Tempat peristirahatan Panembahan Bodho yang berada di Makam Sewu (Bantul) kini jadi destinasi wisata religi. Panembahan Bodho merupakan penyebar agama Islam yang berasal dari Demak. Nama ‘bodho’ sendiri disematkan oleh Sunan Kalijaga yang berarti bodoh. Apa cerita di balik pemberian nama ini? Berikut kisahnya.
***
“Selatan udah gak hujan, jadi gak?” pesan WhatsApp seorang kawan membangunkan saya dari tidur sore itu, Kamis (15/9/2022). Beberapa jam sebelumnya, Jogja diguyur hujan deras dan saya memilih istirahat. Pesan itu mengingatkan saya bahwa ada satu lokasi harus dikunjungi. Bukan destinasi kuliner maupun obyek wisata nan instagramable, melainkan makam. Ya, kali ini adalah Makam Sewu.
Sebelum berangkat, kawan saya kembali bertanya keheranan, “Punya bucket list kok isinya makam, sih!?” Saya hanya tersenyum dan kemudian melaju melawan dingin Jogja selepas hujan reda, melintasi Godean dan Sedayu, menuju kecamatan Pajangan di Bantul.
Tak lama kemudian, tulisan penunjuk arah di tepi Jalan Raya Srandakan-Pajang menginformasikan lokasi Makam Sewu sekitar 500 meter lagi. Saya tiba di area makam pukul 19.00 WIB. Terlihat sebuah masjid, pendopo, dan halaman yang luas. Ada penjual angkringan di sudut komplek. Di antara gelap malam, terlihat siluet punggungan bukit di bagian belakang lengkap dengan bayang-bayang sebuah pohon randu alas raksasa
Makam Sewu atau jamak dikenal dengan Makam Panembahan Bodho adalah sebuah makam kuno yang menjadi sebuah obyek wisata religi. Lokasinya ada di Dusun Ngeblak, Wijirejo, Pandak, Bantul, perbatasan antara Kecamatan Pajangan dan Pandak. Makam ini tenar terutama di kalangan umat muslim. Itu tak lepas dari sejarah tokoh utama di makam ini yang disebut sebagai penyebar Islam di Bantul pada masa silam.
Saat melihat ke arah masjid, tampak bayangan seorang pria di remang cahaya. “Nah itu juru kuncinya, ditunggu saja nanti juga keluar,” terang seorang pria di pendopo depan masjid. Sembari menunggu juru kunci keluar, saya memutuskan berkeliling terlebih dahulu.
Di sisi timur makam, terdapat sebuah gapura berwarna hijau yang di bagian atasnya terdapat aksara Jawa. Bergerak lebih ke barat, terhampar sebuah halaman dengan hiasan lampu warna warni.
Saat juru kunci melangkahkan kaki keluar dari masjid, saya bergerak mendekatinya. Pria itu mempersilakan saya menunggu di dekat sebuah pintu masuk. Saya hanya celingukan sembari melihat juru kunci tersebut menyiapkan peralatan pengeras suara. Di samping tempat saya duduk, ada berderet aneka makam dengan berbagai bentuk.
“Maaf ya, saya sambil menyiapkan tahlilan,” ungkapnya setelah kembali.
Namanya Wahono, usianya 60 tahun. Sudah 22 tahun ia jadi juru kunci. Kami berbincang di depan sebuah ruangan paling penting di komplek makam. Di tempat inilah para tamu dan peziarah diarahkan untuk mengisi buku tamu.
Tempat ini dinamakan Makam Sewu, menurut cerita Wahono, karena luasnya wilayah makam. Apalagi, ini bukan makam sebuah kampung atau dusun melainkan makam umum bagi masyarakat di 2 kecamatan yakni Pajangan dan Pandak. “Luasnya sekitar 1 hektar,” tukasnya.
Saya tiba-tiba teringat dengan bangunan gapura di ujung timur area ini. Tampak megah dan seakan merupakan jalan utama. Padahal sesungguhnya tokoh paling penting di makam ini terletak di sebuah ruangan di atas pendopo. Di sinilah bersemayam seorang tokoh dengan cerita hidup berkelindan antara Kerajaan Majapahit, Demak, dan hingga Mataram Islam.
“Panembahan Bodho adalah tokoh penyebar agama Islam dari Demak,” Wahono memulai ceritanya. Narasi ini adalah cerita paling umum tentang sang panembahan dan bisa ditemukan dalam berbagai literatur. Kata ‘bodho’ yang tersemat pada namanya berarti bodoh dalam bahasa Indonesia, dalam arti sebenar-benarnya.
Raden Trenggono, itulah nama asli Panembahan Bodho menurut Wahono. Sekilas, nama ini mirip dengan nama Raja Demak ketiga yakni Sultan Trenggono. Namun, Trenggono satu ini adalah keturunan keempat dari Brawijaya V. Berturut-turut, Brawijaya V beranak Raden Aryo Damar, lalu Raden Kusen (beberapa literatur menuliskannya sebagai Raden Husen dan merupakan Adipati Terung I), lalu Adipati Terung II. Nama terakhir inilah ayah Trenggono.
Terkait nama Terung, ini adalah sebuah kadipaten di bawah Majapahit. Berbagai sumber di internet menulis bahwa daerah ini berada di Kabupaten Sidoarjo. De Graaf dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa menyebut bahwa Adipati Terung sebagai saudara tiri Raden Patah dari pihak ibu.
Kelak, Adipati Terung memilih bergabung dengan kelompok Islam di Demak Bintara dan menyerang Majapahit di senjakala kerajaan itu. Ada pula cerita bahwa Adipati Terung merupakan leluhur Pangeran Pekik, raja terakhir di Surabaya walaupun De Graaf mengatakan bahwa tidak ada keterangan yang meyakinkan soal itu.
Membuka kisah lebih jauh, Wahono berkisah tentang putri triman yang menjadi istri Raden Aryo Damar. Ia adalah seorang putri dari asal Cina bernama Dara Petak dan semula hendak dipinang Aryo Damar namun belakangan dipersunting Brawijaya V. Kelak, Dara Petak diusir oleh Brawijaya V dalam keadaan hamil dan dinikahi oleh Aryo Damar. Kisah ini sangat mirip dengan penggambaran Sindhunata dalam novel Putri Cina.
Anak Dara Petak itu kelak diberi nama Raden Kasan. Sementara dari hasil pernikahan keduanya, muncul anak bernama Raden Kusen, kakek dari Trenggono.
Wahono melanjutkan, Trenggono meninggalkan beberapa tempat sebagai bukti betapa nama ini punya peran dalam syiar Islam. “Beliau membangun masjid di daerah Kauman, Pandak dan di Nanggulan, Kulon Progo.”
Terkait penyebutan bodho, Wahono menjelaskan bahwa nama itu secara tidak langsung datang dari Sunan Kalijaga. Semua bermula dari kehebohan Trenggono tatkala mengira akan ada serangan Portugis ke pesisir selatan Yogyakarta. Ini dikarenakan Trenggono mengira suara ombak pantai selatan sebagai suara meriam dari kapal Portugis. Alhasil, ia mendirikan pos penjagaan di pesisir selatan dan berbuah dimarahi Sunan Kalijaga.
Waktu menunjukkan pukul 19.50 WIB saat Wahono pamit sebentar dan kembali lagi dengan sebuah buku fotokopian kecil. Ia meminta maaf karena tidak bisa berbincang lama. Sebabnya, Wahono harus memimpin tahlilan rutin yang digelar warga tiap Kamis malam di area makam. Saya akhirnya sadar jua, di belakang saya sudah ada sekitar 10 pria bersarung dan berbaju koko.
Sebelum benar-benar berpisah, saya bertanya soal sosok istri dari Panembahan Bodho.
“Oh, ada, di dekat sini, namanya Nyai Brintik,” sahut Wahono.
***
Makam Panembahan Bodho menyendiri dari ratusan makam di komplek Makam Sewu. Nisannya berada dalam sebuah bilik di ruangan sekitar 5X5 meter. Untuk masuk ke bilik, terdapat 2 pintu masuk relatif rendah sehingga peziarah harus menundukkan kepala. Kedua pintu itu dibuat terpisah masing-masing untuk peziarah laki-laki dan perempuan.
Nisan Sang Panembahan memiliki dimensi panjang dan lebar biasa selayaknya makam tokoh besar masa lalu. Satu hal yang berbeda: makam ini tinggi, hampir sekitar setengah meter. Seperti makam kuno lain, terdapat kelambu di sekeliling makam. Sementara di selasar depan ada satu makam milik abdi atau pengawalnya.
Wahono sudah mulai mendaraskan doa lewat pengeras suara. Saya dan kawan tadi akhirnya berkeliling di dalam komplek makam. Benar kata Wahono, terdapat banyak sekali nisan di sini. Ke manapun mata beredar, hanya akan berakhir di siluet nisan beraneka bentuk.
Hal ini juga menjadi daya tarik lain bagi saya karena bisa menemukan berbagai bentuk makam. Mulai dari nisan bergaya Hanyakrakusuman, nisan berkijing batu seperti makam umum, makam veteran perang, hingga makam dengan warna putih dan memiliki kepala nisan membulat.
Di sebelah timur ruangan utama, terdapat sederet makam dan salah satunya adalah milik anak dari Trenggono. Wahono tadinya sempat bercerita dan memberikan patokan berupa, “Dekat lampu itu.” Selepas berputar-putar di area makam, kami kembali ke pendopo dan memesan minuman di angkringan. Buku pemberian Wahono saya buka untuk menemukan kisah lain dari makam ini.
Sebagai seorang tokoh penyebar Islam, kisah Trenggono berkelindan dengan satu nama legendaris dalam kisah penyebaran Islam di Jawa tengah bagian selatan: Sunan Kalijaga. Selain mendapatkan julukan ‘bodho’ dari sang sunan, menurut cerita turun temurun ia juga murid dari sosok ini.
Pertemuan mereka mirip dengan analisa M.C. Rickfels dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004; bahwa, peristiwa-peristiwa ajaib berperan penting dalam islamisasi di Jawa pada masa silam. Konon, di masa mudanya, Trenggono bertemu dengan seorang kakek tua dan disindir. Trenggono tidak terima dan hendak menangkapnya namun gagal karena si kakek menghilang. Terpana atas kesaktian itu, Trenggono muda memutuskan berguru pada kakek yang ternyata bagian dari Wali Sanga itu.
Pengaruh Kalijaga bagi Trenggono agaknya tidak hanya soal penamaan tetapi juga hingga urusan rumah tangga. Oleh Kalijaga, Trenggono diperintahkan berguru ke Ki Ageng Gribik dan kelak menikah dengan anak gurunya itu, Putri Kedupayung. Kelak, Kalijaga juga kembali menjodohkan Trenggono dengan anak dari Raden Santri, Nyai Brintik. Kisah ini seakan hendak menebalkan kisah Panembahan Bodho sebagai sosok dengan nilai keislaman mumpuni. Sebab, baik Ki Ageng Gribik maupun Raden Santri adalah tokoh besar Islam di masanya.
Cerita rakyat turun temurun juga mencoba memberikan warna lebih positif tentang penamaan ‘bodho’. Buku kecil di tangan saya ini mengisahkan bahwa Trenggono mendapatkan sebutan ini karena beberapa hal lain. Pertama, ini karena pilihannya sendiri setelah ia dimarahi Sunan Kalijaga dan memutuskan bertapa. Kedua, ini karena keenggannya menjadi penerus takhta di Terung. Ketiga, ia disebut bodho karena enggan mengajarkan ilmu kanuragan pada Sultan Pajang.
Kisah Trenggono juga akhirnya berkelindan dengan nama Panembahan Senapati, raja pertama Mataram Islam. Konon, Senapati khawatir jika kesaktian dan pengaruh Trenggono dimanfaatkan oleh Ki Ageng Mangir, musuh Senapati. Pertimbangan ini tidak mengherankan sebab Trenggono dan Mangir tinggal di wilayah berdekatan. Saat ini saja letak Makam Sewu dan Petilasan Ki Ageng Mangir hanya berjarak 3,2 kilometer. Toh, Dusun Mangir saat ini juga masuk ke wilayah Kecamatan Pajangan.
Unjuk menanggulangi hal itu, Senapati lantas memberikan tanah perdikan dan gelar panembahan ke Trenggono. Ia juga disebut memberikan tanah kekuasaan lain sebagai ganti atas daerah Terung yang telah ditaklukkan Mataram Islam.
Baik kisah di buku kecil tadi maupun Wahono tidak menyinggung soal masa hidup Trenggono. Versi cerita lokal seperti termaktub di buku hanya Trenggono meninggalnya pada 1600 setelah sekitar 20 tahun berdakwah di daerah dusun Kauman, Pandak, Bantul. Mari hubungkan dengan tokoh lain yang berkelindan dengannya.
Senapati disebut meninggal pada 1601. Sementara Raden Santri, merujuk ke Babad Tanah Jawi (W.L. Olthof, 2017) disebutkan dalam urutan kedua setelah Senapati sebagai anak dari Ki Ageng Pemanahan. Jika disimpulkan sederhana, masa hidup Senapati dan Raden Santri kemungkinan besar tidak terpaut lama, begitupun Trenggono. Sementara, Sunan Kalijaga sendiri disebut-sebut dalam berbagai sumber meninggal antara tahun 1513-1515.
***
Malam kian larut, 3 pria di pendopo terlihat sedang menikmati terapi bekam. Sementara Wahono telah membacakan doa tahlil, tanda tahlilan sudah hampir selesai. Jahe susu di gelas tinggal separuh saja dan saya meraba-raba bagaimana seorang Raden Trenggono bisa hidup melintasi aneka zaman. Dari Sunan Kalijaga, Masa Demak, Sultan Pajang, hingga Senapati.
Tahlilan sudah usai dan jamaah mulai turun dari ruang utama dan meninggalkan area Makam Sewu. “Atau kita mau lanjut ke Makam Nyai Brintik? Mumpung cerah, nih,” sahut kawan saya setelah membolak-balik buku pemberian Wahono tadi. Ah, sepertinya perjalanan malam ini masih belum berakhir juga.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi