Warung Soto Sawah sudah melewati empat generasi sejak awal berdiri. Ada pesan khusus dari Presiden Sukarno yang waktu itu tertarik mampir pada warung soto yang berada di tengah hamparan sawah dan kebun tebu.
***
Di depan Warung Soto Sawah Ayam Kampung Bu Hadi, mobil-mobil pelanggan terparkir rapi. Tidak ada pemandangan hamparan padi di sekitarnya. Setidaknya hari ini, namun puluhan tahun silam, warung ini berada di sekitar hamparan persawahan padi dan tebu.
Warung ini terletak di Jalan Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul yang kini telah padat permukiman penduduk. Saat masuk ke dalam, aura warung legendaris terpancar dari pajangan foto, kliping koran, sampai petuah-petuah bijak berbahasa Jawa. Ada juga sebuah foto wajah Presiden Sukarno terpajang di dinding tepat di sebelah pintu masuk.
Saya lantas memesan seporsi soto ayam dan es teh. Meski legendaris dan tampaknya banyak dikunjungi kalangan berada, harga menu-menu di Soto Sawah masih relatif terjangkau. Seporsi soto ayam harganya Rp12 ribu dan soto sapi Rp14 ribu.
Tidak berselang lama, pesanan pun diantar ke meja. Seporsi soto dengan kuah kuning kecokelatan yang menggoda. Dari penampakan warnanya, saya sudah memperkirakan soto ini punya cita rasa yang sangat khas Jogja.
Begitu saya seruput kuahnya, dugaan saya betul adanya. Kuahnya segar dengan dominasi rasa manis bercampur sedikit gurih. Rasa manis memang dominan di masakan-masakan Jogja.
Selain itu, kaldu ayamnya terasa nikmat dengan potongan ayam kampung kecil-kecil, tapi cukup memenuhi bagian atas sajian. Ada potongan perkedel kentang yang disajikan bersamaan dengan seporsi soto ini. Rasanya cukup berpadu nikmat dengan kuahnya.
Warung ini menggunakan kecap produksi dari Purworejo dengan merek Sarico. Kecap yang cukup legendaris. Namun, lidah saya kurang cocok dengan sajian yang terlalu manis. Sehingga, sambal jadi pilihan yang rasanya lebih tepat untuk menyempurnakan soto ini.
Setelah menghabiskan seporsi soto ini, saya mengirim pesan kepada Andri Nuryanto (35) untuk mengabarkan kehadiran saya. Sehari sebelumnya, saya telah membuat janji untuk bertemu dengan lelaki yang kini mengelola warung Soto Sawah yang legendaris ini.
Soto legendaris empat generasi
Setelah balasan pesan masuk, tiba-tiba saja Andri sudah berada di depan saya. Lelaki ini merupakan generasi keempat pengelola warung. Istrinya, Sri Warsiati, merupakan cucu dari Mbah Hadi yang namanya melekat pada soto ini.
Andri dan Sri sudah mengelola warung ini sejak 2010 silam. Orang tua Sri, anak semata wayang Mbah Hadi, telah tutup usia lebih dini. Alhasil, setelah Mbah Hadi usianya beranjak senja dan ingin beristirahat, pengelolaan warung ini langsung diserahkan ke cucunya.
“Tapi sebenarnya, soto ini sudah dirintis sejak mbah buyut kami, orang tua dari Mbah Hadi,” terangnya.
Sang mbah buyut bernama Kromoinangun merupakan sosok yang benar-benar babat alas usaha soto di Soragan. Ia benar-benar babat alas, lantaran pada zaman itu, sekitar awal dekade 1950-an, lapak yang ia buka berada di tengah persawahan. Di antara hamparan tanaman padi dan tebu.
Letak lapaknya juga bukan di tanah di mana bangunan yang saat ini jadi tempat jualan berada. Melainkan beberapa puluh meter di sisi utaranya. Lapak sederhana dengan dinding dari gedhek bambu seadanya.
Di sanalah, rintisan usaha ini bermula. Soto ayam kampung, es dawet, dan lenthok jadi menu andalan saat awal berjualan. Lenthok merupakan semacam perkedel yang berbahan dasar singkong.
“Lenthok juga biasanya ada kacangnya, semacam kacang tolo. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi, kami tidak bisa membuatnya,” ujar Andri seraya tertawa.
Meski tidak lagi menyediakan lenthok, Andri dan sang istri mengaku terus berusaha menjaga resep yang diturunkan dari generasi awal warung ini. Rasa yang didapati di setiap porsi saat ini, menurut Andri, merupakan resep yang sama dengan yang dibuat Kromoinangun lebih dari setengah abad silam.
Selain itu, menu dawet juga tetap dipertahankan. Salah satu inovasi yang belum lama ini dimunculkan oleh Soto Sawah Mbah Hadi adalah soto sapi. Banyak pelanggan yang menginginkan keberadaan varian tersebut di warung ini. Hingga akhirnya, mereka coba hadirkan potongan daging sapi dengan cita rasa yang tetap sama dengan soto ayam-nya.
“Jadi kuah kaldunya tetap sama menggunakan ayam kampung. Daging sapinya dimasak terpisah. Baru dicampur saat hendak disajikan,” jelasnya.
Dulu, sebelum pandemi, di hari biasa rata-rata warung ini menjual 150-200 porsi soto setiap harinya. Saat liburan, pesanan pun bertambah sekitar dua kali lipat.
“Bahkan kalau lagi libur lebaran, sehari bisa bikin nasi sampai setengah kuintal. Kalau sekarang, kondisinya memang belum pulih seratus persen pasca-pandemi,” terang Andri. Saat ini terdapat enam karyawan yang membantu mengelola segala urusan di warung,
Sebuah pesan dari Sukarno
Setelah berbincang urusan resep dan bisnis, kami banyak membahas tentang pernak-pernik yang terpajang di dinding. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah petuah-petuah bijak berbahasa Jawa yang dipigura rapi.
Andri menjelaskan kalau itu adalah buah tangan dari seorang pelanggan turun temurun. Tertanda di bawah setiap kutipan, sosok bernama Koh Hwat. Lelaki itu merupakan pengusaha Jogja pemilik supermarket Gardena.
Sejak masih usia belia, Koh Hwat sudah langganan soto di tempat ini. Berawal diajak oleh orang tua, Koh Hwat lanjut berlangganan hingga usianya senja. Kesan terhadap soto ini membuatnya menawarkan untuk memberikan semacam kenang-kenangan lewat kutipan yang ia buat sendiri.
“Beliau menawarkan, kami dengan senang hati menerimanya,” ujar Andri.
Salah satu hal lain yang menarik perhatian di warung Soto Sawah adalah foto presiden pertama RI, Sukarno. Mbah Hadi berpesan agar foto tersebut selalu dipajang selama warung ini masih berdiri.
“Mbah Hadi bercerita kalau dulu Pak Karno pernah ke sini. Saat warungnya masih gedhek di tengah sawah,” kenangnya.
Menurut cerita yang ia dengar, pada dekade 1950-an dan sedang berada di Jogja, Sukarno melakukan perjalanan di sekitar Soragan. Ia lantas tertarik dengan sebuah warung yang benar-benar berdiri sendiri di tengah persawahan.
“Lalu katanya beliau mampir. Sempat mencicipi soto dan ngobrol singkat,” terangnya.
Sang istri, Sri Warsiati yang baru bergabung lantas menambahkan cerita. Neneknya pernah berujar bahwa proklamator kemerdekaan RI itu berpesan agar usaha ini perlu dikembangkan.
“Beliau juga berpesan agar resepnya diwariskan ke generasi selanjutnya,” terangnya. Pesan itu yang dipegang erat keluarga sampai melewati empat generasi.
Sri lantas menyayangkan, andai saja saya hadir jauh-jauh waktu, cerita lengkap bisa diceritakan oleh Mbah Hadi. Neneknya tersebut telah tutup usia pada awal tahun 2022 silam.
Memang sulit untuk memverifikasi hal tersebut lantaran tidak ada dokumentasi kunjungan di era itu. Namun, kisah kunjungan itu telah diceritakan turun temurun di keluarga ini.
Selain kunjungan Sukarno yang terus terkenang di keluarga, sebenarnya banyak pejabat dan pesohor yang kerap menyicip Soto Sawah. Rano Karno, Andy F Noya, dan beberapa figure publik lain pernah berkunjung. Bahkan, Sri Sultan HB X sejak sebelum naik takhta, juga disebut menjadi pelanggan Soto Sawah.
“Dulu juga banyak menteri yang kalau ke Jogja, sering mampir soto. Bahkan Mbah Hadi dulu pernah dipesan untuk mengirim soto ke para menteri saat sedang di Bandara Adi Sucipto,” terang sang cucu. Menteri-menteri era Soeharto yang disebut pernah berkunjung di antaranya Ali Murtopo dan Amir Machmud.
Sebenarnya ada satu lagi sosok presiden yang pernah berkunjung ke Soto Sawah, puluhan tahun setelah lawatan Presiden Soekarno. Ia memang bukan presiden Indonesia atau negara lain. Melainkan sosok yang mendaku diri sebagai Presiden Jancukers.
“Iya, Mbah Sujiwo Tejo juga pernah berkunjung. Beliau presiden juga kan, tapi presiden yang lain,” ujar Andri terkekeh.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono