Mahasiswa Malas, Joki Skripsi Kipas-kipas

Memori tentang perjokian skripsi terlintas ketika saya berhenti di perempatan Jetis, Yogyakarta. Selebaran bertuliskan, “Jasa Bantu Skripsi Segala Jurusan” menempel pada tiang lampu merah, lengkap dengan nomor telepon untuk dihubungi. Ada nostalgia yang terbangun di kepala saya, terlebih karena pada tahun 2015, saya pernah aktif menjadi sosok di balik jasa tersebut.

Saya memutuskan pensiun dan memilih pekerjaan lain, meninggalkan beberapa rekan saya yang masih bergelut pada dunia perjokian skripsi tersebut. Setahu saya, selepas saya pensiun, beberapa rekan saya justru membentuk tim kecil-kecilan agar semakin banyak skripsi yang bisa dikerjakan dan mendulang rupiah semakin banyak.

Bentuk tim untuk joki skripsi

Sebagai informasi, di Yogyakarta, ada ratusan kampus, dan tentu saja jurusan. Dari apa yang saya lihat,  praktik perjokian ini sudah umum terjadi, meski dengan sebutan yang berbeda-beda. Teman saya ini pun tidak mau memperluas jangkauan operasinya, hanya melayani mahasiswa di almamaternya. Setahu saya, joki skripsi memang berjaya di kampusnya masing-masing.

“Benar, sudah ada timnya,” ucap Dias (27), ketika saya konfirmasi melalui pesan WhatsApp. Dias mengatakan ada lima orang dalam satu tim yang memiliki tugasnya masing-masing.

“Kami hanya menangani satu jurusan saja, Sistem Informasi. Jadi lima orang itu jelas tugasnya apa. Ada yang ngurus dokumennya, ada yang ngurus bikin software-nya. Yang ngurus software juga dibagi lagi, ada yang front-end dan ada yang back-end. Kalau satu anak ngurus satu skripsi, bakal berat banget ngerjainnya.”

Dias mengawali karier di dunia perjokian skripsi hampir sama seperti saya, bermula dari menjadi asisten dosen (asdos) praktikum. Kenal banyak mahasiswa baik adik tingkat, sesama tingkat, dan kakak tingkat, lantas mendapat kepercayaan dari mereka bahwa asdos pasti bisa membantu urusan skripsi, maka muncul tawaran dari mana-mana. Dias menegaskan bahwa ia tidak pernah menawarkan jasa kepada siapa pun. Kalau ada yang butuh bantuan, pasti menghubungi terlebih dulu, membentuk kesepakatan, lantas mulai mengerjakan.

“Jadi asdos itu enaknya dikenal banyak mahasiswa. Nggak perlu promosi kalau saya buka jasa skripsi. Mereka yang mendatangi sendiri, karena tahu saya bisa bantu. Setelah itu infonya menyebar, job membludak, dan akhirnya bikin tim,” ujar Dias.

Untuk urusan tarif, Dias mengaku berbeda-beda setiap kliennya. Ada klien yang hanya kesulitan ngurusin dokumen, ada yang hanya kesulitan ngurusin software, dan ada pula yang kesulitan ngurusin dua-duanya. Job ngurus dokumen adalah yang paling murah, berkisar satu juta rupiah, sementara job bikin software yang jauh lebih susah bisa sampai tiga juta rupiah.

Bisa mencapai lima juta jika software yang dikerjakan memiliki level kesulitan yang tinggi. Sementara paket komplit yaitu dokumen dan software dibandrol seharga empat juta rupiah untuk software ringan, dan bisa lebih dari enam juta apabila kompleksitas software sangat tinggi. Kompleksitas software akan berbanding lurus dengan kompleksitas dokumen pula, maka dari itu tidak heran jika harganya semakin tinggi.

“Skripsinya anak Sistem Informasi itu kan nggak kayak jurusan lain. Jurusan lain tinggal penelitian, baru dilanjutkan ke penulisan dokumennya. Nah kalo di Sistem Informasi itu setelah acc dokumen, kemudian dilanjutkan membuat software-nya. Nah, kami menerima jasa pembuatan dokumen maupun software-nya. Makin susah, makin mahal,” jelasnya.

Dias menegaskan. “Ada juga yang sistemnya mendampingi mengerjakan skripsi. Biasanya ada mahasiswa yang nggak mau terang-terangan ngejokiin skripsi, tapi nggak bisa ngerjain sendiri. Makanya saya dan anak-anak buka jasa lain, bantuin dia ngerjain skripsinya. Mendampingi sambil ngajari, gitu.”

Klien model itu, menurut Dias, adalah yang paling melelahkan. Mendampingi mahasiswa mengerjakan skripsi itu jauh lebih melelahkan dibandingkan langsung mengerjakan skripsi mahasiswa itu. “Walah, harus nentuin waktu ketemuan, harus pelan-pelan ngajari. Pokoknya susah.”

Bagi Dias, lebih gampang mengerjakan full dokumen dan software yang susah dan memiliki kompleksitas tinggi daripada harus mendampingi mahasiswa skripsi dari awal sampai akhir. “Kalau bikin software kompleks itu paling misuh sama marah-marah. Lha kalo mendampingi mahasiswa, masa saya marah-marahi? Kan nggak bisa. Makanya, lebih enak bikin software super susah pokoknya.”

Omset hingga Rp 40 juta

Akan tetapi Dias menegaskan, sangat jarang ada mahasiswa yang minta dibikinkan software dengan kompleksitas tinggi. Rata-rata software sederhana, atau bahkan website simple seperti toko online, atau malah kasir online.  “Jarang ada yang minta dibikinkan susah-susah. Rata-rata yang minta dibantu skripsinya itu mahasiswa yang mau cepet lulus tanpa ribet. Jadi ya biasanya software-nya seadanya saja. Dikerjakan sama anak-anak, nanti hasil uangnya dibagi rata, nggak ada bos, nggak ada karyawan. Semuanya sama,” terangnya.

“Satu proyek skripsi itu lama pengerjaannya tiga bulan. Dalam tiga bulan itu bisa sampai sepuluh proyek yang masuk. Per tiga bulan itu omset nya bisa sampai 40 juta, dibagi lima anak. Jadinya per anak dapat 8 jutaan lah per tiga bulannya. Mayan, sebulan berarti 2 jutaan lebih, hampir 3 jutaan. Sudah cukup untuk hidup di Jogja dengan penghasilan segitu,” Dias melanjutkan.

Penghasilan yang lumayan untuk di Jogja itu, tentu saja tidak datang tanpa kekhawatiran. Saat saya bertanya apakah Dias dan timnya tidak khawatir jika ada orang yang melaporkan aktivitasnya ke kampus atau malah ke jalur hukum, Dias memang khawatir tentang hal-hal demikian.

“Secara hukum, saya nggak tau bisa dipermasalahkan atau enggak. Ada apa nggak pasal yang bisa menjerat kami. Kalau misal nanti ada yang mempermasalahkan, tinggal bilang kalau kami buka jasa pembelajaran. Soalnya kan memang nerima jasa menemani mengerjakan skripsi juga. Kami ajari mahasiswa itu dari awal sampai selesai. Juga, ada perjanjian tertulis dengan materai untuk jasa membantu mengerjakan skripsi. Mahasiswa harus setuju buat ngikutin pembelajaran dari kami. Jadi ya, bisa berdalih kami ini buka jasa pembelajaran gitu, sih,” paparnya.

Ada yang kabur tanpa melunasi pembayaran

Akan tetapi, terlepas dari apakah mereka bisa dipermasalahkan secara hukum atau tidak, ada masalah yang sangat serius dan sering menimpa Dias dan timnya. Banyak kasus mahasiswa kabur begitu proyek selesai tanpa melunasi pembayaran.

“Hal paling menyebalkan itu kalau pada kabur setelah kami selesai mengerjakan skripsi dan orangnya nggak melunasi pembayaran. Kami sistemnya kan bayar lima puluh persen di awal dulu. Nah, banyak itu yang kabur sesudah selesai. Salah kami juga sih, kurang pinter ngejar orang-orang model begitu.”

Dengan adanya kasus-kasus seperti itu, Dias jelas mengalami kerugian, tetapi dia menjelaskan bahwa timnya tidak hanya mengandalkan menjoki skripsi untuk mendapatkan uang. Awalnya timnya memang fokus mengerjakan skripsi, tetapi lama-lama juga menerima proyek dari luar juga. Ada kedai kopi minta dibikinkan website, ada sekolah minta dibikinkan sistem penerimaan siswa baru, kami bikinkan. Jatuhnya dia dan timnya mirip software house.

“Bahkan nggak menutup kemungkinan, kami bakal menutup jasa mengerjakan skripsi kalo ternyata proyek dari luar jauh lebih banyak dan menghasilkan lebih banyak duit,” katanya.

Saya kemudian menyinggung perihal alasan mahasiswa sampai menyewa jasa joki skripsi, tetapi Dias tidak mau ambil pusing. “Bukan urusan saya. Kan ada ungkapan, Mahasiswa Malas, Joki Skripsi Kipas-kipas. Ya itu yang terjadi.”

Macarin asdos biar skripsi lancar

Penasaran dengan sudut pandang pengguna jasa joki skripsi, saya menghubuni Dira (24), salah satu mahasiswi yang menggunakan jasa joki skripsi. Dira mengatakan ada banyak pertimbangan kenapa dia memilih menjokikan skripsinya. Salah satu alasannya adalah karena dia sudah sibuk bekerja untuk membiayai kuliahnya, sehingga tidak sempat mengerjakan skripsi. Alasan lainnya adalah karena dia merasa salah jurusan.

“Aku nggak ngerti sama sekali ngoding, Mas,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp. “Dokumen juga nggak mudeng. Tapi ya gimana, dulu mau ganti jurusan kok nanggung, makanya lanjut terus dan akhirnya nggak bisa ngerjain skripsi.”

Dira juga mengatakan ada banyak temannya yang mengalami hal serupa. “Banyak temenku yang harus kerja. Banyak juga yang nggak bisa ngoding. Makanya beli skripsi biar cepet lulus dan kerja apa aja pake Ijazah S1, Mas. Toh nggak semua sarjana S.Kom. yang jadi programmer, kan?”

Mengenai teman-temannya yang lain, menurut Dira, tidak semuanya memilih menggunakan jasa skripsi dan memakai cara lain. “Ada yang cerdik temen-temenku, Mas. Yang cewek-cewek khususnya, mereka macarin senior yang pinter. Asdos itu sasaran paling enak. Kalo pacarnya pernah jadi asdos, sudah pasti nanti pas skripsi dikerjain. Setelah lulus banyak yang diputusin. Kalo aku, sih, nggak tega begituan, Mas.”

Bagi Dira, eksistensi joki skripsi itu sangat dibutuhkan bagi mahasiswa-mahasiswa seperti dirinya. Dira sudah harus bekerja sejak semester tiga untuk membiayai kuliahnya sendiri, sehingga tidak bisa terlalu fokus untuk urusan kuliah. Dira tidak ingin menjadi spesialis di bidang programming, dia hanya ingin menjadi mahasiswa yang lulus dengan gelar sarjana dan melanjutkan ke dunia kerja entah di bidang apa saja. Dan bagi Dira, jenis mahasiswa seperti dirinya ada sangat banyak, jauh lebih banyak daripada jumlah mereka yang memutuskan menjadi spesialis di bidang kuliahnya.

“Dari semua angkatanku, hanya dua atau tiga orang saja yang emang fokus di dunia IT, Mas. Selebihnya ya kayak saya ini.”

Semua tergantung dosen penguji

Menanggapi fenomena ini, Deri (30), seorang dosen di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, mengatakan bahwa joki skripsi telah mencoreng dunia akademisi, tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa eksistensi mereka tidak bisa dihilangkan. “Ini fenomena lama yang sudah ada sejak saya kuliah dulu. Selama ada mahasiswa yang kesulitan mengerjakan skripsi, mereka para joki skripsi selalu memiliki pasar. Ini adalah bisnis yang menguntungkan di kalangan mahasiswa,” katanya.

Menurut Deri, sekalipun nggak bisa dibenarkan, tapi ya sah-sah saja bagi mahasiswa yang punya kemampuan untuk menjual kemampuannya itu. Menjadi joki skripsi, joki tugas kuliah, atau joki hal lain dalam urusan kuliah itu cara paling gampang buat dapet duit tambahan. “Bagi mahasiswa perantauan yang kondisi keuangannya sering mengenaskan, dan ndilalah pinter, menjadi seorang joki sungguh bisa menolong perekonomiannya. Tetapi ya tetap saja salah sebenarnya.”

Deri juga menjelaskan bahwa tidak ada sanksi secara tertulis bagi mahasiswa yang ketahuan menggunakan jasa joki skripsi. Mengetahui mahasiswa mengerjakan skripsinya sendiri, atau dikerjakan orang lain, atau pakai jasa joki skripsi, sangat terlihat perbedaannya. Paling jelas saat ujian pendadaran. Dosen tahu, tapi memang tidak ada sanksi tertulis untuk para pengguna jasa joki skripsi.

Tergantung dosen penguji itu sendiri yang memutuskan meluluskan atau tidak meluluskan si mahasiswa. Kalau lagi apes ketemu dosen killer dan tidak menoleransi aktivitas perjokian skripsi, bisa langsung tidak diluluskan. Semuanya tergantung dosen penguji.  “Tapi terlepas dari sanksi, secara akademis kegiatan perjokian skripsi itu tetap salah,” tegasnya.

Bagi Deri, apa pun dalihnya, aktivitas joki skripsi tetaplah salah, tetapi ketika saya singgung perihal aktivitas lain yang lebih mencoreng dunia akademisi, yakni jual beli ijazah oleh oknum kampus, Hari memilih tidak berkomentar panjang. “Ya, begitulah.”

Aktivitas perjokian skripsi ini memang pelik. Dari segi bisnis, ini bisa sangat menguntungkan bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih untuk mengerjakan skripsi. Pun bagi mahasiswa yang kesulitan, menggunakan jasa mereka adalah kemudahan tersendiri. Terlepas dari baik dan buruk, tidak bisa dimungkiri bahwa joki skripsi telah membantu banyak mahasiswa lulus dan menyandang gelar sarjana.

*Nama narasumber di artikel ini, kami samarkan untuk menjaga privasi mereka.

BACA JUGA 15 Tahun Pak Tatang Menyimpan Celana Perempuan yang Meninggalkannya dan liputan menarik lainnya di rubruk SUSUL.

 

[Sassy_Social_Share]

Exit mobile version