Bagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Warung Nasi Mbak Wik bukan sekadar warung. Lewat menu nasi rames, tempat ini menyimpan banyak cerita.
***
Wiwik Wiyanti namanya. Perempuan berusia 52 tahun ini punya warung yang terbilang sederhana dengan nasi ramesnya. Bukan hanya itu, untuk makan di tempat saja tidak banyak ruang yang tersedia.
Warung Nasi Mbak Wik ini menyimpan banyak cerita dari mahasiswa UNY. Masakannya selalu membuat rindu. Sapaan akrab pemiliknya dan betapa ia bisa hafal nama dan kebiasaan membuat pelanggan ingin kembali.
Di Jalan Kuningan, Karang Malang, setiap pagi mahasiswi berdesakan untuk membeli nasi, sayur, dan lauk pauk yang sudah Wiwik masak sejak jam dua dini hari. Selepas subuh, warung ini sudah siap melayani pelanggan sampai nanti tutup jam tiga sore. Tapi seringnya lauk sudah ludes sebelum itu.
Pagi (15/11) sekitar pukul sembilan, saya sampai mengurungkan niat untuk mampir. Belasan pelanggan tampak mengantre di Warung Nasi Mbak Mbak Wik, mengelilingi Wiwik. Sedang kursi yang tersedia untuk makan di tempat tidak lebih dari lima buah saja.
Masakan yang nggak bercita rasa jawa
Plang yang terpampang di warung itu memang tertulis Warung Nasi Mbak Wiwik, tapi mahasiswa yang kos di kawasan Kuningan, Karang Malang, khususnya mahasiswa UNY mengenalnya sebagai Warung Nasi Mbak Wik.
Keesokan harinya saya datang lebih siang, sekitar pukul sepuluh, suasananya memang lebih sepi. Namun satu dua pembeli yang datang tidak pernah berhenti. Saya memesan seporsi nasi, sayur nangka, dan telur dadar untuk sarapan. Menu ini saya pilih karena kemauan, tapi memang karena hanya sisa itu saja.
“Maaf ya Mas, tinggal ini lagi masak lagi ini,” ujar Wiwik ramah dengan raut menyesal.
Saat menikmati makanan, banyak sekali pelanggan perempuan yang datang dan menanyakan beberapa jenis sayur secara spesifik. Mulai dari sayur sawi, kacang, dan oseng tempe yang saat itu sudah tidak tersisa lagi.
“Ini lagi masak lagi Mba,” kata Wiwik menjawab permintaan pelanggan. Wiwik menaksir masakan itu akan siap tersaji 30 menit lagi. Pelanggan itu menimbang-nimbang akan menunggu atau meninggalkan saja.
“Duh sebentar lagi kelas. Ya sudah saya mau sayur nangkanya saja Bu,” cetus mahasiswi itu.
Sayur nangka dengan kuah gurih dan pedas itu memang cukup menggugah selera. Menurut saya, salah satu penanda bahwa masakan nasi rames warung ini banyak yang suka karena cita rasanya terlihat tempatnya yang sempit. Pembeli tak perlu tempat nyaman untuk makan karena bagi mereka yang penting masakannya enak.
Menurut Wiwik, saat ini lauk nasi rames yang banyak disuka adalah ayam balado. Begitu juga aneka masakan dengan bumbu balado.
“Memang di sini orang bilang masakannya nggak kaya Jawa. Manisnya tidak terlalu terasa, malah cenderung pedas walaupun tidak pedas banget,” katanya saat saya temui di rumah sore hari selepas berjualan.
Hal itu membuat perempuan yang mulai berjualan sejak 1998 ini dikira bukan orang asli Jogja. Banyak pelanggan yang mengira Wiwik berasal dari Sumatra karena cita rasanya dianggap mirip dengan masakan-masakan khas daerah itu. Para mahasiswa yang tinggal di kos sekitar Karang Malang, menurut Wiwik memang banyak berasal dari daerah luar Jawa.
Kisah masakan yang mempertemukan dengan suami
Sepeninggal ibunya pada 1997, Wiwik memutuskan untuk mencoba belajar memasak dan berjualan makanan secara lebih dalam. Mendiang ibunya memang dahulu bergelut di usaha kuliner kecil-kecilan di rumah. Namun, dulu ia belum terlibat banyak. Sehingga, ia mulai belajar intensif dengan nunut bersama saudara yang berjualan tak jauh dari rumahnya. Di sana ia terlibat banyak mulai dari meracik bumbu, memasak, hingga berjualan. Meskipun ia mengaku paling banyak ditugaskan melayani pelanggan.
Pengalaman itu ternyata membuat Wiwik yakin bisa membuka usaha sendiri. Setahun berselang, akhirnya ia buka usaha nasi rames di teras rumahnya. Dari Jalan Kuningan, kediaman Wiwik masih perlu masuk ke gang sempit yang hanya bisa dilalui satu motor saja.
Kendati tempatnya nyempil, ternyata hari pertama saja sudah menghabiskan lima kilogram beras. Para penghuni kos di sekitar menjadi pelanggan pertama yang melarisi dagangan Wiwik.
“Anak kos sekitar sini termasuk ada lima anak yang ngekos di rumah saya yang awal-awal meramaikan,” kenangnya.
Saat awal berjualan juga warung-warung makan di sekitar belum banyak seperti sekarang. Wiwik menaksir saat itu baru tiga warung nasi rames di kampungnya yang biasa jadi jujukan para mahasiswa.
“Ya bisa dibilang termasuk pionir. Dulu sebelum meninggal ibu saya kan sempat jual nasi rames juga,” terangnya.
Selain itu, terkadang anak kos sekitar mengajak teman atau saudaranya untuk mampir makan di sini. Sampai suatu ketika seorang pelanggan yang datang mengubah hidup Wiwik untuk selamanya. Seorang lelaki asal Palembang mampir makan karena kebetulan sedang menginap di kos saudara.
“Suami saya dulu sedang mengantar adik perempuannya untuk kuliah. Kebetulan dia menginap di kos sepupu lelakinya di Karang Malang,” ujar Wiwik tersipu.
Laki-laki itu awalnya resah karena tidak menemukan makanan yang memenuhi seleranya setelah beberapa hari menginap di kawasan itu. Curhatlah ia pada sang sepupu hingga akhirnya diajak mampir ke warung nyempil ini.
Setelah diajak berkunjung, akhirnya lelaki itu menemukan kecocokan. Bukan hanya pada masakannya tetapi juga pada sosok yang meracik bumbu dan menjualnya. Interaksi yang sekadar transaksional perlahan bertabur bumbu rasa saling menyukai. Sampai akhirnya mereka menikah pada 2001.
Terkenal di UNY gara-gara anak drum band
Usaha Wiwik berjalan dan berkembang perlahan. Setidaknya cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Namun, suatu hari ada titik di mana masakannya menjadi cukup dikenali oleh kalangan mahasiswa UNY secara lebih luas.
Dahi Wiwik mengerut dan matanya melihat ke atas, berpikir keras untuk mengingat momen itu. Momen saat rombongan Corps Drum Band (CDB) UNY mulai mampir.
“Oh iya, itu sekitar tahun 2004. Pokoknya beberapa tahun sebelum gempa Jogja,” celetuknya setelah berhasil mengingat.
Wiwik masih ingat betul beberapa nama anggota CDB UNY itu. Terutama dua nama, Bagus dan Denisa, anggota CDB UNY yang delapan belas tahun lalu pertama kali mampir ke warungnya. Anggota yang berasal dari beragam fakultas dan jurusan membuat cerita kenikmatan masakan Wiwik cepat menyebar secara getok tular.
Sejak saat itu warungnya bertambah ramai. Pelanggannya merambah ke sekitar bukan hanya anak UNY dan UGM yang ngekos di Karang Malang. Awalnya hanya ada dua orang yang mengelola warung kecil ini, meningkatnya pelanggan membuat Wiwik mengajak beberapa kerabat dan tetangga untuk membantu.
Sehari, rata-rata Wiwik bisa memasak nasi hampir 25 kilogram. Kalau sedang banyak pesanan untuk acara, jumlahnya bisa bertambah banyak. Hingga belakangan ia putuskan untuk meliburkan hari Sabtu yang biasanya banyak pemesan nasi box.
Pesanan yang datang juga tidak hanya dari kalangan mahasiswa. Para dosen pun, terutama dari Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNY kerap memesan katering dari sini jika ada acara di kampus.
“Kadang itu ada anak yang bilang kalau kemarin nasi box di kampus mirip sini rasanya. Padahal ya memang dari sini, cuma dulu memang tidak ada labelnya,” ujarnya tertawa.
“Dulu ada mahasiswa FBS namanya Mas Wares. Dia biasanya yang saya suruh bantu nyariin peralatan makan kalau habis ada yang pesan catering terus kembali belum lengkap,” kenangnya.
Mudah hafal nama dan kebiasaan pelanggan
Pelanggan boleh terus bertambah. Tapi cara menjaga kualitas dan melayani pelanggan jadi salah satu alasan usaha kecilnya ini terus bertahan. Selain ramah, Wiwik memang mengaku punya kelebihan menghafal nama, bahkan kebiasaan pelanggannya.
“Dulu ini saya sampai hafal nama 23 cewek yang ngekos dekat sini. Mereka pelanggan-pelanggan awal warung saya,” cetusnya.
Saat melihat Wiwik berinteraksi dengan pembeli, cara ia mengingat pelanggan itu memang tidak mengherankan. Perempuan ini ramah dan suka berbincang meski raut lelahnya setelah melayani ratusan pelanggan tidak bisa dibohongi.
“Selain itu saya juga ngapali kebiasaan beberapa pelanggan. Misal, ada yang makan harus pakai garpu dan sebagainya,” tutur ibu dua anak ini.
Menurutnya, pelanggan bakalan senang ketika dipanggil menggunakan nama. Hal itu juga yang membuatnya ingin terus mencoba mempertahankan kebiasaan yang sudah ia bangun lebih dari dua puluh tahun ini.
Sudah banyak hal yang berubah sejak masa awal ia berjualan dulu. Jika tadinya ia berjualan di rumah, sejak pandemi ia pindah ke depan gang. Di emperan sebuah kios yang dikontrakkan. Tempatnya memang lebih sempit, tapi situasi saat pandemi membuatnya harus berpindah. Bertahan hingga sekarang.
Sang suami yang dipertemukan lewat masakan juga telah tutup usia pada 2021 lalu. Menjadi salah satu korban dari keganasan virus Covid-19. Namun, setelah semua perubahan yang terjadi, cita rasa masakan tetap ia jaga. Wiwik ingin terus jadi teman makan para mahasiswa.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono