Sebuah warung es legen di daerah Gubeng menjadi saksi betapa cepat dan tergesa-gesanya kehidupan di Surabaya. Pribahasa “Urip mung mampir ngombe (Hidup hanya mampir minum” benar-benar tergambar di warung es itu.
***
Namanya warung Es Legen Cakar Mas, berada di Jalan Sulawesi, Gubeng. Sebenarnya sudah sangat terkenal. Hanya saja, tiap kali ke Surabaya, saya tak sempat-sempat mampir.
Maka hari itu, Selasa (17/12/2024), saya niat betul menempuh 35 menit dari Wage, Sidoarjo, menuju Gubeng. Surabaya, seperti biasa, panas enthang-enthang. Apalagi saya keluar selepas azan Zuhur. Jelas langsung gobyos keringat.
Warung tersebut berada persis di pinggir tikungan Jalan Sulawesi. Banyak motor berderet, banyak orang yang sudah berkerumun di warung es legen di Gubeng itu saat saya tiba di sana.
Saya yang sudah kepanasan langsung bergegas mendekat. Di atas meja warung, sudah ada beberapa gelas berisi es legen. Orang-orang yang baru datang langsung mengambil gelas itu. Lalu si penjual akan menata gelas lagi, mengisinya dengan es legen baru.
“Ah….,” desis salah satu pembeli, sebagai ekspresi lega karena tenggorokannya sudah basah. Lalu dia dengan keringat bercucuran di dahinya menuju meja yang di atasnya terhampar gorengan dan aneka jajajan. Dia mencomot gorengan, lalu minum sisa-sisa es legen di gelasnya, bayar, dan langsung pergi memacu motornya kembali.
Minum sambil berdiri atau duduk di trotoar
Saya lalu memgambil segelas es legen dengan es batu yang melimpah. Rasanya segar sekali, cocok untuk menangkal dahaga karena terik Surabaya.
Warung es legen itu tidak menyediakan kursi. Jadi hanya meja untuk menyajikan gelas-gelas es dan gorengan. Hanya ada satu bangku panjang yang cuma muat diisi oleh dua sampai tiga orang.
Maka sisanya—pembeli yang datang silih berganti—harus menikmati es legen dan gorengannya sambil berdiri.
“Karena ini kan trotoar. Jadi kalau ada kursi malah ganggu pejalan kaki,” ungkap Hartono (40-an), pekerja di warung es legen di Gubeng tersebut.
“Toh rata-rata yang beli juga nggak lama. Cuma minum, makan beberapa gorengan, terus langsung pergi. Ibaratnya cuma mampir,” terangnya.
Sementara bagi yang ingin berhenti sejenak, biasanya akan duduk di pinggir-pinggir trotoar. Pokoknya jangan sampai di tengah-tengah biar tidak mengganggu pejalan kaki.
Saya sendiri beruntung, karena atas izin Hartono, saya bisa duduk di sebuah kotak tempat Hartono menyimpan perlengkapan jualan. Itu memungkinkan saya bisa berbincang dengan Hartono di sela-sela kesibukannya melayani pembeli.
Warung es legen Gubeng Surabaya yang sudah melegenda
Awalnya saya mengira Hartono adalah pemilik warung es legen di Gubeng tersebut. Ternyata bukan. Dia hanya membantu (menjadi pekerja). Pemiliknya adalah saudaranya sendiri.
“Kalau bukanya sudah sejak 90-an, Mas. Tapi dulu di depan kantor Kompas (Jalan Raya Gubeng). Terus baru pindah ke Jalan Sulawesi ini,” ungkap Hartono.
Sejak awal buka, warung Es Legen Cakar Mas memang sudah berhasil menarik banyak pelanggan. Maklum, es legen jarang dijumpai di Surabaya. Karena itu adalah minuman khas Tuban yang diproduksi dari pohon lontar.
Selain itu, rasanya yang manis segar sangat cocok untuk melepas dahaga lantaran menyengatnya matahari Surabaya.
“Ini legennya asli dan dikirim langsung dari Tuban,” jelas Hartono.
Hartono—dan saudaranya si pemilik warung Es Legen Cakar Mas—memang asli Tuban. Awalnya Hartono merantau ke Surabaya untuk pekerjaan lain. Kemudian dia memutuskan ikut bantu-bantu hingga sekarang.
Para driver ojol yang beristirahat
“Yang sering mampir memang paling banyak kalangan ojol dan Shopee Food,” kata Hartono.
Sisanya, anak-anak yang pulang sekolah, karyawan-karyawan yang bekerja di sekitar Gubeng, dan warga biasa yang sedang melintas.
Dari yang saya perhatikan, yang kerap datang langsung pergi adalah dari kalangan driver ojol dan Shopee Food. Mereka hanya butuh membasahi tenggorokan. Setelahnya, ya kerja lagi.
Kalau anak-anak sekolah rata-rata membungkus untuk diminum sambil jalan pulang. Sedangkan karyawan dan warga yang melintas terlihat lebih santai: menikmati es sambil duduk-duduk di tepi trotoar.
“Segelasnya kalau diminum di sini Rp3.000. Kalau dibungkus jadinya Rp3.500. Kalau gorengan dan jajanan, harganya mulai Rp1.000-an,” beber Hartono.
Warung es legen Gubeng saksi betapa tergesa-gesanya kehidupan di Surabaya
Gara-gara meminjam korek, saya akhirnya berbincang singkat dengan Ozi (26). Dia mengenakan jaket Shopee Food. Dia baru saja datang dan memilih duduk di pinggiran trotoar.
Matanya fokus menatap layar ponsel, sementara jari kirinya berkali-kali menyelipkan rokok ke mulutnya. Fokusnya buyar saat saya mendekatinya untuk meminjam korek.
Ozi asli Tuban. Semenjak lulus kuliah pada 2022 lalu dari salah satu kampus di Surabaya, dia memang masih menetap di Surabaya. Karena berkali-kali tak keterima kerja, dia meneruskan saja pekerjaan yang sudah dia lakoni sejak kuliah: pengantar makanan di Shopee Food.
“Kosku deket sini. Jadi dari awal kuliah memang sering minum es legen di sini. Karena aku orang Tuban juga, jadi ya memang suka lah sama es legen,” ucapnya.
Obrolan kami tak berlangsung lama. Ozi lantas berpamitan untuk lanjut mengurus orderan.
Urip mung mampir ngombe
Mengetahui saya di warung es legen itu, Ridho (21), mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang pernah magang di Mojok, bergegas menyusul saya. Kebetulan kosnya juga dekat dengan warung es legen di Gubeng tersebut.
“Warung es legen ini adalah representasi sesungguhnya dari pribahasa urip mung mampir ngombe, Bang,” kelakar Ridho.
Tapi iya juga. Orang-orang hanya mampir dalam hitungan detik. Lalu pergi untuk mengejar tujuan utama mereka: pemasukan untuk bertahan hidup.
Ridho sendiri sejak pertama menginjakkan kaki di Surabaya sudah langsung berlangganan di warung itu. Terutama di siang hari yang begitu terik seperti saat saya berkunjung itu, dia pasti menjadikan warung es legen itu jujukan.
“Kamu tahu sendiri, Bang, aku ngandelin uang KIPK buat bertahan hidup. Jadi cari yang murah-murah. Di sini esnya sudah murah, seger pula. Gorengannya juga Rp1.000-an. Harga yang, setidaknya di Gubeng, sulit ditemukan,” bebernya.
Selain untuk melepas dahaga dan mengganjal perut, Ridho biasanya datang ke warung es legen itu untuk merenung: melihat orang-orang yang serba tergesa-gesa, melihat betapa mati-matiannya orang mencari hidup di Surabaya.
“Kadang itu membuatku overthinking, lulus nanti, orang sepertiku mestinya akan semati-matian itu mencari uang untuk bertahan hidup,” tutur mahasiswa asal Nganjuk, Jawa Timur, itu. Lalu langit Surabaya menggelap tiba-tiba dari yang semula panas menyengat dan terang-benderang. Sebentar lagi turun hujan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cara Lain Menikmati Pantai Kenjeran Surabaya biar Tak Cuma Lihat Laut yang Cokelat Kehitaman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan