Warung Pojok Colombo, sebut saja namanya begitu. Selama bulan puasa, jadi favorit orang-orang untuk sahur. Hanya dalam dua jam, menu ludes. Warung makan ini juga jadi tempat favorit orang makan sehabis dugem.
***
Suatu malam saat mengendarai motor, perhatian saya teralihkan ke sebuah keramaian di utara Pasar Colombo, Jalan Kaliurang. Sekitar pukul dua malam, saat jalan sedang sepi, deretan motor terparkir dan orang-orang sedang mengantre di sebuah warung makan yang terbilang sederhana.
Warung makan sederhana itu terletak di seberang Toko Cat WaWaWa. Di antara keremangan malam, para pembeli makan beragam menu masakan dengan lahap. Ada yang sambil lesehan di tikar dan ada pula yang menempati beberapa kursi di samping warung.
Saya menghentikan motor. Kala itu masih masih hari-hari awal bulan Ramadan. Saya ingin mencoba santapan sahur yang sepertinya menarik. Tatkala mendekat ke kerumunan, hati saya sedikit gusar. Deretan lauk seperti gudeg, krecek, mangut lele, hingga ayam balado tinggal sisa-sisa terakhir.
Sejurus kemudian, ibu-ibu penjual berujar pada para pembeli, “Maaf, nasinya habis ya, tinggal sisa dua ini saja,” katanya sambil membungkus pesanan.
Raut kecewa terlihat dari wajah pelanggan. Beberapa orang yang baru memarkirkan kendaraan pun ciut lalu kembali menyalakan motornya.
“Buka jam berapa memangnya Bu?” tanya saya.
“Kalau puasa kami buka dari jam setengah satu,” terang penjual.
Sang penjual mengaku kalau warung ini tak punya nama. “Sebut saja Warung Pojok. Pojok Colombo,” ujarnya tertawa.
Buruan orang sahur dan mahasiswa pulang malam
Beberapa hari berselang, saya kembali datang untuk makan sahur. Kali itu lebih dini sehingga saya masih dapat menjajal masakan sang ibu. Saya memesan nasi dengan ati ayam, krecek, dan oseng tempe. Makanan saya lahap.
Keramaian yang ada memang bukan tanpa alasan. Masakannya enak, kreceknya pedas gurih, dan bumbu semur atinya yang kental begitu memanjakan lidah.
Porsinya nasinya pun tidak tanggung-tanggung. Saat memesan, saya memang mengamati dulu porsi nasi yang penjual berikan ke pembeli lain. Melihat porsinya yang melimpah, saya memilih untuk minta setengah saja. Kenikmatan tersebut saya tebus seharga Rp14 ribu.
Saat sedang nikmat makan, saya kembali menyaksikan raut-raut kecewa para pembeli yang kehabisan nasi. Sebagian ada yang masih memastikan adakah sisa lauk atau gorengan. Tapi sebagian lain langsung menyerah karena memang ingin sepaket dengan nasi.
Sabtu (8/4) ketika kembali ke sana sendiri untuk sahur, saya berbincang dengan beberapa pelanggan yang duduk semeja. Mahasiswa UGM bernama Aan (22) mengaku sudah langganan warung ini sejak 2019 silam. Ya, warung ini ternyata memang tidak hanya buka saat Ramadan.
“Dulu pertama kali ke sini karena sering nugas malam. Terus lewat Jalan Kaliurang dan lihat kok ramai. Akhirnya mampir dan keterusan,” ujar mahasiswa asal Sumbawa, NTB tersebut.
Buat Aan, masakan di sini terbilang lengkap. Rasanya nikmat dan harganya terjangkau. Baginya tidak banyak warung makan yang buka dini hari dan menyediakan masakan hangat seperti ini.
“Selain masakan, malah saya itu suka sama air putihnya,” ujarnya. Sebuah pernyataan yang membuat saya tercekat.
Ternyata menurut Aan, dulu air putih di sini menggunakan wadah kendi. Sehingga rasanya adem dan segar meski tanpa es batu. Namun, sekarang ternyata sudah berganti menggunakan galon.
Aan yang malam itu datang bersama tiga rekannya mengaku pernah tiga kali seminggu makan di tempat ini. Sekarang sudah tak sesering itu lantaran tak terlalu sering keluar malam untuk nugas atau nongkrong.
Kuliner favorit orang pulang dugem
Di sebelah saya juga duduk lelaki bernama Heri (30). Dini hari ini, ia baru pulang dari sebuah klub malam di Jogja. Seperti biasanya, warung ini jadi andalannya untuk mengisi perut sebelum pulang ke rumah.
“Ramadan ini saya sudah empat kali ke sini. Biasanya malah hampir setiap hari,” ujarnya tertawa.
Heri yang mengaku sudah langganan sejak di warung ini sejak 2021 lalu mengaku punya pekerjaan sampingan di dunia malam. Sehingga, hampir setiap hari ia mampir ke beberapa tempat hiburan besar di Jogja.
Saat itu, ia bertanya ke seorang rekan “Ke mana tempat makan yang pas untuk mengisi perut sepulang dugem?” Sang teman pun merekomendasikan warung ini.
“Sebenarnya saya kan rumah di Jalan Kaliurang KM 9, tapi kalau dugem kan nggak lewat sini, lewatnya Jalan Damai,” katanya.
Urusan masakan, buat Heri, warung ini cukup memuaskan. Namun, hal yang membuatnya sering kemari adalah deretan gorengan hangat yang tersedia. Mulai dari tempe, tahu isi, bakwan, hingga jajanan seperti risoles.
“Habis dingin di klub kan enaknya yang hangat-hangat. Saya sudah survei ke Jalan Magelang, Jalan Palagan nggak ada yang jualan gorengan hangat jam segini,” ujarnya terbahak.
Lelaki asli Magelang ini menuturkan kalau Warung Pojok Colombo memang jadi rujukan kuliner banyak orang yang habis dugem di klub-klub malam Jogja. Mereka yang dugem di Jalan Magelang dan pulang ke Jalan Kaliurang atau daerah di sekitarnya banyak mampir kemari.
“Bahkan beberapa bos klub-nya juga suka mampir,” katanya.
Belajar memasak dan tantangan berjualan malam
Asyik berbincang dengan Heri, tak terasa, ternyata warung sudah hendak tutup karena nasi sudah habis dan lauk menyisakan potongan-potongan terakhir. Sebelum terlambat, saya bergegas menghampiri ibu-ibu pengelola warung ini.
Dua perempuan yang biasa melayani pelanggan di depan lantas mengarahkan saya agar berbincang dengan Minarni (58). Perempuan paruh baya tersebut lebih banyak bergerak di balik layar. Memasak dan menyiapkan minuman di dapur belakang.
Minarni mengelola warung ini dengan empat keluarganya. Dua perempuan di depan merupakan anak dan adiknya. Sedangkan dua lelaki yang turut membantu merupakan suami dan menantunya.
Minarni dengan wajah lelahnya duduk di hadapan saya. Meski lelah, ia tetap melempar senyum semringah. “Entuk opo iki Mas nek aku diwawancara?” ujarnya tertawa.
Memasak sudah jadi jalan hidup Minarni. Sejak 1988, saat masih awal berkeluarga, ia sudah mulai menjajakan makanan di tempat ini. Dulu belum menjual nasi melainkan jajanan ringan di pagi hari.
“Saya jualan sudah lama banget. Dulu ya itu snack sama jajan titipan,” terangnya.
Sebagai pengusaha kecil, Minarni selalu mencari peluang. Termasuk di bulan Ramadan. Sebelum menjual nasi tengah malam, terlebih dahulu ia menjual gorengan dan es cocktail. Perpaduan menu yang biasanya orang cari untuk berbuka puasa.
Dua menu itu ia jajakan di sore hari. Dagangannya pun laris. Ia mengaku, bisa menghabiskan 20 kilogram gula sehari saat menjual minuman dingin tersebut.
Berdagang pagi dan sore sudah ia lakoni. Sekitar tahun 2018 silam, ia ingin mencoba peruntungan menu sahur. Tercetuslah ide menjual nasi dan lauk pauk dari tengah malam hingga dini hari saat Ramadan.
“Ternyata ya ramai juga,” kenangnya tersenyum.
Minarni mengaku semua resep masakan ini ia racik sendiri. Ia banyak belajar memasak dari bibinya yang dulu juga menekuni usaha kuliner.
Menu warung pojok habis dalam dua jam
Menu di Warung Pojok Colombo memang cukup beragam. Perempuan tiga anak ini mengaku kalau mangut lele dan telur dadar buatannya jadi yang paling banyak diburu pelanggan. Kecepatan habisnya sama dengan nasi.
Berjualan menu sahur ternyata laris. Akhirnya, ia memutuskan untuk terus fokus menyediakan kuliner malam. Di hari biasa, ia tutup pada malam Minggu. Namun saat Ramadan selalu buka setiap hari.
“Habisnya ya rata-rata dua jam. Buka setengah satu lalu setengah tiga sudah habis,” katanya.
Saat-saat tertentu, 20 kilogram nasi yang ia buat paling cepat bisa habis sebelum jam dua. Ia mengaku tak bisa menghitung berapa porsi yang bisa tersaji dari 20 kilogram beras tadi. Sebagian pelanggan memang meminta penyesuaian porsi nasi.
“Yang jelas kalau habis cepat itu cuaapek banget, Mas,” tuturnya.
Ramainya pembeli membawa tantangan tersendiri. Minarni harus bisa melayani secara cepat sekaligus tetap memberikan pelayanan yang ramah. Pelanggannya memang begitu beragam. Mulai dari mahasiswa, pekerja malam, hingga para anggota kepolisian yang sedang berpatroli kerap mampir.
Berjualan malam juga membuatnya harus menjaga kondisi fisik lantaran siklus hidupnya terbalik. Proses memasak ia lakukan sejak pukul sembilan malam. Demi menjaga kualitas hidangan tetap hangat. Masakan hangat di tengah malam inilah yang juga jadi daya tarik Warung Pojok Colombo.
“Tantangannya memang harus jaga kondisi. Itu yang saya rasakan setelah jualan malam,” curhatnya.
Saat klitih membuat geger warung pojok
Ada kalanya, tantangan tak cuma sekadar menjaga kondisi tubuh. Berjualan malam membuat Minarni sesekali menjadi saksi kejahatan jalanan yang terjadi di Jalan Kaliurang. Kejahatan malam yang akrab dengan sebutan klitih itu bahkan tak hanya terjadi sekali.
“Wah kalau itu terjadi beberapa kali,” keluhnya.
Pada suatu malam, Minarni dan para pelanggan yang sedang makan terperanjat karena segerombolan anak muda membawa senjata gir motor tiba-tiba memicu keributan tepat di depan warungnya. Hal itu membuat para pelanggan berdiri serempak dengan diliputi kepanikan.
“Saya sampai sudah mau sembunyi di bawah meja sini ini,” katanya sambil menunjuk meja di warungnya.
“Kejadian kaya gitu nggak hanya sekali. Dulu sering tapi nggak di bulan Ramadan,” imbuhnya.
Biasanya massa yang terdiri dari warga setempat hingga ojek online di sekitar akan mengamankan kejadian sebelum akhirnya aparat kepolisian tiba. Momen-momen seperti itu menjadi hal yang jamak Minarni alami.
Lima tahun sudah ia menjajakan kuliner malam yang sering berhadapan dengan situasi menegangkan. Namun, bagi Minarni itu merupakan risiko yang harus ia hadapi sebagai penjaja kuliner malam di salah satu jalan paling ramai di DIY. Mengganjal perut lapar para pekerja hingga pencari hiburan malam.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jalan Kaliurang yang Menyimpan Tawa dan Air Mata Seorang Mahasiswa dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.