur Sungai Setono. Di situ beliau mendirikan masjid dan pesantren, lengkapnya Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari.
Ketika terjadi Geger Pacinan di Keraton Mataram Kartasura pada tahun 1742. Pasukan yang dipimpin Mas Garendi berhasil menduduki istana, sampai-sampai membuat Pakubuwono II, Sultan Kasunanan Kartasura mengungsi ke Ponorogo dan singgah di Pondok Pesantren Gebang Tinatar. Sebagai balas budi, Desa Tegalsari dijadikan perdikan dan Kepala Desa Tegalsari diberi gelar Kiai Ageng.
Tidak ada catatan yang jelas perihal tahun berdirinya pondok pesantren, diperkirakan pada tahun 1700-an M. Kiai Ageng Muhammad Besari juga disegani karena beliau merupakan keturunan Brawijaya V, dari garis ayah dan Sunan Ampel, dari ibu.
Informasi mengenai Kiai Hasan Besari, saya dapatkan dari skripsi berjudul: Biografi dan Perannya Bagi Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo (1797-1867) karya Muhammad Sam’ani.
Beliau, Kiai Hasan Besari merupakan cucu dari Kiai Ageng Muhammad Besari yang lahir pada tahun 1729 M. Satu ketika, ketika menjadi pengasuh pondok, Kiai Hasan Besari pernah menerapkan hukum Islam di Desa Tegalsari. Tata kelola desa yang semakin baik membuat desa sekitarnya menerapkan hukum islam juga.
Karena hal tersebut, pihak Kasunanan Surakarta menganggap Kiai Hasan Besari menyeleweng. Beliau lalu ditangkap dan dibawa ke Surakarta dan kemudian ditempatkan di masjid. Setelah sekian waktu, santri beliau berdatangan menengok. Ketika para santri sudah berkumpul di Surakarta, mereka diajak untuk sholawatan. Suara indah beliau mampu memikat putri Pakubuwono III, Bra Martosyah.
Keduanya kemudian menikah di tahun 1769 M ketika umur Kiai Hasan Besari menginjak 36 tahun. Dengan pernikahan tersebut, hukuman yang dijalankan Kiai Hasan Besar selesai.
Lain waktu, Ronggowarsito bersama pengasuhnya bernama Ki Tanujoyo, datang dengan surat dari kakeknya, Yosodipuro I. Diceritakan, ketika Pakubuwono II lari ke Ponorogo, ada beberapa orang yang menyusul ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar. Dengan niatan untuk mengabdi kepada Raja. Namun, yang diterima hanya Yosodipuro I.
Semasa pendidikan, Ronggowarsito yang awalnya bandel dan gemar adu ayam, menjadi pemuda tangguh dan pandai dalam ilmu agama dan ilmu sastra.
Peninggalan Gebang Tinatar, lewat ilmu, kitab, dan pengaruh.
Selain Syiir Ujud-ujudan yang saya dengarkan tadi, terdapat dua peninggalan syair lain, yaitu Utawen, dan Shollallahu’. Jika Syiir Ujud-ujudan dilaksanakan tiap ba’da subuh jumat pagi, Syiir Utawen dilaksanakan setelah tarawih, sedangkan Syiir Shollallahu’ selesai magrib.
Dalam hal kitab, lewat proyek EAP061 (Endangered Archived Program), terdapat 107 koleksi manuskrip yang saya peroleh informasinya lewat skripsi berjudul Sejarah Pondok Pesantren tegalsari Ponorogo Pasca Kiai Hasan Besari Tahun 1862-1964 karya Mohammad Alwi Shiddiq.
Semua kitab tadi merupakan gabungan dari sumbangan Yayasan Kiai Ageng Muhammad Besari, keluarga Markaut, keluarga K.H Syamsuddin, dan keluarga K. Anas, Coper. Namun, tidak ada informasi perihal penulis, juru tulis, dan tanggal dibuatnya. Ada pula manuskrip berjudul Sejarah Kiai Ageng Tegalsari. Kabar baiknya, Anda bisa mengaksesnya secara cuma-cuma di sini. Syukur jika Anda bisa membacanya.
Kitab-kitab kuno tadi merupakan peninggalan Kiai Hasan Besari dengan berbagai kajian ilmu yang melampaui zaman. Termasuk tafsir Jalalayn, Ihya’ Ulumuddin, dan beberapa kitab berbahasa Jawa kuno.
Dalam hal pengaruh, saya mengutip skripsi karya Alwi Shiddiq tadi yang telah merangkum santri, alumni, dan keturunan yang berhubungan dengan Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari. Hal tersebut rasanya perlu saya tulis di sini sebagai gambaran betapa luasnya pengaruh pondok pesantren tersebut dalam mewarnai sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
Berikut daftarnya:
- Sunan Paku Buwono II (Raja Kasunanan Surakarta).
- Kiai Ageng Bagus Harun (Kiai Ageng Basyariyah/leluhur Gus Dur), Pondok Pesantren Al-Basyariyah, Sewulan, Madiun.
- R. Ngabehi Ronggowarsito (w. 1803 M) pujangga Keraton Surakarta.
- Kiai Ageng Muhammad bin Umar (sekitar 1745-1807 M), Pondok Pesantren Banjarsari, Madiun.
- Kiai Abdul Mannan (1830-1862 M) kakek Syekh Mahfudz Tremas, Pacitan.
- K.H. Mujahid (w. 1863) pengasuh Pondok Pesantren Sidosermo (Ndresmo) Surabaya, santri Tegalsari masa Kiai Hasan Besari.
- Tjokronegoro (putra Kiai Hasan Besari) Bupati Ponorogo menjabat tahun 1856-1882 memiliki warisan Masjid Agung Ponorogo.
- H.O.S. Tjokroaminoto (cucu dari Bupati Ponorogo Tjokronegoro atau cicit dari Kiai Hasan Besari.
- Kiai Muhammad Ishaq pendiri Pondok Pesantren di Coper (putra Kiai Ageng Muhammad Besari).
- Kiai Muhamad Thoyib (menantu Kiai Ishaq, Coper) Pondok Pesantren Darul Hikam Joresan, Mlarak.
- Kiai Sulaiman Jamal pendiri Pondok Pesantren di Gontor (menantu Kiai Hasan Kholifah bin Kiai Hasan Besari) sekarang Pondok Modern Darussalam Gontor.
- K.H. Mohammad Thoyyib (putranya pernah di Tegalsari) pendiri Pondok Pesantren Wali Songo, Ngabar.
- K.H. Hasyim Sholeh (Dzuriyah Tegalsari) pendiri Pondok Pesantren Darul Huda, Mayak.
- Pondok Pesantren Tebuireng (keturunan jauh Tegalsari).
Perpaduan Ajaran Islam dan Budaya
Perihal ajaran Kiai Ageng Muhammad Besari dan Kiai Hasan Besari yang bisa menurunkan para pemimpin dan pembesar pondok pesantren, saya mencoba menanyakannya ke Pak Hamdan (43), Ketua Yayasan Kiai Ageng Muhammad Besari.
“Yang jelas, memegang konsep bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Model pembelajaran yang dilaksanakan sangat berpengaruh pada karakter murid, berangkat dari memadukan budaya yang saat itu ada, dengan ajaran-ajaran agama Islam. Jadi, mungkin kemasannya tetap menggunakan tradisi atau budaya, cuma kontennya sesuai dengan ajaran agama Islam. Sehingga tidak menyalahkan budaya lain sebagai syirik yang bukan bagian dari syariat Islam,” Pak Hamdan bertutur pelan.
Pak Hamdan melihat hubungan Mbah Hasan Besari dengan Kasunanan Surakarta yang erat dengan budaya Jawa, sebagai bukti bahwa beliau berhasil memadukan ajaran Islam dengan kemasan-kemasan budaya. Sehingga, juga menjadi salah satu faktor mengapa santri-santri beliau memiliki wawasan kebangsaan yang luas.
“Bukan Islam garis keras yang hanya berpegang ajaran Islam semata. Tetapi juga memperhatikan perkembangan budaya yang saat itu ada,” ungkap Pak Hamdan.
Perihal keberhasilan beliau dalam mengajar muridnya, Pak Hamdan mengatakan kalau hal tersebut tidak bisa terlepas dari tirakatnya kiai yang memegang teguh konsep pengajaran. Beliau-beliau, utamanya Kiai Ageng Muhammad Besari dan Kiai Hasan Besari tidak semata-mata memberi tausiah berupa lisan, tetapi juga memberi contoh. Sebagai suri tauladan santrinya.
Perihal banyaknya jemaah i’tikaf tadi malam, saya mencoba bertanya bagaimana keadaan di hari biasa sebelum pandemi.
“Di hari normal lebih dari itu, ini kan setelah dua tahun pandemi. Sebelum pandemi lebih banyak lagi, sampai jalan di timur.” tutur beliau.
Selama pandemi pun juga sebenarnya ada kegiatan, namun tidak dibuka untuk khalayak umum, dan tidak dilaksanakan secara berjemaah.
Sayangnya, Pondok Pesantren Gebang Tinatar mengalami keruntuhan sejak tahun 1963. Salah satu alasannya karena berkurangnya pengaruh akibat dicabutnya status desa perdikan setelah Indonesia Merdeka. Walaupun begitu, ramainya jemaah i’tikaf di malam jumat itu, masih menjadi bukti kalau semangat perjuangan Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari masih ada.
Penulis: Prima Ardiansah
Editor: Agung Purwandono